Sejak masuk ke kamar kosan Intan, Lintang masih membahas tentang hal-hal umum karena masih ada Rama bersama mereka. Membicarakan tentang perkembangan Mana, kehamilan mereka, juga perkembangan Rama di sekolah. Setelah Rama mulai bosan, dan memilih pergi untuk bersama Raga, barulah Lintang bisa sedikit serius.“Kamu ada hubungan sama mas Fajar?” Lintang rasa, ia tidak perlu berbasa-basi.Intan menggeleng, sambil menepuk-nepuk bokong Mana yang sedang bertelungkup di kasurnya. “Kenapa Mbak Lintang tanya begitu?”“Karena waktu itu … katanya Safir, dia sempat ketemu kamu makan siang berdua, kan?” Jika melihat ukuran kamar yang ditempati Intan, sepertinya Lintang akan membujuk gadis itu agar segera pindah saja. Lintang merasa tidak tega, jika harus membiarkan Intan yang hamil berada di kamar yang sempit tersebut. Lebih baik Intan menempati rumah Lintang, agar orang tua gadis itu bisa bebas mengunjungi putrinya. “Terus sekarang, kamu malah ngekos di depan rumah mas Fajar.”“Aku nggak ada hubu
“Mau ke mana!” desis Tati menahan siku Fajar yang hendak berlalu melewati pagar rumah. Mobil Raga baru saja menjauh, tetapi putranya itu sepertinya hendak pergi ke kosan Intan. “Nggak dengar tadi mas Raga bilang, kalau keluarga mereka sebenarnya masih mau Intan sama suaminya itu rujuk?”“Dengar.” Fajar mengangguk. Raga memang sempat mengatakan, keluarga besarnya masih berharap Intan dan Safir rujuk kembali. Meskipun, pria itu tidak menjelaskan mengenai penyebab perceraian mereka. Raga hanya mengatakan, kedua orang itu hanya termakan emosi sehingga terjadi hal seperti sekarang.Namun, Fajar jelas saja tidak bisa memercayainya.“Terus kamu mau ngapain?” tanya Tati semakin geregetan dengan putranya. Tidak bisakah Fajar mencari gadis lain yang statusnya sama-sama lajang, dan tidak merepotkan seperti sekarang. Sebagai seorang ibu, Tati pasti menginginkan, agar putranya mendapat pasangan yang statusnya sama-sama belum menikah.Akan beda ceritanya, bila status Fajar saat ini adalah seorang d
Raga yang baru masuk kamar, sontak mengerutkan dahi saat melihat Rama sudah tertidur pulas di ranjangnya. Ia menutup pintu dengan perlahan, kemudian menghampiri Lintang yang tengah menepuk-nepuk pinggul Rama yang berbaring miring, memeluk guling. “Kenapa Rama tidur di sini?” tanya Raga pelan sembari duduk di samping putranya. “Rama mendadak minta dipuk-puk kayak Mana.” Lintang hanya bisa menggeleng, melihat tingkah Rama yang terkadang bisa mengejutkan. “Kan, bisa di kasurnya sendiri, kenapa harus di sini?” Kalau begini caranya, malam ini Raga tidak bisa tidur sambil memeluk Lintang. Entah sampai kapan, Rama akan terus tidur di kamar Raga seperti sekarang. Jika dilarang, Rama pasti akan ngambek dan menyalahkan Mana. Benar-benar serba salah. Raga ingin bersikap tegas, tetapi Lintang melarangnya karena kasihan. Lintang beralasan, selama ini Rama hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Untuk itulah, Lintang tidak akan melarang Rama tidur di kamar mereka. Karena pada waktunya
“Mas Safir, tolong sopan sedikit dengan ibu hamil.”Sambil terus membawa Intan menuju mobilnya, Safir menunjuk pria yang sedang berjalan menghampirinya. “Orang luar, jangan ikut campur.”“Mas Fajar …” Intan menggeleng pada Fajar, agar tidak membuat keributan di tempat umum. “Nggak papa,” kata Intan hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. Fajar juga ikut menggeleng, dan tidak bisa diam saja melihat Intan diperlakukan kasar seperti itu. Baginya, Safir sudah bertindak kelewatan. Karena itu, Fajar tidak bisa tinggal tinggal diam. Ia mempercepat langkahnya, lalu menghalangi Safir tepat ketika pria itu hendak mengitari sebuah mobil.“Lepaskan Intan, dan bicarakan semua baik-baik,” pinta Fajar sembari menahan geram di dalam dada, dan mencoba bersabar.Safir menahan napas sejenak, sembari melihat datar pada Intan. Andai tidak mengingat ada nama Sailendra di belakangnya, Safir pasti sudah menghajar Fajar karena pria itu masih saja ikut campur. “Apa hubunganmu sama orang ini?”Intan melihat F
Fajar terbelalak, saat melihat Intan menampar wajah Safir. Firasatnya benar, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk di antara mereka berdua. Karena itulah, Fajar meninggalkan Widi dan tidak jadi pergi makan siang untuk mengikuti mobil Safir. Kemudian, di sinilah Fajar. Berada di parkiran motor, dan tengah melihat sejauh mana kedua orang itu akan melakukan pembicaraan. Namun, Fajar tidak menduga bila pertemuan tersebut akan menjadi ajang perdebatan dan berakhir dengan satu tamparan keras. Guna menghindari keributan yang mungkin akan merugikan Intan, Fajar bergegas melepas helm dan meletakkannya di tangki motor. Ia berlari menghampiri Intan, dan menarik Intan menjauh dari Safir. Fajar berdiri di antaranya, dan tetap berusaha untuk menjadi penengah yang netral, walaupun ada sebagian dari dirinya hendak memukul Safir karena telah bersikap kasar dengan Intan. “Cukup, Mas,” ujar Fajar dengan satu tangan terangkat di udara untuk memperingatkan Safir. “Kita di tempat umum, dan semua ini ngga
Kacau. Intan tidak pernah menduga, masalahnya dengan sampai bisa menimbulkan perkelahian seperti sekarang. Karena panik, Intan tidak hanya menghubungi Lintan, tetapi ia juga menelepon Widi. Hanya dua hal tersebut yang bisa Intan lakukan, karena sebagai wanita hamil, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Karena bimbingan belajar berjarak tidak sampai satu kilometer dari kafe yang didatangi Intan, maka Widi bisa datang lebih dulu ke tempat kejadian. “Saya, minta maaf, Bu,” ujar Intan tertunduk di depan Widi. Merasa bersalah, karena semua hal ini terjadi gara-gara Intan. Widi menghela. Beralih dari Intan tanpa mengucapkan satu patah kata. Ia menatap Fajar dengan luka, dan lebam di wajah sembari menggeleng. “Sejak kapan, kamu jadi preman seperti ini?” Fajar yang duduk di sudut kafe, hanya terdiam. Sementara Safir, sudah pergi entah ke mana seusai orang-orang di sekitar melerai mereka. “Sekarang, pulanglah ke rumah.” Karena tidak mendapat respons apa pun dari Fajar, maka lebih baik Widi
“Intan tadi nelpon,” Lintang berujar setelah Raga duduk di tangga teras rumah mereka. Suaminya itu baru sampai dari kediaman utama Sailendra, dan segera menghampiri Lintang yang tengah memegang stik remote control mobil listrik yang tengah Rama gunakan. “Katanya mau pindah dari kosan.”“Kapan?” Raga mengambil alih stik remote control dari tangan Lintang, dan kini, ialah yang memegang kemudi mobil yang dinaiki Rama. Padahal, Rama sudah bisa mengemudikan mobil listriknya sendiri, tetapi masih saja terlalu manja bila bersama Lintang.“Katanya terserah kita.” Lintang langsung mengalungkan tangan di lengan Raga, dan merebahkan kepalanya di pundak sang suami.“Kalau kamu nggak capek, besok kita jalan beli furniturenya.” Sembari terus mengemudikan mobil listrik Rama, Raga menceritakan semua hal yang terjadi di kediaman Sailendra. “Mana ke mana?”“Sama Eni di dalam, lagi tidur di depan tivi.” Saat kembali mengingat keributan yang diceritakan Intan, Lintang pun berceletuk. “Mas Fajar, ternyata
“Pa!” panggil Lintang sudah berdiri di depan Raga, sembari mengusap punggungnya yang terasa pegal. “Furniturnya sudah kubeli semua, tinggal ke toko elektronik.” “Yakin sudah semua? Nggak ada yang kelewat?” tanya Raga sembari memajumundurkan stroller Mana yang ada di depannya. Bocah itu tengah tertidur, dan Raga sejak tadi menjaganya, selagi Lintang membeli furniture untuk rumah yang akan ditempati Intan. Tatapan Raga beralih pada Rama yang memeluk Lintang dari samping. Kenapa putranya bisa selengket itu dengan Lintang, tetapi tidak dengan Raga? Padahal, sejak ada Mana, Raga lebih sering menghabiskan waktu dengan Rama, tetapi putranya tidak pernah memeluknya seperti itu. “Sudah,” angguk Lintang sembari mengacak-acak rambut Rama. “Diantar besok siang semuanya.” “Oke, kita ke toko elektronik kalau begitu.” Saat hendak memasukkan ponsel yang sejak tadi digunakannya, benda persegi itu lantas berbunyi singkat. Raga menyempatkan membacanya, karena pengirimnya adalah sang adik, yang sudah