Pagi-pagi sekali, Wanara sudah bangun, dan langsung melakukan latihan di halaman barak. Sementara itu, Jasena dan yang lainnya masih terlelap tidur.
Pagi itu suasananya memang masih gelap, akan tetapi Wanara sangat bersemangat dalam melakukan latihan. Tanpa disadarinya, ada dua siluman yang diutus oleh Sande Braja untuk menyerahkan pakaian kebesaran yang langsung dihadiahkan oleh Sande Braja kepada Wanara."Kau lihat itu! Pergerakan Raden Wanara memang lincah dan gesit!" seru siluman bertanduk dua itu mengarah kepada kawannya.Mereka tidak langsung menghampiri Wanara, karena tidak mau mengganggu konsentrasi pendekar itu yang tengah melakukan latihan."Sebaiknya kita segera turun dan berikan pakaian ini untuk Raden Wanara!" ajak kawan dari siluman bertanduk dua itu."Jangan sekarang! Nanti saja setelah Raden Wanara menyelesaikan latihannya!" jawab silumannya. Ia tidak mau kalau kedatangan mereka justru mengganggu ketenangan Wanara dalam melakukaDi istana kerajaan Rawamerta, tersiar kabar bahwa orang nomor dua di istana telah kabur dan meletakkan jabatannya sebagai maha patih tanpa sepengetahuan penghuni istana. Keputusan tersebut, merupakan bentuk ketidakpercayaan dari sang maha patih terhadap sang penguasa kerajaan.Sementara itu, setelah Maha Patih Ramanggala meninggalkan istana dan melepaskan jabatannya tanpa pamitan lagi pada siapa pun yang ada di istana kerajaan.Senapati Landaka yang menjadi panglima tertinggi prajurit kerajaan langsung menghadap raja, dan melaporkan kepergian Maha Patih Ramanggala yang sudah menganggap bahwa ia tidak sepaham lagi dengan pemikiran sang raja dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.Beberapa saat sebelum Maha Patih Ramanggala memutuskan untuk pergi dari istana, sudah datang seorang prajurit senior menghadap Prabu Bagaskara. Prajurit itu telah melaporkan bahwa Maha Patih Ramanggala telah keluar dari istana pada malam hari."Kau mengetahui hal itu?" tanya s
Berderaplah pasukan yang dipimpin oleh Senapati Karama dan Senapati Loguna keluar dari pintu gerbang istana. Mereka segera melangkah untuk menuju desa Nelayan yang diduga kuat sebagai tempat persembunyian Ramanggala."Kita harus bergerak cepat menuju kampung Nelayan!" seru Senapati Karama, tampak gagah duduk di atas pelana kudanya dengan sebilah pedang menyanggul di punggung.Begitu juga dengan Senapati Loguna, duduk di atas kudanya sejajar dengan Senapati Karama. Puluhan prajurit kerajaan yang memiliki postur tinggi besar langsung memacu derap langkah kuda mereka masing-masing mengikuti langkah kuda dua senapati.Para prajurit itu berangkat hendak melaksanakan tugas dari sang raja untuk segera mencari keberadaan maha patih kerajaan Rawamerta yang dianggap sudah berkhianat dan meninggalkan tugas kerajaan tanpa pamit kepada sang raja.Hampir setengah hari melakukan perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Rombongan prajurit itu berhenti di datara
Sekar Widuri dan Santika tampak kagum ketika melihat kegagahan Wanara yang merupakan calon suami mereka. Wanara terlihat gagah dan tampan menyanggul sebilah pedang dengan mengenakan pakaian pemberian dari Raja Sande Braja."Tampan sekali Kakang Wanara," desis Santika tersenyum-senyum, bola matanya terus mengamati Wanara yang tengah memacu kudanya meninggalkan halaman padepokan."Kita sangat beruntung terpilih sebagai calon istri Kakang Wanara," timpal Sekar Widuri menyahut.Mereka tertawa kecil dengan wajah berseri-seri. Setelah itu langsung melangkah bersama masuk ke dalam barak.Tiba di desa Nelayan, Wanara dan rekan-rekannya langsung menghampiri sekumpulan orang yang saat itu sedang berbincang dengan para prajurit di halaman salah satu rumah warga.Panglima Jomara terperanjat ketika melihat kedatangan Wanara dan sepuluh anak buahnya. Wanara meloncat dari kudanya dan langsung berdiri di hadapan Panglima Jomara dengan gerakan secepat kilat.
Wanara tetap bersikap tenang dan tidak melakukan serangan lebih dulu. Ia tersenyum, lalu berkata, "Apa kalian tidak sayang dengan nyawa kalian?" Suara Wanara terdengar lirih, namun terkesan sebagai sebuah ancaman yang membuat para prajurit itu mundur perlahan."Hadapi dia! Jangan mundur!" bentak Panglima Jomara kepada para prajuritnya.Meskipun ragu, pada akhirnya para prajurit itu langsung menodongkan tombak mereka ke arah Wanara."Kalian berotak buntu!" bentak Wanara langsung mengayunkan kaki kanannya dan menendang keras beberapa tombak yang mengancamnya.Sehingga, tombak-tombak tersebut lepas dari genggaman tangan para prajurit itu. Selanjutnya, Wanara memukul satu-persatu perut para prajurit tersebut dengan gerakan yang sangat cepat dan berkekuatan tinggi. Hingga menyebabkan para prajurit tersebut jatuh bergelimpangan.Panglima Jomara tampak cemas dan tidak berani berkata apa-apa lagi. Ia pun, kemudian segera memerintahkan para prajuritnya untu
Keempat prajurit tersebut langsung bergerak cepat untuk kembali melakukan serangan terhadap Burma. Mereka mulai mengayunkan kembali senjata tajam mereka, dan langsung disabetkan ke arah Burma yang masih dalam posisi tenang belum banyak melakukan pergerakan.Dengan sigap para pendekar lainnya dari Padepokan Dewa Petir langsung melakukan penghadangan terhadap serangan keempat prajurit itu terhadap Burma.Benturan senjata mulai terdengar gaduh, Trang ... trang ... trang...! Saling berbenturan antara pedang dari keempat prajurit kerajaan dengan pedang milik para pendekar bawahan Burma.Burma bergegas meloncat tinggi, ketika satu pedang hampir menyasar ke lehernya. Ia pun langsung menghunus pedangnya dan kembali meluncur ke bawah hendak memenggal kepala salah seorang prajurit.Dengan gesit, prajurit itu pun akhirnya dapat menghindari serangan mematikan yang dilancarkan oleh Burma."Kita harus pergi dari tempat ini!" ucapnya mengarah kepada tiga
Keamanan di wilayah desa yang dekat dengan hutan tempat berdirinya Padepokan Dewa Petir, semakin hari semakin diperketat. Tidak terasa prajurit dari padepokan tersebut sudah berjumlah sekitar delapan ribu prajurit, hampir mendekati jumlah prajurit kerajaan Rawamerta yang hanya berjumlah sekitar sepuluh ribu prajurit.Karena sebagian prajurit kerajaan sudah berbelot dan mengikuti jejak beberapa patih dari kepatihan yang ada di wilayah kerajaan tersebut, untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Wanara.Para prajurit Padepokan Dewa Petir sudah tersebar di empat kademangan yang ada di sekitaran Padepokan Dewa Petir. Setiap kademangan memilik basis pertahanan sekitar seribu prajurit, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan atau serangan mendadak dari pihak kerajaan Rawamerta.Wanara dan ketiga gurunya terus memantau perkembangan para prajurit mereka. Dari berbagai perguruan silat yang ada di wilayah-wilayah kepatihan pun sebagian sudah ada yang tu
Pria itu terlalu yakin akan kekuatannya itu melangkah selangkah lagi semakin mendekati dua gadis cantik yang tengah mencuci pakaian di aliran sungai itu."Hai, Cantik! Sedang apa kalian?" berkata pria itu sambil berdiri kokoh di belakang Sekar Widuri dan Santika.Kedua gadis tersebut sedikit terperanjat dan merasa kaget dengan kedatangan pria yang tidak mereka kenali itu. Dengan sigap Santika meraih pedang yang selalu ia bawa setiap bepergian dari padepokan, dengan cepat Santika menghunus pedangnya dan langsung menodongkan senjatanya itu kepada pria tersebut."Siapa kau? Jangan coba-coba mengganggu kami!" bentak Santika dengan sorot mata tajamnya.Akan tetapi, pria itu tidak mengindahkan perkataan dari Santika yang sudah jelas tidak menyukai kehadirannya."Bersikaplah baik terhadapku. Aku bukan orang jahat! Kedatanganku ke sini bermaksud baik, aku hanya ingin mengajak kalian berpetualang cinta saja!" kata pria itu memasang wajah yang menjijikkan ba
Santika dan Sekar Widuri terus melangkah menuju pulang sambil berbincang lirih. Sekar Widuri tampak tidak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap penjahat tersebut.Walau bagaimanapun, ia merasa shock karena sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang pria jahat yang sudah mengganggu dirinya dan juga Santika."Bagaimana kalau nanti ada yang tahu, bahwa aku telah membinasakan orang itu?" tanya Sekar Widuri cemas."Bukan hanya kau, Sekar. Tapi kita berdua!" sahut Santika. "Tenang saja! Kau jangan cemas!" sambungnya berusaha menenangkan Sekar Widuri."Ini adalah pengalaman pertamaku membunuh orang," desis Sekar Widuri lirih. Wajahnya tersirat rasa penyesalan yang mendalam.Ia tampak terbebani dengan apa yang sudah dilakukannya terhadap penjahat itu. Santika terus memberikan keyakinan kepada Sekar Widuri, bahwa apa yang sudah dilakukannya adalah bentuk pembelaan diri, dan bukan suatu tindakan penganiayaan."Sudah mau sampai, sebaiknya