Brata tak berharap banyak pada kedatangan Nania. Situasi dingin di rumahnya membuat Brata berpikir jika mungkin Nania tak akan lagi mau melihat wajahnya. Walau di sisi lain, Brata juga sangat yakin jika Nania lebih dewasa dalam menyikapi keegoisannya.Masih ada keinginan bagi Brata untuk bersama Nania. Tapi ada juga ego di dalam dirinya yang tak ingin Nania merasa aman di sisi pria lain. Walau kenyataannya tak seperti itu.Brata masih memeriksa ponselnya. Menurut perhitungannya setelah membuka maps, Nania akan datang dalam waktu dua jam. Dan sekarang dua jam sudah berlalu.“Traffic Jakarta memang gila. Sudah malam pun masih saja jalanan macet.” Tadinya Brata mencoba untuk menghubungi Budi, sampai mobil yang asistennya bawa mendekat ke arah lobby dan memperlihatkan sosok yang Brata tunggu.Dimulai dari kaki sawo matang yang mencuat dari pintu mobil. Sepatu berwarna senada dengan gaun berhasil membuat penampakan kaki itu jadi sangat menonjol. Jakun Brata sendiri naik turun ketika dia me
“Keterlaluan kamu, Ev.” Brata menunjuk wajah Evani. Dia tak lagi memikirkan manusia-manusia di sekeliling mereka yang mencoba mencerna apa yang terjadi.Tapi secara tak terduga, Evani justru tampak santai. Dia adalah tipe yang tak pernah meragukan semua hal yang dia lakukan, walau pun hal itu hanya sebentuk kesalahan terbesar.Yang Evani tak tahu, Brata akan semakin melindungi Nania jika Evani membuatnya terluka.“Beb, aku cuma mau ia sadar di mana posisinya.” Evani merangkul Brata yang lantas pria itu tepis. “Lagi pula kamu milik aku.”“Berhenti jadi wanita mengesalkan!”“Lalu bagaimana dengan Nania? Apa kau pikir dia bukan wanita semacam itu?” Evani marah. Dia menunjuk wajah Brata setelah mencoba tenang tidak lagi membuahkan hasil. “Semua yang ada di pesta ini tahu kalau seharusnya kamu jadi milikku.” Evani menyentuh dagu Brata. Dagu yang mengeras karena rasa kesalnya. “Dia itu gak seharusnya menyentuh apa yang bukan jadi miliknya, dan apa yang kulakukan hari ini adalah hal yang san
Menunggu. Menunggu adalah hobi yang Nania lalui bahkan sebelum mengena Brata. Di awal pernikahannya dengan Dono, Nania akan menunggu suaminya di depan pintu dan menyambutnya dengan pelukan hangat.Semua itu dia lakukan sebelum akhirnya kondisi ekonomi mereka memburuk. Saat itu Nania baru sadar jika pernikahan tak hanya tentang cinta, tapi juga tentang finansial yang harus dipenuhi.Sebenarnya hidup mereka bisa saja berjalan tanpa adanya hambatan dan kekerasan, tapi seperti manusia yang lain, selalu saja ada perasaan kurang yang terpenuhi dengan jalan pintas. Dono mulai merasa jika dia tak bisa hidup hanya dengan dua puluh ribu sehari, dia juga mulai memikirkan rokok dan juga tambahan untuk bersenang-senang.Hanya saja, Nania tak pernah mengerti kenapa jalan keluarnya harus ditempuh dengan menjual dirinya?Dono membujuk Nania dengan alasan ingin membuka usaha yang lebih menguntungkan rumah tangga mereka. Dimulai dengan seorang preman yang membayarnya dengan uang dua ratus ribu. Dan Don
“Wah, wah, wah. Apa ini yang aku lihat?”Sebuah langkah anggun mendekati dapur. Baik wajah atau pun bajunya tidak cocok dengan lingkungan dapur itu dan menandakan bahwa dia ada di sana hanya untuk membuat keributan.“Nyonya rumah lagi pegang-pegang bumbu dapur? Kamu beneran istri dari Brata Sudibyo yang pengusaha terkenal itu, bukan sih?”Evani. Dia selalu saja bisa membuat Nania resah. Bahkan kini, tangan Nania sudah gemetar ketika membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini.Evani melangkah lebih dekat dan menyentuh satu bumbu dan menciumnya.“Kalau aku jadi kamu, aku gak akan mau nyeburin diri ke dapur kotor ini.” Bumbu itu ia lempar sembarangan. “Lagi pula, buat apa kamu masak, Nan? Kamu mau kelihatan hebat sebagai istri Brata? Apa itu perlu?” Evani tampak kesal setengah mati dan terus mengejek. “Tapi wajar, sih. Kamu mungkin terbiasa jadi pelayan di rumahmu yang kecil dan udik. Kamu gak tahu cara senang-senang dan bersolek biar cantik.”Lalu wanita jahat itu berlalu. D
“Tuan?” Budi sebenarnya paham betul maksud dari ucapan Brata, tapi Tuannya itu belakangan ini bersikap aneh dengan Nyonyanya dan dia merasa menjawab tak akan menyelesaikan apa pun.“Aku berpikir untuk menceraikan Nania.” Brata menghentikan jarinya yang semula bermain di atas keyboard laptop. Ada rasa bergetar yang perih saat dia berkata seperti itu. “Nania adalah wanita yang baik, begitu pula denganmu. Belakangan aku merasa kalau dia tak akan bahagia dengan cara lingkunganku memperlakukannya.”Brata menarik dasinya. Dadanya sesak dan dia butuh udara lebih dari pada sekedar beban cinta.“Aku ingin kamu menikahi Nania, menjaganya, dan memberikan yang terbaik.” Lalu mata tajam itu menatap Budi yang juga menyimak Tuannya. “Akan kuberikan kalian uang dan juga tempat tinggal yang layak. Kau bisa membangun bisnismu sendiri dan tak perlu menghawatirkan masa depanmu. Anakmu keturunanmu juga kelak akan kubiayai sampai meraih universitas yang ia mau.” Brata tampak sudah memikirkan hal ini dengan
Nania tak pernah mau jadi lembek. Dia tak mau menjadi wanita yang hanya mampu mengeluarkan air mata. Tapi seperti sebuah pengaturan dalam ponsel pintar, jiwa Nania yang dijejali kepahitan hidup yang tak bisa ia lawan membuat air mata Nania jadi satu-satunya pengobat deritanya.Tepat saat dia menghapus titik air yang mengalir pipinya itu, sebuah mobil yang Nania kenali sebagai milik Brata menggelinding memasuki lahan parkir. Seorang wanita keluar dengan langkah marah dan Brata menyusulnya di belakang.Dia Nyonya Martha. Seorang Ibu dengan tangan yang dingin dalam mengatur segala hal di hidupnya. Tak ada yang berani menatapnya berlama-lama seakan matanya mampu melahap esensi jiwa seseorang sampai mengering."Ibu tidak suka dengan wanita itu. Titik. Kamu hanya perlu menuruti ibu atau lebih baik kamu tak lagi anggap ibu ada." Nyonya Martha melepas kaca matanya dan berbalik menatap Brata. "Kamu tidak bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, Brata. Dan Ibu tahu betul dari mana asal wanita
"Pak?"Brata terdiam menatap Nania. Gadis berkulit terpanggang matahari itu terlihat begitu memesona. Mungkin dia mabuk, tapi Brata tak ingat jika ia minum sesiang itu.Tidak. Cintanya pada Nania yang membuatnya mabuk. Padahal dia baru saja berniat membicarakan perceraian mereka siang ini, tapi ketika dia menatap Budi yang berada begitu dekat dengan Nania, hatinya mulai terbakar."Maaf." Brata lemas dan mulai melepaskan diri dari Nania, membuat wanita itu sedikit kesal karena harapannya yang sempat meninggi. "Aku pasti sudah sangat gila.""Tuan?" Nania menahan tangan Brata dan membuat desir aneh di jiwa pria itu.Brata menepis tangan Nania. Tidak. Dia tak bisa jatuh dalam cinta begitu saja. Dia harus memperhatikan kehidupan di sekitarnya yang tak menerima Nania. Dia tak mau Nania menderita ketika ada di sisinya.Orang-orang yang hidup dengan kelas yang sama dengannya tak pernah suka pada wanita semacam Nania. Mereka akan menggancurkan wanita itu dengan semua ucapan buruk mereka.Brata
"Wanita menyebalkan! Baiknya kamu mati saja, Nan!" Evani tengah dibakar amarah. Pasalnya dia mengingat hari dimana dia memakan masakan yang Nania buat.Sebagai orang dengan strata tinggi di ibu kota Jakarta, Evani selalu merasa kalau tidak semua makanan bisa dinikmati. Dia hanya tahu jika makanan mahal lah yang bisa membuatnya terpuaskan.Sampai masakan Nania mampir ke mulutnya.Rasanya kesal saat tahu wanita hina seperti Nania bisa membuatnya terpesona. Apa lagi jika membayangkan Brata memakan makanan itu setiap hari."Aku juga bisa masak. Aku bahkan bisa menyalakan kompor."Evani tahu jika kompor induksi di rumahnya bekerja seperti tombol pada coffee maker miliknya. Dia tak tahu kalau memasak tak hanya tentang satu atau dua tombol, tapi tentang jumlah bumbu dan juga waktu dimana seluruh bahan harus tercampur."Pa! Kita punya kenalan chef, gak sih?"Papa Evani tampak bingung saat tiba-tiba anaknya menelepon hanya untuk bicara soal chef."Ada. Steven kan chef restoran teman Papa, mema