“Mas Safir, tolong sopan sedikit dengan ibu hamil.”Sambil terus membawa Intan menuju mobilnya, Safir menunjuk pria yang sedang berjalan menghampirinya. “Orang luar, jangan ikut campur.”“Mas Fajar …” Intan menggeleng pada Fajar, agar tidak membuat keributan di tempat umum. “Nggak papa,” kata Intan hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. Fajar juga ikut menggeleng, dan tidak bisa diam saja melihat Intan diperlakukan kasar seperti itu. Baginya, Safir sudah bertindak kelewatan. Karena itu, Fajar tidak bisa tinggal tinggal diam. Ia mempercepat langkahnya, lalu menghalangi Safir tepat ketika pria itu hendak mengitari sebuah mobil.“Lepaskan Intan, dan bicarakan semua baik-baik,” pinta Fajar sembari menahan geram di dalam dada, dan mencoba bersabar.Safir menahan napas sejenak, sembari melihat datar pada Intan. Andai tidak mengingat ada nama Sailendra di belakangnya, Safir pasti sudah menghajar Fajar karena pria itu masih saja ikut campur. “Apa hubunganmu sama orang ini?”Intan melihat F
Fajar terbelalak, saat melihat Intan menampar wajah Safir. Firasatnya benar, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk di antara mereka berdua. Karena itulah, Fajar meninggalkan Widi dan tidak jadi pergi makan siang untuk mengikuti mobil Safir. Kemudian, di sinilah Fajar. Berada di parkiran motor, dan tengah melihat sejauh mana kedua orang itu akan melakukan pembicaraan. Namun, Fajar tidak menduga bila pertemuan tersebut akan menjadi ajang perdebatan dan berakhir dengan satu tamparan keras. Guna menghindari keributan yang mungkin akan merugikan Intan, Fajar bergegas melepas helm dan meletakkannya di tangki motor. Ia berlari menghampiri Intan, dan menarik Intan menjauh dari Safir. Fajar berdiri di antaranya, dan tetap berusaha untuk menjadi penengah yang netral, walaupun ada sebagian dari dirinya hendak memukul Safir karena telah bersikap kasar dengan Intan. “Cukup, Mas,” ujar Fajar dengan satu tangan terangkat di udara untuk memperingatkan Safir. “Kita di tempat umum, dan semua ini ngga
Kacau. Intan tidak pernah menduga, masalahnya dengan sampai bisa menimbulkan perkelahian seperti sekarang. Karena panik, Intan tidak hanya menghubungi Lintan, tetapi ia juga menelepon Widi. Hanya dua hal tersebut yang bisa Intan lakukan, karena sebagai wanita hamil, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Karena bimbingan belajar berjarak tidak sampai satu kilometer dari kafe yang didatangi Intan, maka Widi bisa datang lebih dulu ke tempat kejadian. “Saya, minta maaf, Bu,” ujar Intan tertunduk di depan Widi. Merasa bersalah, karena semua hal ini terjadi gara-gara Intan. Widi menghela. Beralih dari Intan tanpa mengucapkan satu patah kata. Ia menatap Fajar dengan luka, dan lebam di wajah sembari menggeleng. “Sejak kapan, kamu jadi preman seperti ini?” Fajar yang duduk di sudut kafe, hanya terdiam. Sementara Safir, sudah pergi entah ke mana seusai orang-orang di sekitar melerai mereka. “Sekarang, pulanglah ke rumah.” Karena tidak mendapat respons apa pun dari Fajar, maka lebih baik Widi
“Intan tadi nelpon,” Lintang berujar setelah Raga duduk di tangga teras rumah mereka. Suaminya itu baru sampai dari kediaman utama Sailendra, dan segera menghampiri Lintang yang tengah memegang stik remote control mobil listrik yang tengah Rama gunakan. “Katanya mau pindah dari kosan.”“Kapan?” Raga mengambil alih stik remote control dari tangan Lintang, dan kini, ialah yang memegang kemudi mobil yang dinaiki Rama. Padahal, Rama sudah bisa mengemudikan mobil listriknya sendiri, tetapi masih saja terlalu manja bila bersama Lintang.“Katanya terserah kita.” Lintang langsung mengalungkan tangan di lengan Raga, dan merebahkan kepalanya di pundak sang suami.“Kalau kamu nggak capek, besok kita jalan beli furniturenya.” Sembari terus mengemudikan mobil listrik Rama, Raga menceritakan semua hal yang terjadi di kediaman Sailendra. “Mana ke mana?”“Sama Eni di dalam, lagi tidur di depan tivi.” Saat kembali mengingat keributan yang diceritakan Intan, Lintang pun berceletuk. “Mas Fajar, ternyata
“Pa!” panggil Lintang sudah berdiri di depan Raga, sembari mengusap punggungnya yang terasa pegal. “Furniturnya sudah kubeli semua, tinggal ke toko elektronik.” “Yakin sudah semua? Nggak ada yang kelewat?” tanya Raga sembari memajumundurkan stroller Mana yang ada di depannya. Bocah itu tengah tertidur, dan Raga sejak tadi menjaganya, selagi Lintang membeli furniture untuk rumah yang akan ditempati Intan. Tatapan Raga beralih pada Rama yang memeluk Lintang dari samping. Kenapa putranya bisa selengket itu dengan Lintang, tetapi tidak dengan Raga? Padahal, sejak ada Mana, Raga lebih sering menghabiskan waktu dengan Rama, tetapi putranya tidak pernah memeluknya seperti itu. “Sudah,” angguk Lintang sembari mengacak-acak rambut Rama. “Diantar besok siang semuanya.” “Oke, kita ke toko elektronik kalau begitu.” Saat hendak memasukkan ponsel yang sejak tadi digunakannya, benda persegi itu lantas berbunyi singkat. Raga menyempatkan membacanya, karena pengirimnya adalah sang adik, yang sudah
“Waah, rumahnya jadi kelihatan luas.” Intan melewati pagar rumah Lintang, sembari membawa Mana dalam gendongannya. Meskipun terasa semakin berat, tetapi Intan ingin sekali menggendong balita tampan yang semakin pintar itu. Nuansa putih minimalis yang terlihat sangat bersih, benar-benar terlihat sangat melegakan. Belum lagi, ada taman kecil yang tepat berada di depan teras, yang membuat rumah Lintang yang sekarang terlihat semakin asri. “Ibu sama bapak ke sini nanti malam,” ujar Lintang sembari membuka pintu rumah, lalu memasukinya. Intan tercenung. Benar-benar belum siap, jika harus bertemu dengan Retno dan Ario yang akan berkunjung nanti malam. “Biar saya yang bawa Mana, Mbak,” pinta Eni sembari mengulurkan kedua tangannya di hadapan Mana. “Mbak Intan biar bisa bebas lihat rumah sama bu Lintang di dalam.” “Iya, Sus.” Intan akhirnya menyerahkan Mana ke tangan Eni. “Lumayan gendongannya sekarang. Bentaran aja sudah pegel.” “Nyusunya kuat, Mbak,” kata Eni sembari merebahkan Mana d
“Ma-Mas Safir.” Intan terpaku. Menatap lurus pada Safir, yang kini juga tampak terkejut melihatnya. Kaki Intan seolah berat untuk melangkah, ketika memandang Safir akhirnya berjalan dengan tatapan bingung menghampirinya.“Bu Imar?” Safir justru lebih dulu menyebut nama Imar, yang berdiri di samping Intan. Apa maksud dari ini semua? Rasanya tidak mungkin, bila Imar berhenti dari kediaman Sailendra. Terlebih, saat ini ada Intan yang masih terpaku di samping wanita paruh baya itu. Apa ini termasuk rencana Raga? Meminta alamat Safir, lalu mencari kontrakan di sekitar sini untuk Intan? “Ngapain di sini?”“Mas Safir tinggal di sini juga?” tanya Imar, kembali melihat rumah yang pagarnya ditinggalkan dalam keadaan separuh terbuka. “Apa, lagi ke tempat temannya?”“Sebentar?” Intan akhirnya bersuara, menatap tanya pada Imar. “Mas Safir tinggal di sini juga? Gimana maksudnya, Bu?”Imar sontak melipat bibir, menatap Safir. Sepertinya, Intan belum tahu mantan suaminya itu diusir dari kediaman Sail
“Bawa sebentar.”Belum sempat Safir membuka mulut untuk protes masalah Intan, Raga sudah menyerahkan Mana ke gendongannya lebih dulu. Safir yang sama sekali tidak pernah menggendong bayi, jelas saja kebingungan. Bagaimana bila Mana bergerak-gerak, menggeliat, atau menangis di tangannya?Lantas, haruskah Safir mendekap Mana dengan erat, atau melonggarkan pelukannya saat ini? Atau, bagaimana bila Mana tiba-tiba terjatuh dari gendongannya? Raga pasti akan membunuh Safir detik itu juga.“Mas—““Aku mau ke kamar mandi,” sahut Raga berjalan cepat memasuki rumah yang ditempati Safir tanpa permisi. Karena bangunannya pasti sama dengan rumah yang ditempati Intan, maka Raga tidak perlu lagi bertanya di mana letak kamar mandinya. Lagi pula, perumahan yang ditempati Safir dan Intan, ukurannya tidaklah besar. Jadi, pasti sangat mudah untuk menemukan kamar mandi di rumah tersebut.“Merepotkan!” desis Safir lalu melihat lurus pada rumah di seberangnya, sembari mendekap erat tubuh Mana dalam pelukann