Share

Bab 6 - Gadis Kecil Teman Anakku

Gadis Kecil Teman Anakku

Apa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.

Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"

Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.

Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.

Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.

Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?

Masalah satu belum selesai kuselidiki, kini masalah baru sudah muncul ke permukaan. Mengapa juga resto yang di Tangerang harus kebakaran.

"Astaghfirullah ... ini namanya sudah takdir, Nadia," gumamku, menyesali sesuatu yang sempat terlintas di hatiku.

Semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Maka dari itu, aku tak perlu takut jika hati suamiku telah berpaling ke lain hati. Artinyaz aku hanya perlu terus berjalan, memperjuangkan hak anak semata wayangku.

Ya, aku tak boleh lemah!

**

Hari sudah sore. Mas Irwan belum juga sampai di rumah. Aku dan Allisya bermain sepeda di sekitar komplek perumahan elit tempat kami tinggal. Di tengah komplek, ada sebuah taman kecil khusus untuk bermain anak-anak komplek sini. Allisya akan sangat senang jika kuijinkan bermain di taman ini, bertemu dengan teman sebayanya. Hanya saja, aku belum berani melepasnya bermain sendiri.

Mas Irwan tak juga mengirim pesan. Padahal, ponsel selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Meski aku curiga akan dirinya, namun tetap saja hati ini bertaut ingin diperhatikan. Terkadang aku benci dengan rasa ini yang terlalu salam untuknya.

"Jangan, ini punyaku!"

"Pinjam, Al!"

"Aku dulu!"

Aku menoleh pada Allisya yang tadi sedang bermain dengan temannya. Mereka berdua berebut sepeda yang tadi Al bawa dari rumah. Sepertinya, teman Allisya ingin meminjamnya.

"Hey, Sayang. Kenapa?" tanyaku, mendekat dan menundukkan wajah agar sejajar dengan kedua bocah berusia 7 tahun itu.

"Khiara mau pinjam, tapi maksa. Aku dulu, dong, Ma. Ini 'kan sepadaku," jelas Allisya.

"Huh, dasar pelit!" dengkus Khiara--teman Allisya. Aku sedikit heran. Mengapa anak ini sering bermain di taman ini sendirian, tanpa didampingi orang tua. Dan satu hal yang membuatku merasa aneh. Anak ini seperti tidak memiliki rasa hormat sedikitpun terhadap orang tua temannya. Beraninya ia mengumpat Allisya di hadapanku.

Bukannya aku tidak memaklumi karakter anak kecil. Hanya saja, anak seusianya seharusnya sudah paham cara menghormati orang tua. Minimal, punya rasa takut terhadap orang tua temannya.

"Khia, main sepedanya gantian, ya. Biar tante yang hitung berapa putarannya, tapi Allisya duluan." Kucoba untuk menenangkan amarahnya.

"Gak usah, Tan. Khiara memang orang mis_kin. Gak pantas main sepeda bagus kayak punya Al," ketusnya, hendak melangkah meninggalkan aku.

Aku menahan pergelangan tangannya. "Siapa yang bicara seperti itu? Apa Al ada bicara yang tidak enak?" tanyaku, terpaksa berjongkok demi mensejajari tubuhnya.

Meski di mataku ia bersalah, namun ia pantas mendapatkan kelembutan. Siapa sangka, jika di rumahnya mungkin anak ini selalu merasa tertekan, sehingga menjadikannya anak yang kurang sopan santun.

"Gak ada, sih. Tapi ... ya, bisa saja, bukan semua orang berpikir seperti itu padaku. Sudah, Tan, Khia mau pulang. Takut dicariin Mama!" teriaknya sambil berlari meninggalkan taman.

Aku masih berlutut di atas rumput hijau yang membentang di atas tanah seluas sekitar 500 meter kubik ini, menatap kepergian gadis kecil berkulit sedikit gelap itu.

"Maaf, ya, Mama gak bisa bujuk teman kamu," ucapku pada Allisya.

"Iya, Ma. Tapi, Al jadi gak enak, deh. Padahal, Al enggak pernah bilang Khiara mis_kin. Lagian, dia juga tinggal di rumah yang sama seperti kita. Di komplek yang sama. Rumahnya besar, kayak rumah kita," jelas Allisya.

Aku mengernyit. Betul juga yang Allisya katakan. Bagaimana mungkin anak seorang mis_kin bisa tinggal di komplek perumahan seperti ini. Apa mungkin dia anak asisten rumah tangga di komplek ini? Aku jadi penasaran.

"Al tau rumahnya?" tanyaku menyelidik. Pasalnya, Allisya tidak pernah kuijinkan main tanpa pengawasanku.

"Tau. Waktu Al berangkat pakai Bus sekolah, pak sopir selalu berhenti di depan rumah Khiara, Ma."

Allisya memang sempat ikut bus jemputan dari sekolah, setiap berangkat dan pulang. Tapi tidak lama, karena aku kasihan padanya harus berangkat pagi-pagi sekali dan berkeliling menjemput teman-teman lainnya.

"Jadi, kalian satu sekolah? Khia kelas berapa, Nak?" tanyaku. Sebab jika kuperhatikan dari postur dan caranya bicara, sepertinya Khiara berusia di atas Allisya.

"Kelas tiga, Ma," jawab Allisya terlihat mendung di wajahnya. Benar dugaanku bahwa anak itu lebih besar beberapa tingkat dari anakku.

"Al kok, sedih?"

"Allisya gak enak sudah buat Khiara sedih." Gadis kecilku menunduk dengan bibir menyerucut manja.

"Ya, sudah. Kita susul Khiara ke rumahnya, ya. Pinjamkan sepedamu untuk beberapa hari padanya, nanti biar Mama yang ambil."

"Al pulang jalan kaki?" Allisya menunjuk ke arah dadanya.

"Naik di sini," ucapku, menujuk besi batangan sepeda di depan sadel.

"Oke, Ma!"

Aku jadi semakin penasaran dengan anak itu. Dia mengaku mis_min, tetapi tinggal di komplek perumahan elit dan sekolah di sekolah yang terbilang mahal. Siapa sebetulnya anak itu?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status