Setiap ada orang di jalan, aku sengaja bertanya tentang foto Rida dan anak-anak. Upaya ini terus kulakukan hingga sore datang.Saat magrib, aku sengaja sholat di masjid yang ada di perkampungan. Siapa tahu mereka tinggal di salah satu tempat masjid itu berada.Nama masjid yang sedang kudatangi adalah An Nur. Tempatnya dekat dengan kebun teh dan beberapa villa besar. Milik orang Jakarta katanya.Selepas sholat, aku menyengaja ngobrol dengan jamaah. Tak lupa menyodorkan foto Rida dan anak-anak.“Bapak ini siapanya mereka?” tanya salah seorang pria yang dipanggil Ustaz. Wajahnya terlihat tak bisa menyembunykan kekagetan.“Saya mantan suami wanita ini, dan mereka adalah putra putri saya!”“Jadi, Anda ayahnya Azka?” tanyanya dengan nada benar-benar kaget. “Bapak kenal mereka? Tolong katakan di mana mereka, Pak. Saya mohon!”Aku terkejut mendengar pria paruh baya ini menyebut nama Azka, lalu Azkia juga Rida. Artinya dia kenal dengan orang-orang yang kucari.Tentu saja ini adalah informasi
Kata-kata pria itu lembut, tapi menusuk tepat di jantung hati. Aku tak dapat menyangkal bahwa benar Azka dan Azkia adalah tanggung jawabku. Dan kelak di akherat pasti akan dihisab terkait pengabaian ini. Makin mencengkramlah rasa bersalah dalam diri ini. Kata maaf takkan pernah menghapus kesalahan terbesar dalam hidup. Sungguh, mengapa aku bisa menjadi laki-laki bodoh hanya karena wanita busuk sejenis Ela. Mengapa mudah terpedaya oleh rayuan mautnya. “Saya berdosa Pak ustaz, saya memang jahat. Mungkin inilah sebabnya Allah belum mengizinkan saya bertemu mereka.”Kalaulah tak ingat waktu, aku masih betah di sini. Mendengarkan nasehat yang menyejukkan hati. Seakan-akan hati yang gersang ini tengah disirami oleh embun keberkahan.Aku pamit pada pria yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah. Juga memberikan nasehat berharga yang yang menyejukkan jiwa. Inilah hikmah kedatangan ke tempat ini.Selepas pulang dari sana, aku bertekad akan terbang ke Sumatera besok. Ini adalah kesempatan
RIDA “Aku akan urus tiket keberangkatan ke Sumatera pekan depan. Siapkan saja barang yang akan dibawa!” terang mas Afgan sekali lagi Perkataan itu amat serius hingga tak mungkin dibilang bercanda. Lagipula lelaki ini tabiatnya memang serius. Bila memutuskan sesuatu, takkan ditarik balik. “Saya tidak ingin merepotkan Anda. Insya Allah saya bisa sendiri. Anak-anak juga akan aman terkendali,” sanggahku. Ini merupakan penolakan halus agar ia mengurungkan niat untuk mengantar. Tak mungkinlah kami pergi berduaan. Selain tak boleh, juga khawatir ada fitnah. Duh, bagaimana menjelaskannya. “Kita tidak berdua. Ajaklah Nani dan suaminya. Sampaikan pada mereka anggap liburan,” tegasnya. Aku tak merespon ucapannya sebab percuma juga menolak. Pria ini tetap akan menjalankan keputusannya. Apa yang akan dikatakan mama dan kakak-kakakku kalau melihat mas Afgan. Apalagi kisah dengan mas Adnan pun belum aku sampaikan. Bagaimana kalau mereka berpikitan negatif soal kami. Ah, kenapa jadi ribet beg
RIDA Tak selang lima menit, mama masuk ruangan. Ia langsung berlari merengkuhku. Kami pun bertangisan. “Kamu ke mana saja, Nak. Mama takut, mama bingung! Kata Adnan kalian sudah cerai dan kamu pergi!” Aku melepas pelukan mama mendengar ucapannya. Mata ini menatapnya lekat untuk meminta kepastian akan kebenaran ucapan. “Mama sudah tahu, Rida. Mama ke sana bersama bang Rano. Di sana hanya ada Adnan dan istri kurang ajarnya. Benar-benar terkutuk mereka!” Kami kembali berpelukan sambil menangis. Bahu mama sampai terguncang saking keras tangisannya. “Rida!” Bang Rano memelukku setelah mama melepaskan pelukannya. Pria itu mengelus kepala dan punggung ini. Kudengar ia pun terisak. Mungkin sangat haru adiknya kembali dengan selamat. “Sini sama nenek, Sayang!” Mama merengkuh tubuh Azka. Ia menciumi cucunya berulang-ulang. Sedangkan Azkia menolak. Ia memang belum kenal benar dengan neneknya. Setelah acara tangis-tangisan selesai, aku memperkenalkan mas Afgan, Nani dan suaminya. Mama b
ADNAN Aku yakin pria yang bertanya pada Azka adalah Afgan. Meski tak sedang menggunakan pakaian formil, raut wajah dan ketegapan tubuh menjadi bukti paling otentik. Tatapan yang ada di balik kacamata tipis itu tak tajam, tapi menyiratkan kewibawaan. Otak ini sekonyong-konyong dipenuhi banyak pertanyaan. Keadaan itu membuat makin beratlah beban organ otak menampung berbagai pemikiran. Tentang Azka dan Azkia yang seolah tak kenal padaku. Juga betapa mata Rida terang didominasi tatapan kebencian. Pertanyaan yang baru saja terbersit menjadi hilang sebab kedatangan bang Rano. Tentu hal rasional ketika pria yang memakai kaos hitam itu marah. Pastilah di dadanya tersulut api kebencian. Yang siap melumat pria menyebalkan seperti diriku. Bang Rano melesat seperti busur yang dilepaskan dari panahnya. Sekilat tercekal kerah kemejaku yang kancingnya terbuka. Dua kakiku sampai harus berjinjit sebab kerasnya cekalan. Tangannya yang terkepal di udara sudah hampir mendarat di pipi ini. Jika sa
Setelah bermenit-menit dalam kebimbangan, aku memutuskan jalan ke kanan. Ini bukan keputusan berdasarkan pada tujuan tertentu, tapi lebih pada sudah tak bisa tahan dengan sengatan matahari yang sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, panas. Saat ada rumah makan di salah satu bagian jalan, aku memutuskan masuk ke sana. Tempatnya tak besar, tapi cukuplah dijadikan tempat perlindungan dari cuaca panas.. Aku memilih duduk di paling pojok. Di sudut ruangan ini bisa bebas melamun. Aku memang butuh menepi.sejeda dari keramaian, menikmati kesendirian. Meski ini tidak membantu menghilangkan masalah, setidaknya dapat meredakan kekacauan. Terlintas kembali kejadian di ruang Rida. Satu per satu sketsanya menyesakkan dada. Tentang kemarahan keluarga Rida, penolakan anak-anak dan tergantikannya kasih sayang mereka. Kutelungkupkan wajah di dua tangan yang disedekapkan, lalu ditaruh di atas meja. Perlahan jatuh air mata yang kini berdesakan di pelupuknya. Sesesak ini rasa yang kini hadir di dada
AFGAN Aku mendekap Azkia yang syok akibat mendengar jeritan ibunya. Anak jelita ini pun membenamkan wajah di dadaku seakan meminta perlindungan. Ia kadang menggerakkan kepala dan mengeluarkan suara agak keras, normal bagi anak yang sedang katakutan. “Sayang, gak ada apa-apa,” hiburku sambil mengelus rambut dan punggung anak ini. Tanganku sampai ikut terguncang saking kencang gerakan bahu dan bahunya. Aku juga harus menenangkan Azka. Ia sama kaget meski tak separah Azkia. Anak lelaki yang tengah bergetar ini kuajak duduk di sofa. Dalam posisi begini ia bisa menyandarkan tubuhnya pada sisi tubuhku. Kurasakan getaran di tubuh Azka. Wajarlah anak seusianya syok mendapati kenyataan yang tak disangka. Bertemu ayah yang amat dirindukan sekaligus dipersalahkan atas ketidakhadiran dalam hidupnya. Meski Azka masih pra balig, anak seusianya sudah dapat mengingat dan memahami situasi. Di kepalanya telah terkumpul memori kejadian yang menyenangkan ataupun menyakitkan. Aku mengelus punggung a
Sebelum kembali ke rumah Rida, aku mencari mini market. Dalam rangka menghibur hati dua anak Rida, aku harus membeli sesuatu. Es krim, coklat dan snack. Saat terlintas coklat aku tak bisa menahan senyuman. Rida sepertinya tak suka Azkia memakan makanan itu. Aku tahu itu karena takut bajunya kotor. Perempuan itu sangat apik. Ia tak suka ada setitik noda pun pada baju anaknya. Saking apik kadang jadi berlebihan menurutku. But, itu tak perlu diperpanjang. Namanya juga manusia, pastilah ada beda pikiran dan selera. Bagiku, sebuah perbedaan selama tak mengusik hal fundamental atau memicu kekisruhan tak perlu diperdebatkan. Hanya buang waktu dan memancing masalah jadi besar. Lebih baik fokus pada perbaikan kualitas hubungan. Membangun saling percaya dan menyamankan satu sama lain. Takkan ada kedamaian jika suami istri terlalu mengotak-atik perbedaan. Lebih baik mengikatkan diri dalam persamaan dan menghargai perbedaan. Satu hal lagi jangan terlalu menuntut kesempurnaan sebab itu hanya m