Sambil menunggu surat persetujuan dari dokter, aku mencoba menelepon Mas Ahmad untuk menanyakan jenis golongan darahnya. Siapa tahu Mas Ahmad bisa membantu."Assalamualaikum, Mira, ada apa?" tanya Mas Ahmad di seberang telepon."Gimana, Mas? Mas sekarang ada di mana?""Mas baru saja pulang dari kantor polisi, Mir. Mas belum mendapatkan bukti apapun. Tempat ini jauh dari pemukiman warga, sehingga tidak ada yang bisa dimintai keterangan. Tapi kamu tenang saja, Mas sudah melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Oh ya, gimana dengan Tante Diana, sudah siuman?""Belum, Mas. Ternyata Mama kehilangan banyak darah dan stok di rumah sakit ini sedang kosong. Golongan darah Mas apa? Apa Mas bisa membantu?""Tanpa kamu minta pun, Mas akan membantu dengan senang hati. Golongan darah Mas B, apakah sama dengan golongan darah Tante Diana?"Aku semakin lemas mendengar jawabannya. "Golongan darah Mama A, Mas.""Maaf, Mir, Mas tidak bisa membantu.""Enggak apa-apa, Mas. Udah dulu ya! Aku sekarang mau ke
"Mbak, jawab aku." Aku mendesak Mbak Nuni karena ia tak juga menjawab pertanyaanku."Darimana, Mbak?" Aku kembali bertanya."Sebentar ya, Mir, Mbak ngangkat telepon dulu." Mbak Nuni pun meninggalkanku sendirian.Aneh, padahal aku tidak mendengar ponselnya berbunyi. Sepertinya ada yang ditutupi Mbak Nuni dariku. ***Aku membuka pintu ruangan tempat Sofia dirawat. Wanita itu sedang terbaring lemah di atas brankar. Kondisinya sempat drop, tapi Alhamdulillah sekarang sudah stabil."Mbak Mira," lirihnya begitu melihat kedatanganku. Ia menyunggingkan senyum padaku.Aku mendekat, lalu duduk di atas kursi yang ada di sampingnya."Sofia, aku mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawa mamaku. Dokter bilang kondisi mamaku sudah stabil setelah menerima transfusi darah darimu. Tinggal menunggu beliau siuman.""Aku senang mendengarnya, Mbak. Tapi Mbak tidak perlu mengucapkan terima kasih. Aku ikhlas, Mbak.""Sofia, kenapa kamu begitu nekat? Bahkan kamu tidak memikirkan keselamatanmu
"Mira, Mama kamu sudah siuman. Dari tadi manggil-manggil nama kamu terus, buruan temui mamamu ya," ucap Mbak Nuni begitu aku tiba di depan ruang rawatnya Mama. Beliau ternyata belum pulang dan masih menunggu di sambil mengelus-elus kepala Vino yang sedang tertidur di pangkuannya."Iya, Mbak. Mbak belum pulang?" "Mbak nunggu Sofia. Kalau Sofia udah baikan, baru kami pulang.""Yasudah, aku ke dalam dulu ya, Mbak."Mbak Nuni pun mengangguk.Setibanya di dalam, aku segera memeluk Mama dan mencium tangannya."Alhamdulillah, syukurlah Mama sudah siuman. Aku enggak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu sama Mama. Aku sayang Mama, tolong jangan pernah pergi kemanapun tanpa memberitahu aku ya, Ma. Aku tidak mau terjadi hal buruk lagi pada Mama.""Iya, Sayang, Mama janji.""Bagaimana keadaan Mama? Mana yang sakit Ma?"Mama memegangi bagian perutnya yang terkena tusukan. Aku tahu pasti rasanya sakit sekali. Syukurlah lukanya tidak terlalu dalam sehingga Mama masih bisa selamat."Oh ya, Ma, apa
Tiba-tiba saja, pintu didorong dengan kasar. Wajah Mas Ahmad terlihat panik."Mira, ayo ikut Mas. Sofia mengalami pendarahan. Ada seseorang yang menyelinap ke kamarnya, dia dianiaya dan sekarang kondisinya kritis!""Apa?" Aku kaget sekaligus shock mendengarnya."Mas serius? Mas tidak sedang bercanda, kan?" "Apa wajah Mas terlihat sedang berbohong, Mira?"Aku masih belum yakin, pasalnya baru setengah jam yang lalu aku menjenguknya dan ngobrol panjang lebar dengannya.""Darimana kamu mengetahui hal itu, Mas?" "Barusan ada suster mencari keluarganya Sofia sekaligus memberitahu bagaimana kondisinya.""Mira, sebaiknya kamu pergi sama Nak Ahmad, biar Papa yang menjaga mamamu. Dan kamu juga Zamila, sebaiknya kamu ikut dengan Mira. Menantumu sedang membutuhkanmu, lebih baik kamu lihat kondisinya, sana!" Papa mengusir ibunya Mas Hanif."Jadi kamu mengusirku, Mas?" Ibunya Mas Hanif terlihat tidak terima."Iya, karena aku sudah muak melihat wajahmu itu. Pergi sana," ucap Papa dengan tegas."Mi
Aku jadi curiga pada Mas Hanif. Seharusnya ia tidak perlu marah kalau bukan dirinya pelakunya. Sepertinya semua ini ada kaitannya dengan Mas Hanif."Hentikan omong kosongmu itu, Mbak! Jangan Mbak pikir aku tidak berani berbuat kasar. Aku diam bukan berarti takut padamu, Mbak. Aku masih menghargaimu sebagai kakakku. Jika tidak, sudah lama aku membungkam mulutmu itu, Mbak." Tangan Mas Hanif mengepal, wajahnya merah padam menahan amarah. Tatapan matanya tajam, seperti tatapan singa yang siap menerkam mangsanya."Kamu dengar itu, Nuni? Jangan kamu pikir Hanif takut padamu. Hanif bisa berbuat nekat jika dia sudah kehilangan kesabaran. Jadi, stop berbicara yang tidak penting karena itu akan membahayakan dirimu sendiri." Ibunya Mas Hanif malah membenarkan kelakuan anak kesayangannya itu. Sungguh miris!"Kalian ingin mencelakai aku juga? Silakan, aku tidak takut!" Mbak Nuni malah menantang Ibu dan adiknya.Apa maksud ucapan Mbak Nuni ya? Apa jangan-jangan memang benar bahwa Mas Hanif lah yang
Aku sangat yakin kalau tas ransel tersebut masih berada di kawasan rumah sakit ini. Aku harus mencarinya di setiap tempat sampah. Terutama tempat sampah di dekat kamar mandi yang berada di dekat ruang rawatnya Sofia. Tempat yang tidak dijangkau oleh Cctv. Aku dan Mas Ahmad kembali ke depan ruang rawatnya Sofia. Mereka semua masih berada di sana. Mas Hanif langsung beranjak dari tempat duduknya begitu melihatku. "Mira, gimana?" tanyanya."Apanya yang gimana?" Aku balik bertanya."Itu, apa kalian sudah tahu siapa pelakunya?" "Harusnya kamu cari tahu sendiri, Mas. Yang jadi suaminya 'kan kamu! Kok' malah enggak peduli gitu sama istri sendiri?""Mira, jangan gitu dong!" Mas Hanif protes."Kamu 'kan tahu Mas cintanya cuma sama kamu. Jadi enggak usah heran jika Mas tidak peduli sama Sofia."Tega sekali Mas Hanif bicara seperti itu terhadap Sofia. Benar-benar enggak punya perasaan.Ditengah-tengah pembicara kami, Mas Ahmad sengaja pergi ke arah kamar mandi untuk memeriksa tong sampah yang
"Sofia, kamu tidak usah takut. Kami akan melindungimu. Katakan saja, siapa yang kamu takuti?" Aku meraih tangannya agar Sofia semakin yakin jika masih ada orang yang peduli padanya.Bulir bening mengalir begitu saja dari sudut netra wanita yang sedang mengandung itu. Nampaknya ia memang benar-benar tertekan. "Sofia, percayalah, kami tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu. Sekarang katakan, siapa yang kamu takuti?" Mas Ahmad kembali mencoba membujuk Sofia."A--aku--""Sofia!" Mas Hanif tiba-tiba mendorong pintu dengan kasar, ia menatap Sofia dengan tatapan tajam sehingga membuat Sofia ketakutan. Ah, kenapa Mas Hanif pake muncul saat suasana seperti ini sih! Sekarang Sofia jadi bungkam dan tidak bisa dimintai keterangan lagi. "Mira, dari tadi aku mengawasi kalian dari luar. Kamu kenapa sih memaksa-maksa Sofia? Apa untungnya bagimu? Sofia ini istriku, jadi kalian tidak usah repot-repot mengurusinya. Biarkan aku yang menemaninya di sini. Lebih baik kalian keluar," ucap Mas Hanif
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k