Steven baru saja selesai menidurkan Kenzie. Ia menunaikan janjinya yakni membacakan buku cerita. Kenzie senang dan beruntung punya seorang ayah yang perhatian padanya. Tidak melupakan dirinya, selalu memprioritaskan anak ketimbang pekerjaannya sendiri.
Ketika hendak ke kamar tidur, Steven lihat lampu di ruang baca masih menyala, ia memutuskan untuk melihat siapakah gerangan yang melakukan. Ternyata disana sedang duduk Matilda dengan buku yang terbuka.
“Ma,” tegur Steven mengusap pundak Matilda.
“Ya, Kenzie udah tidur?” sahutnya tersenyum.
Steven mengiyakan dengan kepala menunduk, matanya fokus pada buku yang terkembang. Ia berdehem, “Ma, sabtu ini aku mau ajak Kenzie ketemu Maria. Papa Franky juga akan ikut dengan kami, mama ikut juga ya?&rd
Makanan itu diaduk—aduk saja tanpa berniat untuk melahap sampai tandas. Pasta, salah satu menu kesukaan Kenzie. Biasanya ia memakan dua piring pasta porsi anak kecil, tapi ini Kenzie tidak menyuap menu tersebut barang sesendok.“Kenzie, kenapa begitu sama makanan?” protes Steven tak suka.“Aku sedih dad, apa mommy suka makan pasta kayak aku?” sahutnya membahas Maria.“Iya, salah satu makanan yang disukai mommy. Jadi makan yang benar ya, kita harus bersyukur karena masih bisa menikmati makanan yang kita sukai.” Nasihat Steven menyuruh putranya menghormati menu.Kenzie akhirnya menyuap menu tersebut ke mulut. Kunyahannya sedikit berat, terlihat sangat terpaksa. Franky pun khawatir, ia cemas kalau cucunya nanti bisa masuk angin kare
Steven menerima pesan dari Nathan.‘Banyak juga yang dibutuhkan Kenzie, mumpung ini minggu sekalian jalanlah.’Daddy tampan melipir ke kamar sang putra. Pintu kamar terbuka sedikit, sudut kecil tersebut memperlihatkan kegiatan yang dilakukan oleh Kenzie. Putra bening ini sedang membaca buku cerita tentang kasih seorang ibu. Steven mengurungkan niatnya.‘Apa Kenzie masih penasaran dengan Maria? apa lagi tanya ia sekarang?’Ttuk...Steven memberanikan dirinya lagi, “Daddy boleh masuk? Are you busy?” kelakarnya pada sang anak.Kenzie mengikik, “Hohoho... not really. Masuk dad,” balasnya.Ste
“Ready?”“Yes sir!”Hari yang ditunggu tiba, Kenzie berpamitan pada granny Matilda untuk berangkat ke sekolah barunya. Seragam baru, sepatu baru, tas pun baru hingga rambut baru. Sepulang dari grand galaxy, Kenzie dibawa oleh Steven mengunjungi barbershop terkemuka untuk merapikan penampilan.Tiga mobil bersiap, satu amićo dan dua lagi mobil bodyguard. Amićo berada ditengah. Steven mengendarainya sendiri dimana putra kesayangan duduk manis di sampingnya sekarang.“Dad, apa sakit granny serius? Pagi ini granny gak bisa antar aku ke sekolah, padahal granny sudah janji padaku.” Kenzie teringat ucapan Matilda yang akan mengantarnya pergi ke sekolah.“Kenzie dengar daddy ya, tugas Kenzie s
Steven memberi beberapa lembar tissue pada Matilda. Ibu itu menerima dalam diamnya. Ia hanya sedang berusaha menyembunyikan kesedihan. Setelah menangis bersama, mereka juga terdiam berbarengan.“Okay mama akan mundur dari kerjaan!” celetuk Matilda pelan dan berhasil membuat Steven membelalak.Tatapan mereka beradu pandang.“Tapi dengan satu syarat, Nathan harus jadi pengganti mama!” sambung Matilda lantang.“Apa?” sahut Steven tak percaya.Matilda mengumumkan ia akan menurut pada dokter Lubis jika Nathan sang asisten Steven mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan cabang. Dulu saat Steven berjuang dengan depresi yang diidap, Matilda bekerja di perusahaan pusat sedangkan Nathan memban
Keluarga Wijaya mulai menunaikan janji yang dikumandangkan. Matilda sudah mendapatkan jadwal rutin pengobatan penyakitnya. Dokter Lubis sangat senang saat Steven memberinya kabar kalau sang ibu mau kooperatif menjalani rangkaian pengobatan, tim dokter langsung diluncurkan oleh Lubis menemui Matilda.Nathan disambut bahagia oleh karyawan di perusahaan cabang. Ia bukan orang asing bagi mereka. Cara kerja mereka pun sudah menemui chemistry jadi mengulang kembali dengan pimpinan yang sama di waktu berbeda bukanlah hal yang sulit. Karyawan menyukai bagaimana Nathan memimpin, hampir sama dengan big boss Wijaya group Steven namun lebih ramah sedikit. Kedisiplinan serta tanggung jawab bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan lagi.Selesai mengantarkan Kenzie ke sekolah, Steven meluncur ke perusahaan untuk bekerja. Mulai hari ini ia akan berdampingan dengan Hunter. Mantan
Kejadian naas kemarin membuat Kenzie belum bisa pergi sekolah. Steven memintanya sekolah dari rumah, sambil menjalani terapi bersama dokter Michael. Steven cemas putranya menyimpan trauma lebih lama. Itu bukanlah hal baik, kurang bagus juga untuk tumbuh kembang Kenzie yang notabene masih berusia dini. Steven semakin was—was pada Kenzie. Putranya bukanlah anak usia 6 tahun biasanya. Ia lebih kritis melebihi remaja jauh diatasnya. Diamnya Kenzie hanya alibi menyembunyikan rasa penasaran terhadap sesuatu.Mereka saling pandang. Michael mengajak Kenzie bermain tahan ketawa. Siapa yang paling lama, maka dialah yang akan jadi pemenang.‘Luar biasa anak Steven ini. Benar katanya, kalau Kenzie lebih cerdas dari seusianya. Bahkan tekadnya kuat, sangat berambisi.’Dokter Michael mengangkat kedua tangannya, &
SsshhhTangan Aluna mencubit kecil pahanya yang dari tadi gemetaran. Berhenti sebentar, lalu kakinya kembali bergoyang. Sekarang gerakannya semakin kencang juga hebat. Jantung Aluna ikut berdegup bagai gempa bumi yang menggetarkan permukaan kehidupan.“Silahkan diminum ibu guru,” maid menyuguhkan secangkir hot tea juga brownies cake yang baru saja matang.Aluna mengulas senyum ramahnya, “Terima kasih?” ia bingung harus memanggil apa pada pelayan ini.“Biasanya tuan muda Kenzie memanggil kami mba maid. Ibu guru boleh memanggil kami begitu,” sahut maid yang melayani Aluna.“Iya, terimakasih mba maid. Ngomong ngomong Kenzie nya mana ya? Bisa saya menemuinya sekarang?” tanya Aluna t
Aluna melamun di teras balkon kamar apartemen studio miliknya. Ia sudah mengenakan pajama, namun kedua mata belum mau diajak istirahat. Pikiran Aluna melayang teringat kejadian di rumah Steven.‘Kasihan sekali Kenzie. Ternyata ada yang lebih malàng dari padamu Aluna. Berhentilah mengumpat Tuhan yang lebih dulu memanggil mama, ya aku harus mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri. Huuuuhhhh...’Deringan nada smartphone mengagetkan Aluna. Ia bangkit berdiri lalu berjalan ke dalam mengambil benda pipih yang mengganggu malam renungannya.‘Papa?’ alis Aluna terangkat naik.Aluna menggeser layar handphone lalu menyapa pria yang dihormati itu, “Halo papa, apa kabar?” tanya ia lembut.&ldq