Thalia pastilah telah teramat putus asa saat dia mengucapkan ajakan pindahnya tadi.
Ya, dia memang tersulut emosi yang begitu sesak membelit dadanya hingga dia tanpa pikir panjang memohon pada suaminya agar mereka pindah saja dari rumah itu dan hidup berdua.
Hidup berdua saja. Oh, itu pun tidak terdengar bagus. Tetapi pilihan apa yang bisa dia perbuat? Camila tidak mungkin akan menerima kehadirannya begitu saja. Jangankan kembali ke rumah ayahnya, hanya menginap satu hari saja kakaknya itu tidak mengijinkannya.
Jadi, satu-satunya cara untuk menjauh dari semua orang berhati pendengki itu hanyalah dengan pindah dari rumah keluarga Berbardo dan membangun hidup dan keluarga mereka sendiri.
Masalahnya, saat melihat reaksi Jose yang terdiam dengan permohonannya, kekecewaaan merayapi seluruh kulit Thalia, merasuk hingga ke dalam tubuhnya, dan menyebar ke seluruh persendiannya.
Thalia bagai tersadar, dia bukanlah siapa-siapa yang pantas
“Diam. Biar aku oleskan salep dulu,” ujar Jose sambil menahan tangan Thalia agar tidak menghalanginya dalam mengoleskan obat di bekas memar lehernya.“Ini tidak ada luka. Hanya memar saja. Tidak perlu obat,” sahut Thalia malas. Menurutnya ini berlebihan. Tidak ada yang perih. Tidak perlu diberi obat.“Tetap harus diberikan obat. Tapi lain kali jangan lagi mau menemui mereka seorang diri. Beritahu aku. Biar aku yang hadapi mereka.”“Oke,” jawab Thalia lirih. “Tetapi ini semua terjadi karena aku mencekik Maritza. Itulah makanya ibunya murka dan mencekikku. Aw! Pelan-pelan!” seru Thalia berjengit merasakan perih di salah satu luka memarnya.“Kau bilang tidak perih lagi! Tapi ini kau sampai berteriak!”“Itu karena kau mengolesnya terlalu kasar!”“Iya, iya. Ini sudah. Enakan bukan?” tanya Jose seraya dia menutup salep yang baru saja dia g
Sore itu saat penghuni rumah Berbardo telah kembali dari aktivitas masing-masing, Maritza menghampiri ibunya. Gadis itu baru selesai mandi dan hendak bertanya bagaimana rencana selanjutnya terkait menemui Austin di acara pesta Phillio.“Mom, jadi gimana? Aku masih perlu ikut mereka ke sana gak nih?” tanya Maritza pada ibunya sambil dia membenarkan lilitan handuk di kepalanya.Dia sudah menyiapkan gaun untuk acara Phillio malam itu. Dia juga sudah menentukan make up seperti apa yang akan dia gunakan di wajahnya. Sedikit banyak, ada semangat membara dalam dirinya karena akan menghadiri acara itu.Sekalipun dia membenci kakak tirinya itu, satu hal yang sering membuatnya takjub adalah kemampuan Jose untuk bergaul dengan rombongan Austin dan kawan-kawan.Austin, Fabiano, serta Phillio adalah para putra pemilik perusahaan multinasional. Kekayaan keluarga mereka takkan habis tujuh turunan dan masing-masing dari mereka adalah pewar
Seluruh lantai dasar mansion keluarga Phillio hingga ke taman belakang dengan kolam renang di sana penuh dengan para tamu, meskipun tidak penuh sesak. Orangtua Phillio memang tidak menginginkan pesta besar-besaran. Mereka berpikir di usia yang sudah paruh baya mereka hanya ingin merayakan dengan yang terdekat saja. Mansion bergaya barat abad pertengahan itu dibangun dengan megah dan luas, dengan pekarangan belakang yang lebih menakjubkan. Taman belakang yang dibangun dengan mengangkat konsep bertemakan alam natural, memiliki banyak pepohonan rimbun serta semak-semak yang rapi. Bahkan pinggiran kolam renang pun dibangun dengan menambahkan rimbunan rerumputan yang hijau, segar, dan subur. Saat mengangkat pandangan mata lebih jauh lagi akan mendapati pagar tumbuhan hijau yang ditata menjadi sebuah labirin yang cantik. Jika bukan sedang suasana pesta, Thalia sudah sangat penasaran untuk pergi ke sana dan menyusuri labirin yang bahkan dua kali lebih
[Bab ini berisi scene Maritza terlebih dahulu, barulah tentang Thalia-Jose] Happy reading!! Tanpa mereka sadari, Maritza sudah berbaur di antara para tamu. Dan begitu Jose dan Thalia masuk ke dalam labirin, gadis itu muncul untuk mendekati Austin. Hanya tatapan dingin Austin yang didapat Maritza saat gadis itu mengajaknya bersalaman dan mengutarakan maksud kedatangannya. Tangan mapan Austin tidak terangkat sedikit pun untuk menyambut tangan Maritza. “Aku datang atas utusan kakakku mengenai proyek resort di Selatan Bacallar. Seperti yang kita ketahui, proyek itu jatuh ke tanganmu, Austin. Karena itulah, aku mau memberi penawaran. Biar kami yang kerjakan, keuntungannya kita bagi dua.” Sepasang mata dingin Austin menatap Maritza. Tetapi dia masih diam tanpa kata dan menyesap wine nya satu kali barulah dia berbicara. “Aku tidak membicarakan bisnis di acara seperti ini.” Maritza tersenyum. “Kalau begitu kutunggu di La Galuna. Tanyakan saja
Di La Galuna, hotel bintang 4 di Bacalar, Maritza mempersiapkan dirinya di sebuah kamar. Dia menyemprotkan parfumnya di kamar itu, juga di ranjang yang akan dia pergunakan. Parfum yang beraroma campuran dari sandalwood serta kayu manis ini dipercaya bisa meningkatkan gairah siapa saja yang menghirupnya. Maritza sendiri juga sudah terjebak pada efek parfum itu. Dan karena itulah, Maritza merasa tak sabar menanti Austin dan hendak memberikan pertama kalinya pada pria itu. Maritza membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dan mengurai rambut pirangnya yang tidak panjang agar terlihat berantakan di atas kasur. Dia juga menurunkan sebelah tali bahu gaunnya dan mengangkat rok gaunnya hingga menyingkap pahanya yang mulus dan ramping. Maritza menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah, merasakan lembut dan dinginnya seprai ranjang yang dia tempati. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Maritza berkata dengan s
[Seperti bab2 sebelumnya, bab ini berisi scene Maritza baru kemudian Thalia-Jose] Happy reading!! "Mom, tolong aku. Aku La Galuna kamar 404. Cepat mom, tapi jangan beritahu Pap." Maritza dengan terpaksa mengirimkan pesan itu pada ibunya meskipun saat itu tepat berada di tengah malam buta. Pria yang telah memerkosanya langsung pergi begitu saja saat selesai dengannya. Dan Maritza hanya bisa menangis menyesali nasibnya. Dia menyesali keputusannya. Dia menyesali kebodohannya. Fernando telah mengingatkannya untuk tidak macam-macam, dan sekarang dia baru merasakan sendiri kekejian seorang Austin. Selama ini dia hanya mendengar rumor bahwa Austin memang diam, tetapi dia keji. Siapa saja yang berani mengganggunya tidak akan segan-segan dia habisi, walau bukan dalam artian membunuh. Dan sekarang, Maritza sudah merasakannya. Padahal selama ini, dia tidak pernah percaya setiap kali mendengar rumor tentang Austin. Nasi sudah menjadi bubur. Kehorm
Thalia tersenyum pada Jose menutupi rasa hatinya yang berdegup kencang. Dipandanginya pria itu yang sudah polos dan seluruh tubuhnya berdesir deras.‘Oh, apakah arti segala rasa ini?’ Hati kecilnya terus bertanya.Jose mulai merangkak dan menaunginya. Tangan pria itu langsung menyelinap ke balik bajunya dan meloloskan lembaran kaos itu dari kepala Thalia.Thalia membiarkan semua itu dan memandangi Jose lekat-lekat. Seraya Jose meloloskan celana pendeknya, kemudian celana dalamnya, Thalia tetap tak berpaling dari wajah itu.Aneh rasanya, jika dulu dia selalu menatap wajah itu dan melihat sosok yang liar, urakan, dan kasar, kini yang tertangkap di matanya adalah sosok Jose yang begitu jantan, gagah, dan tampan.Ya! Dia semakin tampan di mata Thalia sekarang. Sekalipun ketampanannya tidak sebanding dengan Phillio dan Austin yang bagai pahatan sempurna seorang pria, tapi Jose memiliki aura bebas dan maskulin yang tidak dimilik
“Lagi-lagi kau pulang larut! Apa sebenarnya maumu?!”Sudah ke sekian kalinya, Fernando pulang saat telah larut malam. Terkadang hari sudah berganti meski fajar belum menyingsing. Dan Gabriella sudah tak tahan lagi.Dia berdiri di samping ranjang dengang kedua tangannya terlipat di depan dada.Dipandanginya wajah Fernando yang terlihat merah. Dasi di kerah kemejanya tampak miring. Bahkan rambut pendeknya pun tampak berantakan.Fernando balas menatap istri cantiknya itu dengan pandangan tak fokus.“Aku baru pulang. Dari mana tadi ya? Kenapa aku sudah lupa?” jawabnya yang terdengar asal-asalan.Langkah kakinya juga terlihat gontai dan tak mantap.“Oh, kau mabuk?” tanya Gabriella tak percaya. Dia sangat benci jika Fernando mabuk. Sudah pernah beberapa kali dia katakan itu, tapi sepertinya Fernando tidak menggubrisnya.‘Oke! Kita lihat saja!’ kata Gabriella dalam hatinya