Meski meneriakkan bahwa dia tidak peduli, pada kenyataannya Thalia tetap saja memasang kedua mata dan telinganya baik-baik akan apa yang sedang terjadi pada Jose.
Hampir setiap hari dia bertanya-tanya, adakah panggilan dari pihak berwajib untuk Jose Antonio?
Biar bagaimanapun, jika Jose kembali masuk ke balik jeruji besi, Thalia juga yang akan menanggung rasa malunya.
Nyatanya, hari demi hari berlalu, hingga satu minggu sudah, namun pria itu tidak mendapatkan laporan apapun dari pihak berwajib.
Setiap malam Jose berada di kamar menemaninya, meskipun mereka tak saling bicara. Perang yang sangat dingin membentang di antara mereka.
Tetapi, dengan melihat keberadaan Jose di sekitarnya setiap malam, diam-diam Thalia merasa lega. Sepertinya Mrs. Milly memang penuh dengan ancaman kosong.
Tetapi rasa penasaran itu tetap berkubang di benaknya.
“Apa kau tidak mendapatkan surat apapun dari pihak berwajib?” tanya Thalia tiba
Thalia kembali menjalani harinya sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sibuk menyusun skripsi. Hampir tiap hari dia ke kampus, tetapi Thalia tetap bersikukuh untuk pergi sendiri, tanpa meminta Jose mengantarnya. Dia masih berang berdekatan dengan Jose. Namun dari semua rutinitasnya, yang sangat-sangat berubah sekarang ini adalah bahwa hampir setiap pagi dia terbangun dengan memeluk tubuh Jose. Dan pria itu akan berlaku sama, menahan tubuhnya dengan pelukan, menguncinya, dan menciumnya. Thalia merasa itu semua hanyalah akal-akalan Jose, tetapi dia masih belum bisa membuktikannya. Untuk sementara, Thalia terpaksa mengabaikan dulu hal itu. Fokusnya saat ini adalah menyelesaikan skripsinya terlebih dahulu. Siang itu, Thalia berjalan bersama Felipe hendak menuju perpustakaan. Di tengah jalan, sialnya dia bertemu dengan Maritza. Tanpa tahu diri, gadis itu menghampirinya yang sedang bersama Felipe. “Hai, Thalia!” sapa gadis itu riang, yang memang menjadi keahliannya untuk menyapa orang
Thalia merasa tak mampu lagi meraup oksigen dari sekitarnya untuk disalurkan ke paru-parunya. Rasanya dunianya akan berhenti berputar sebentar lagi karena tidak ada asupan oksigen yang masuk ke tubuhnya. Thalia mengejang dengan kekuatan tangannya yang menurun drastis. Tepat saat itu, Fernando datang. Pria itu terkejut melihat ibunya mencekik Thalia langsung melerai saat itu juga. Kini giliran Thalia yang terbatuk-batuk setelah tangan Mrs. Milly melepaskan cekalan lehernya. “Kau tak apa-apa?” tanya Fernando merasa bersalah. Gabriella yang melihatnya jadi emosional, ditambah lagi hormon kehamilan yang membuat emosinya sedang berada di puncak ego yang paling tinggi. “Fernando! Kenapa kau membelanya?!” Fernando menatap istrinya tak percaya. “Apa kau gila? Dia nyaris kehabisan napas dan terancam mati, tapi kau masih cemburu padanya?” “Lagian, Mom, ngapain mom mencekiknya? Kalau Pap melihat semu
Thalia pastilah telah teramat putus asa saat dia mengucapkan ajakan pindahnya tadi. Ya, dia memang tersulut emosi yang begitu sesak membelit dadanya hingga dia tanpa pikir panjang memohon pada suaminya agar mereka pindah saja dari rumah itu dan hidup berdua. Hidup berdua saja. Oh, itu pun tidak terdengar bagus. Tetapi pilihan apa yang bisa dia perbuat? Camila tidak mungkin akan menerima kehadirannya begitu saja. Jangankan kembali ke rumah ayahnya, hanya menginap satu hari saja kakaknya itu tidak mengijinkannya. Jadi, satu-satunya cara untuk menjauh dari semua orang berhati pendengki itu hanyalah dengan pindah dari rumah keluarga Berbardo dan membangun hidup dan keluarga mereka sendiri. Masalahnya, saat melihat reaksi Jose yang terdiam dengan permohonannya, kekecewaaan merayapi seluruh kulit Thalia, merasuk hingga ke dalam tubuhnya, dan menyebar ke seluruh persendiannya. Thalia bagai tersadar, dia bukanlah siapa-siapa yang pantas
“Diam. Biar aku oleskan salep dulu,” ujar Jose sambil menahan tangan Thalia agar tidak menghalanginya dalam mengoleskan obat di bekas memar lehernya.“Ini tidak ada luka. Hanya memar saja. Tidak perlu obat,” sahut Thalia malas. Menurutnya ini berlebihan. Tidak ada yang perih. Tidak perlu diberi obat.“Tetap harus diberikan obat. Tapi lain kali jangan lagi mau menemui mereka seorang diri. Beritahu aku. Biar aku yang hadapi mereka.”“Oke,” jawab Thalia lirih. “Tetapi ini semua terjadi karena aku mencekik Maritza. Itulah makanya ibunya murka dan mencekikku. Aw! Pelan-pelan!” seru Thalia berjengit merasakan perih di salah satu luka memarnya.“Kau bilang tidak perih lagi! Tapi ini kau sampai berteriak!”“Itu karena kau mengolesnya terlalu kasar!”“Iya, iya. Ini sudah. Enakan bukan?” tanya Jose seraya dia menutup salep yang baru saja dia g
Sore itu saat penghuni rumah Berbardo telah kembali dari aktivitas masing-masing, Maritza menghampiri ibunya. Gadis itu baru selesai mandi dan hendak bertanya bagaimana rencana selanjutnya terkait menemui Austin di acara pesta Phillio.“Mom, jadi gimana? Aku masih perlu ikut mereka ke sana gak nih?” tanya Maritza pada ibunya sambil dia membenarkan lilitan handuk di kepalanya.Dia sudah menyiapkan gaun untuk acara Phillio malam itu. Dia juga sudah menentukan make up seperti apa yang akan dia gunakan di wajahnya. Sedikit banyak, ada semangat membara dalam dirinya karena akan menghadiri acara itu.Sekalipun dia membenci kakak tirinya itu, satu hal yang sering membuatnya takjub adalah kemampuan Jose untuk bergaul dengan rombongan Austin dan kawan-kawan.Austin, Fabiano, serta Phillio adalah para putra pemilik perusahaan multinasional. Kekayaan keluarga mereka takkan habis tujuh turunan dan masing-masing dari mereka adalah pewar
Seluruh lantai dasar mansion keluarga Phillio hingga ke taman belakang dengan kolam renang di sana penuh dengan para tamu, meskipun tidak penuh sesak. Orangtua Phillio memang tidak menginginkan pesta besar-besaran. Mereka berpikir di usia yang sudah paruh baya mereka hanya ingin merayakan dengan yang terdekat saja. Mansion bergaya barat abad pertengahan itu dibangun dengan megah dan luas, dengan pekarangan belakang yang lebih menakjubkan. Taman belakang yang dibangun dengan mengangkat konsep bertemakan alam natural, memiliki banyak pepohonan rimbun serta semak-semak yang rapi. Bahkan pinggiran kolam renang pun dibangun dengan menambahkan rimbunan rerumputan yang hijau, segar, dan subur. Saat mengangkat pandangan mata lebih jauh lagi akan mendapati pagar tumbuhan hijau yang ditata menjadi sebuah labirin yang cantik. Jika bukan sedang suasana pesta, Thalia sudah sangat penasaran untuk pergi ke sana dan menyusuri labirin yang bahkan dua kali lebih
[Bab ini berisi scene Maritza terlebih dahulu, barulah tentang Thalia-Jose] Happy reading!! Tanpa mereka sadari, Maritza sudah berbaur di antara para tamu. Dan begitu Jose dan Thalia masuk ke dalam labirin, gadis itu muncul untuk mendekati Austin. Hanya tatapan dingin Austin yang didapat Maritza saat gadis itu mengajaknya bersalaman dan mengutarakan maksud kedatangannya. Tangan mapan Austin tidak terangkat sedikit pun untuk menyambut tangan Maritza. “Aku datang atas utusan kakakku mengenai proyek resort di Selatan Bacallar. Seperti yang kita ketahui, proyek itu jatuh ke tanganmu, Austin. Karena itulah, aku mau memberi penawaran. Biar kami yang kerjakan, keuntungannya kita bagi dua.” Sepasang mata dingin Austin menatap Maritza. Tetapi dia masih diam tanpa kata dan menyesap wine nya satu kali barulah dia berbicara. “Aku tidak membicarakan bisnis di acara seperti ini.” Maritza tersenyum. “Kalau begitu kutunggu di La Galuna. Tanyakan saja
Di La Galuna, hotel bintang 4 di Bacalar, Maritza mempersiapkan dirinya di sebuah kamar. Dia menyemprotkan parfumnya di kamar itu, juga di ranjang yang akan dia pergunakan. Parfum yang beraroma campuran dari sandalwood serta kayu manis ini dipercaya bisa meningkatkan gairah siapa saja yang menghirupnya. Maritza sendiri juga sudah terjebak pada efek parfum itu. Dan karena itulah, Maritza merasa tak sabar menanti Austin dan hendak memberikan pertama kalinya pada pria itu. Maritza membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dan mengurai rambut pirangnya yang tidak panjang agar terlihat berantakan di atas kasur. Dia juga menurunkan sebelah tali bahu gaunnya dan mengangkat rok gaunnya hingga menyingkap pahanya yang mulus dan ramping. Maritza menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah, merasakan lembut dan dinginnya seprai ranjang yang dia tempati. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Maritza berkata dengan s