Pertarungan DimulaiPoV AuthorDi dalam tas besar yang Nadia bawa, ada beberapa berkas aset miliknya sebelum menikah, pemberian orang tua dan ada sedikit aset yang dibeli usai menikah juga. Nadia beruntung, barang berharga yang ia amankan di bawah tempat tidur, tidak ditemukan oleh suaminya.Tak hanya berkas aset. Nadia juga sudah mengamankan seluruh surat ijin membuka usaha restoran yang ditandatangani suaminya ketika itu. Jangan lupakan buku nikah yang juga ia selipkan di antara berkas-berkas penting itu."Mama, kita mau ke mana?" tanya Allisya lagi, sedikit lemah."Kita ketemu teman Mama, sebentar, Sayang. Al yang sabar, ya. Kalau ngantuk tidur saja, Sayang." Nadia menoleh ke jok belakang di mana sang anak sudah mulai meringkuk karena bosan.Allisya bukan anak yang sulit diantur, itu sebabnya, Nadia sangat jarang berbicara dengan nada yang keras. Cukup diberi pengertian, maka Allisya akan menurut.Pada akhirnya, Allisya benar-benar tertidur, membuat hati sang Mama merasakan sesak y
Mencoba Tetap TegarPoV Nadia"Oh, iya, Sayang. Sepedamu masih di Khiara, ya. Kalau begitu, kita ke rumah Khiara dulu ambil sepeda kamu. Habis itu, kita ajak Khiara main bersama. Gimana, mau?" tanyaku dengan nada penuh semangat."Mau, Ma! Yeee ... main sama Khiara lagi!" sorak Allisya kegirangan. Tersenyum aku dibuatnya. Anak ini, selalu saja senang bermain dengan Khiara, meski Khiara kerap bersikap kurang baik.Akhirnya kuputar balikkan kendaraan menuju jalan pulang, di mana sebuah komplek perumahan elit kuhuni dan tanpa sengaja berada satu perumahan yang sama dengan wanita bernama Diniarti itu yang sudah kuduga adalah Mama dari gadis kecil bernama Khiara, teman main Allisya.**Aku sengaja memarkir kendaraannya di depan gang, lalu mengajak Allisya berjalan menuju rumah Khiara. Ketika kami hampir sampai di depan pagar besi warna hitam setinggi orang dewasa itu, sungguh aku dikejutkan dengan keberadaan Mas Irwan yang sedang duduk di kursi teras."Ma, itu Papa!" teriak Allisya, hingga
Perasaan Seorang AnakKedua gadis kecil itu masuk ke dalam rumah, dengan saling bergandeng tangan. Sementara aku, kembali duduk di kursi tanpa ada yang meminta."Siapa sebetulnya wanita ini, Mas?" tanyaku langsung. Jari telunjukku mengarah pada wanita bernama Diniarti itu.Mas Irwan yang masih berdiri bersisian dengan wanita itu, hanya diam menunduk. Begitupun dengan wanita di sampingnya, seolah menunggu Mas Irwan membuka mulut."Siapa kamu sebenarnya? Apa benar, hanya saudara? Saudara dari mana?" cecarku, kali ini bertanya pada Diniarti."Aku ... aku, memang saudara Mas Irwan, Mbak.""Bohong! Mana ada saudara yang memusuhi istri saudaranya." Aku terpaksa berdiri di hadapan mereka, melipat tangan di depan dada. Rasa ingin memaki begitu besar. Namun sekali lagi, ada Allisya yang harus kujaga perasaannya."Si--siapa yang memusuhi Mbak Nadia? Saya gak merasa sedang memusuhi siapa pun," cicitnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar."Tadi siang, ibu dari wanita ini sudah memaksaku un
Kepulangan IrwanPoV NadiaOtakku terasa diperas habis untuk memikirkan ini. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi pengkhianat.Tok tok tok!"Nadia, ini Mas, Sayang."Sontak aku menoleh ke arah jendela yang diketuk dari luar. Mas Irwan datang. Bagaimana dia bisa melewati pagar yang sudah aku kunci?Kamar kami memang berada paling depan. Wajar saja jika dia bisa mengetuk jendela ini dari luar. Gegas kuhampiri gorden yang tertutup rapat, mengintainya dari dalam kamar. Benar, Mas Irwan di luar.Mau tak mau, kuhampiri pria yang sebetulnya hingga kini masih mengisi hatiku. Hanya saja, cinta yang kupunya kini sudah berbaur dengan kekecewaan."Ada apa lagi, Mas?" tanyaku, tak mau menatap wajahnya yang terlihat mengenaskan.Tiba-tiba saja, pria itu luruh ke atas lantai, bersimpuh di kakiku. Kubiarkan saja, toh, aku tidak memintanya."Maafkan Mas, Sayang. Mas sudah berbohong padamu," ucapnya dibarengi dengan tangis memilukan.Oh, Allah ... benarkah ini. Lelakiku
Sebuah PengakuanPoV Irwan"Nadia ... Mas mohon, bertahanlah. Setidaknya, sampai bayi dalam kandungan Dini lahir," mohonku pada istri yang amat kucintai.Tatapan tajamnya kini berubah menjadi sebuah keheranan. Aku tahu, Nadia pasti bingung dengan semua yang kuucapkan."Mas janji, setelah bayi itu lahir, Mas akan bertindak tegas." Kusambung ucapan ambigu yang membingungkannya."Ada apa dengan bayi itu, Mas? Apa dia ... bukan anakmu?" Nadia sepertinya sangat sedikit syok. Ia terduduk di atas kursi, lantas segera kudekati dan bersimpuh di kakinya.Sungguh, aku rela jika ia memintaku untuk mencium kedua kakinya. Bukan hanya sekadar soal harta, tetapi juga cinta yang kupunya untuknya dan Allisya. Meski aku sangat sadar akan kesalahanku, tetapi aku sangat berharap Nadia mau memaafkanku."Mas yakin, bayi itu bukan anak Mas. Jadi, lima bulan lalu, Mas pernah tugas di Bogor ..."Malam itu, aku bertemu lagi dengan Diniarti yang kebetulan memang wanita yang pernah kucinta semasa SMA dulu. Tak te
Pria di Makam PapaPoV Nadia"Maafkan, Mas," ulangnya untuk ke sekian kali. Dada ini terasa sangat perih, nyerinya sampai ke seluruh tubuh setelah mendengar penjelasan Mas Irwan.Tak apa, setidaknya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi melalui mulut Mas Irwan langsung. Namun untuk mengulang kisah yang sama, rasanya aku tak akan sanggup."Aku akan coba memaafkan, Mas.""Benarkah? Terima kasih, Sayang,"sambar Mas Irwan, berdiri dari duduk simpuhnya hendak memeluk tubuhku. Terpaksa, aku hanya bisa mendorongnya daripada menerima pelukannya. Belum rela rasanya, tubuh ini kubiarkan berada dalam dekapnya.Ya, dulu memang hanya dekapannya yang mampu membawaku pada suatu kedamaian, setelah kepergian Papa. Tapi sekarang, kuyakin pelukan itu hanya akan membawaku pada kehancuran."Sekarang pulanglah ke rumah istri sirrimu. Karena aku tidak sanggup lagi menjadi bagian dalam hidupmu. Aku menyerah, tetapi bukan untuk menyerahkan semuanya.""Kenapa begitu, Sayang? Mas mohon, beri Mas kesempatan satu
PoV Nadia"Al, cantik. Mama boleh minta tolong, gak, Sayang?" Gegas kututupi arah pandang Allisya dari pria yang ada di dekat nisan Papaku."Apa, Ma?" Gadis yang sejak tadi murung, menjawab tanpa semangat."Ambilkan tisyu di mobil, ya. Ini kuncinya." Kuberikan kunci mobil pada Allisya. Bukan aku tak khawatir pada gadis kecilku. Hanya saja, ada hal yang harus kulakukan. Biasanya, Allisya akan sangat suka jika kuminta membuka kunci mobil. Lagi pula, aku masih bisa memerhatikannya dari tempatku berada, yang memang tidak jauh dari parkiran.Benar saja, gadis itu segera melengkungkan senyuman seraya menyambar kunci mobil dari tanganku. Selangkah Allisya meninggalkanku, secepat kilat kusambar ponsel dari dalam tas.Bersembunyi di balik rumput ilalang, kunyalakan kamera pada ponselku untuk merekam pergerakan dan ucapan pria berkacamata hitam itu yang sengaja dibeli sepasang dengan milikku."Pa, maafkan Irwan. Tadinya, Irwan sama sekali tidak menyesali ini. Tapi sekarang, rasanya semua yang s
Pasca KecelakaanPoV AuthorSeorang anak perempuan tengah menangis di samping tempat tidur sang Ibu yang kini masih belum sadarkan diri."Mama, bangun, Ma. Al minta maaf, sudah buat Mama nabrak," lirih sang anak merasa bersalah. Pasalnya, sebelum kejadian kecelakaan itu, dirinya baru saja membuat sang Ibu lepas konsentrasinya."Tenang, Cantik. Mama kamu baik-baik saja. Mungkin sebentar lagi Mama sadar," rayu seorang pria seusia Kakek Allisya."Opa serius?" tanya Allisya, menatap pria tersebut tanpa menghapus jejak air mata di wajahnya."Iya. Tenang, ya. Opa juga gak akan ninggalin kamu, sampe Mama diperbolehkan pulang," terang pria tersebut, kembali menarik Allisya ke atas pangkuannya, sebab tadi anak itu sempat tak mau dipangku.Sementara itu, Nadia perlahan membuka matanya. Dilihat sekeliling ruangan tersebut dan ia segera ingat akan kejadian yang baru saja menimpanya."Pak Adnan? Al, Sayang?" panggilnya setengah bertanya, mengapa Pak Adnan ada di sana."Mama!" Allisya segera turun