Ternyata apa yang dikatakan oleh Wanara memang benar, di gudang persenjataan tampak lengkap sekali dipenuhi senjata-senjata dari berbagai jenis. Sehingga membuat Jasena dan Sumadra terkejut dibuatnya.
"Ternyata, Wanara tidak bohong," desis Jasena. "Tapi bagaimana caranya, Wanara membawa ribuan senjata ini?" tambah Jasena bertanya-tanya."Sudahlah, jangan kau pikirkan itu! Kau tahu sendiri ilmu yang Wanara miliki sekarang sudah seperti ilmu Dewa!" timpal Sumadra langsung melangkah keluar dari gudang persenjataan itu.Semenjak itulah, Wanara dan kawan-kawannya semakin bersemangat dalam melatih para murid di padepokan tersebut.Padepokan itu pun sudah diberi nama oleh Wanara sendiri, atas permintaan Ki Ageng Jayamena. Yakni, dengan nama Padepokan Dewa Petir.Jumlah murid-muridnya pun semakin lama semakin bertambah banyak, mereka berasal dari berbagai daerah. Bahkan ada di antara mereka yang berasal dari negri sebrang."Padepokan ini sudah tidak dapat menamBeberapa bulan kemudian, sekitar seratus pemimpin dari berbagai kepatihan dan kadipaten yang ada di wilayah kerajaan Rawamerta datang menghadap ke Padepokan Dewa Petir untuk memberi penghormatan serta mengangkat Wanara menjadi seorang pemimpin untuk segera melakukan kudeta terhadap kekuasaan Prabu Bagaskara yang mereka nilai sangat tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.Sebagai pihak bawahan, para patih dan adipati yang datang itu, berjanji akan membantu perjuangan tersebut, dan akan mengirim upeti setiap tahun, serta bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan oleh Wanara."Kami mewakili seratus pemimpin daerah kepatihan dan juga kadipaten serta kademangan-kademangan yang ada di wilayah kerajaan ini. Menyatakan bahwa Raden Wanara resmi kami angkat sebagai pemimpin kami, yang kelak akan menjadi raja di kerajaan ini," tegas Warda Kusuma seorang patih dari wilayah kepatihan Dang Resta.Saat itu bukan hanya para petinggi kepatihan dan kademangan saja yang
Pada suatu siang, selesai melatih para murid di padepokan, Wanara memegang sebilah pedang pusaka miliknya. Pedang pusaka itu adalah pedang peninggalan ayahnya yang dititipkan kepada Ki Ageng Jayamena yang merawatnya ketika kedua orang tuanya sudah meninggal.Setelah Wanara beranjak dewasa, pedang pusaka itu langsung diserahkan oleh Ki Ageng Jayamena."Pedang ini memang sangat luar biasa, tanpa dipergunakan langsung pun sudah dapat melindungiku dari marabahaya," desis Wanara.Kemudian meletakkan pedang tersebut dan ia langsung meraih pedang yang satunya lagi yang ia dapatkan hasil rampasan dari gudang persenjataan istana.Diamatinya pedang tersebut, dalam hatinya Wanara merasa kurang puas pada senjata itu."Pedang ini jelek sangat tidak cocok untukku," desis Wanara merasa ragu dengan pedang yang ia dapatkan dari istana."Pasukan kerajaan Rawamerta yang mempunyai kesaktian tinggi, tidak seharusnya menggunakan pedang seperti ini," sambung
Wanara tiba di pesisir pantai langsung mendarat di tempat sepi jauh dari hingar-bingar penduduk setempat. Hal itu ia lakukan agar tidak membuat warga yang ada di perkampungan tersebut kaget melihatnya terbang."Akhirnya sampai juga," desis Wanara langsung melangkah menuju ke perkampungan nelayan.Ia tampak ceria dengan raut wajah cerah terus melangkah menyusuri pantai menuju perkampungan nelayan.Ketika baru melangkah beberapa tombak saja, tiba-tiba ia dihadang oleh empat orang prajurit kerajaan bersenjata lengkap.Keempat prajurit tersebut kebetulan sedang berada di pantai itu, melihat kedatangan Wanara yang hendak menuju ke arah timur. Mereka langsung berlari mengejar Wanara."Hentikan!" seru salah seorang dari mereka menghunus pedang dan langsung mendekati Wanara.Kemudian menodongkan senjata tersebut tepat mengenai dada Wanara. "Kau mau ke mana?" tanya prajurit itu dengan sikap tegas.Meskipun dirinya sedang dalam keadaan terancam
Setelah itu, keempat prajurit tersebut langsung pamit dan berlalu dari hadapan Wanara. Mereka tampak ketakutan sekali, dan tidak berani macam-macam lagi terhadap Wanara yang mereka anggap sebagai Dewa yang turun dari langit.Para prajurit itu langsung pulang ke istana dengan menunggangi kuda mereka masing-masing. Mereka hendak melaporkan kejadian yang sudah mereka alami.Sementara Wanara kembali melanjutkan perjalanan menuju ke tempat kediaman Sekar Widuri yang berada di perkampungan nelayan itu.*Setibanya di istana kerajaan, empat prajurit yang baru saja dihajar oleh Wanara langsung melaporkan tentang kejadian yang mereka alami.Mendengar laporan dari para prajuritnya, tentu sang raja sangat murka."Kenapa kalian tidak menangkap pendekar itu?" tanya sang raja dengan suara keras membentak keempat prajuritnya."Mau bagaimana lagi Gusti Prabu? Dia terlalu kuat dan kami tidak dapat melawannya," jawab prajurit itu.Tanpa basa-basi, Prabu Bagaska
Di istana kerajaan Rawamerta hari itu datang beberapa tamu utusan dari kerajaan Jantara. Mereka datang ingin melaporkan pesan dari raja mereka kepada Prabu Bagaskara.Demi mendengar laporan dari para prajurit Jantara, Prabu Bagaskara segera bangkit dan mengajak maha patih serta pengawal untuk keluar menghampiri sang tamu tak diundang itu.Dengan sangat hormat, Prabu Bagaskara menyambut hangat kedatangan para prajurit utusan dari kerajaan Jantara. Ia langsung mempersilahkan tamunya untuk duduk di pendapa istana."Aku persilahkan kalian untuk duduk!" ucapnya dengan tersenyum lebar.Empat orang prajurit tersebut menjura dan membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada sang raja. "Terima kasih, Tuan Raja," ucap mereka serentak.Para pelayan pun langsung menyajikan jamuan makan dan minum bagi para tamu-tamu tersebut. Prabu Bagaskara tampak bersikap ramah tidak seperti biasanya yang selalu menampakkan sikap jumawa di hadapan siapa saja.Setelah itu sang r
Namun dalam perkelahian yang semakin sengit, perhatian Jasena dan Sumadra lebih tertuju kepada keempat lawannya. Terkadang, mereka kehilangan pengamatan diri, sehingga Jasena pun sedikit mengalami luka akibat sabetan pedang dari para prajurit tersebut. Meskipun demikian, mereka sangat menyadari keadaan sebenarnya. Maka oleh sebab itu, mereka pun segera menempatkan posisi dan terus meningkatkan alur serangan terhadap empat prajurit tersebut. "Kita harus menyatukan kekuatan!" bisik Sumadra. "Baiklah," sahut Jasena. Kini mereka pun berkelahi secara bersamaan melawan empat orang prajurit itu. "Binasakan saja mereka! Jangan dikasih ampun!" teriak salah seorang prajurit yang merupakan pimpinan di antara empat orang prajurit itu. Mereka langsung menyerang dengan sabetan pedang yang begitu deras mengarah ke tubuh Jasena dan Sumadra. Namun, kelincahan mereka dalam mengolah pedang. Ternyata dapat dimentahkan oleh pergerakan Jasena dan Su
Sore itu, Wanara tengah kedatangan tamu. Mereka langsung diizinkan oleh seorang murid padepokan, untuk duduk di pendapa menunggu Wanara dan ketiga gurunya yang tengah berada di barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena. "Silahkan, Ki sanak duduk dulu di pendapa! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru untuk seger menemui Ki Sanak," kata anak muda itu bersikap ramah terhadap dua tamu tersebut. "Terima kasih, Andika sudah mengizinkan kami masuk ke area padepokan ini," jawan salah seorang di antara dua tamu itu tersenyum lebar. "Iya, Ki Sanak. Tunggu sebentar! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru!" Kemudian, mereka langsung melangkah menuju pendapa. Sementara murid tersebut segera melangkah menuju barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena untuk memberi tahukan tentang kedatangan dua pendekar itu. Tidak berselang lama, Wanara sudah tiba di pendapa bersama Ki Ageng Jayamena. Sementara itu, Ki Wirya Tama dan Resi Wana tidak ikut. Mereka masih ada uru
Pagi itu, Santika dan Sekar Widuri sedang berbincang dengan Wanara di sebuah saung tempat khusus Wanara bersantai. Kedua gadis berparas cantik itu sudah mulai akrab dan tidak bertikai lagi.Hal tersebut membuat Wanara jadi bahagia. Pasalnya, kedua gadis yang ia cintai sudah mulai rukun dan tidak saling berselisih paham lagi, semua itu berkat nasihat dari Resi Wana kepada cucunya–Santika. Ia sedikit banyaknya sudah memberikan nasihat-nasihat yang baik terhadap Santika cucu semata wayangnya."Ternyata mereka sudah berdamai, Terima kasih Dewata agung," desis Wanara dalam hati.Kedua bola matanya terus memandangi wajah kedua gadis yang tengah duduk bersebelahan di hadapannya.Wanara menghela napas dalam-dalam. Lalu berkata lirih, "Kakang merasa bahagia hari ini," desis Wanara sambil berbaring di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu.Raut wajahnya tampak berseri, dan memancarkan sinar cerah, secerah langit pada saat itu. Santika dan Sekar Wid