Share

Memilih Katering

"Vin ... bisa kita bicara sebentar?" kata Ibel pada Marvin.

Keduanya saat ini sedang ada di Tiara Catering. Marvin dan Ibel sudah datang sejak setengah jam yang lalu. Marvin menjemput Ibel terlebih dahulu. Untungnya, Marvin membawa mobil. Seandainya ia membawa motor, entah bagaimana nasib Ibel.

Tunangan Marvin itu saat ini terlihat pucat. Ia mengaku keliyengan. Saat ditanya Marvin, Ibel mengatakan kalau tensi darahnya turun. Selain itu, ia mengeluhkan mual yang amat sangat dia rasakan.

Ibel menarik Marvin keluar ke arah teras pemilik katering. Terlihat Ibel masih menutup hidungnya dengan tisu. Marvin tak bertanya. Ia hanya menatap Ibel keheranan sejak tadi. Masalahnya, sejak berhadapan dengan masakan yang harus mereka cicipi, Ibel menutup hidungnya dengan tisu.

"Kamu aja yang milih menunya ya?" kata Ibel saat mereka sudah ada di teras.

"Kenapa?"

"Aku nggak tahan sama bau masakannya."

Dahi Marvin mengerut. "Kamu nggak suka sama kateringnya? Kan kamu sendiri yang milih."

Marvin berkata seperti itu lantaran memang Ibel sendiri yang memilih katering ini. Beberapa bulan lalu, usai mereka lamaran, mereka melihat-lihat salah satu pameran wedding di Mall. Saat mereka berdua mampir ke stand pameran Tiara Catering, Ibel langsung jatuh hati pada aneka menu yang disajikan katering ini.

"Iya. Tapi hari ini aku ngerasa kok makanan mereka tajam banget sih bumbunya."

"Oh ya?"

"Iya. Aku langsung mual waktu mencium aromanya tadi."

Marvin menaikan kedua alisnya.

"Penciumanmu kayaknya lagi peka deh."

"Oh ya?"

"Iya," balas Marvin.

"Masa, sih? Masa cuma aku yang ngerasa aroma bawangnya itu nusuk hidung banget? Kamu serius nggak nyium aroma itu memangnya?"

"Nggak."

"Aneh. Aroma bawangnya itu tajam banget lho, Vin. Kurasa Dracula langsung kabur deh kalau ngeliat masakan ini."

Marvin jadi tertawa mendengar perkataan Ibel itu.

"Kamu ada-ada aja."

"Iya. Masakan ini aroma bawangnya itu nusuk banget. Makanya Dracula bakalan kabur begitu ngeliat masakan ini. Dia langsung tahu kalau makanan ini mengandung banyak bawang yang dia takutin."

Kembali Marvin terkekeh. Ia bahkan sampai menggelengkan kepalanya.

"Kamu punya penciuman Superman mungkin."

"Aah ... kamu ada-ada aja deh. Masa aku jadi manusia super?!"

Marvin terkekeh.

"Habisnya, kamu nggak tahan sama aroma masakan sedap yang menggugah selera sih."

"Aku lagi nggak tahan sama aroma bumbu. Bikin mual itu."

"Kamu pagi tadi mual nggak waktu sarapan?"

"Nggak. Aku kan makan bubur. Dibikinin bubur sama ibu."

"Sarapan bubur sama apa?"

"Bubur aja."

"Haahh? Nggak pakai apa-apa lagi?"

Ibel menggelengkan kepalanya.

"Kan aku udah bilang. Penciumanku lagi sensitive. Aku nggak bisa mencium aroma bumbu masakan. Makanya tadi cuma makan bubur aja."

"Kamu udah ke dokter?"

"Udah. Kan aku udah cerita kalau sudah dari dokter."

"Maksudku, apa dokter nggak bilang sesuatu yang berkaitan sama mualmu gitu? Masalahnya penciumanmu jadi ikutan peka begini,"

"Nggak. Cuma bilang asam lambung lagi tinggi. Mungkin karena capek atau stres aja,"

"Stres?"

"Iya. Persiapan menuju pernikahan ini sedikit banyak bikin aku kepikiran."

Marvin menghembuskan nafas panjang. Ia tak menyangka kalau Ibel jadi stres gara-gara kepikiran persiapan menuju pernikahan ini.

"Badan kamu demam nggak?" tanya Marvin. Kali ini, ia maju mendekati Ibel. Tangannya mengarah ke dahi Ibel. Ia berusaha mengecek suhu badan Ibel untuk beberapa saat.

"Nggak. Suhu badanku normal. Cuma aku mual."

"Tapi kamu bilang keliyengan. Penciumanmu juga jadi peka. Jangan-jangan ada penyakit serius yang nggak kamu ketahui."

"Iihh ... amit-amit. Biasa aja ini. Orang kalau maagnya kambuh biasanya juga diikuti sama tensi darah yang turun. Makanya aku keliyengan. Biasanya juga gitu kok."

"Beneran ini cuma karena asam lambungmu yang lagi naik aja?" tanya Marvin khawatir.

"Iya. Aku kan penderita sakit maag akut. Pernah juga kan aku menjalani pemeriksaan endoskopi karena asam lambung yang tinggi gini," jawab Ibel berusaha meyakinkan.

"Oh ya?"

 Ibel mengangguk kuat.

"Iya. Serius deh,"

"Kapan itu?"

"Waktu kuliah,"

"Ooh."

Marvin hanya mengangguk saja. Kuliah adalah masa di mana ia tak tahu sama sekali tentang Ibel. Bahkan jika boleh jujur, hingga kini pun Marvin masih banyak tak tahunya soal Ibel. Ia berpikir, ia akan belajar lebih banyak mengenal Ibel sambil jalan saja.

"Aku di sini aja ya, Vin. Terserah deh soal menu. Kamu silahkan pilih menu apa yang kamu suka. Ntar aku nurut saja."

Marvin mencebikan mulutnya sejenak sebelum berkata-kata.

"Oke," sahut Marvin pendek.

Ibel melempar senyuman tipis ke arah Marvin.

"Kamu nunggu di sana aja nggak apa-apa kok," kata Marvin sambil menunjuk ke resto yang ada di sebelah Tiara Catering.

Pemilik Tiara Catering juga pemilik resto yang ada di sebelah tempat ini. Jadi, parkir mobil tadi satu tempat.

"Aku mual. Nggak pengen makan. "

"Minum teh anget aja. Siapa tahu membantu mengatasi mual. Lagian, di sini kamu nggak tahan sama aroma masakan. Ini katering kayaknya bagian belakangnya jadi satu sama dapur resto sebelah deh. Makanya, bau masakan kenceng banget."

Ibel melongokan pandangannya ke arah belakang  ruangan teras. Sepertinya, apa yang dikatakan Marvin benar.

"Iya deh. Aku ke sana aja," katanya setuju.

Marvin mengangguk. Ibel berjalan ke resto yang letaknya tepat di sebelah katering.

Usai Ibel berlalu, Marvin kembali masuk  di mana ia tadi mencicipi contoh masakan yang hendak ia pesan untuk resepsi nanti.

Marvin kembali menemui ibu yang melayaninya tadi. Bukan pemilik katering. Hanya karyawan. Seorang ibu berumur nyaris paruh baya, dengan rambut pendek bergelombang itu tersenyum ke arahnya.

"Mbaknya ke mana Mas?"

"Oh, itu ... saya suruh ke sebelah untuk minum teh anget. Biar mualnya berkurang."

Si ibu manggut-manggut. Mulutnya mencebik sesaat sebelum berkata-kata.

"Maaf ... apa mbaknya sedang 'isi'?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status