Share

Wanita Kedua
Wanita Kedua
Penulis: Ajeng padmi

Antara Angan dan Realita

Ini hari pernikahan suaminya.

Pagi itu terlihat kesibukan di sebuah rumah besar bergaya eropa. Hiasan telah terpasang di taman belakang rumah yang akan digunakan untuk acara. Sebuah meja dengan empat buah kursi telah dipersiapkan di tengah-tengah. 

Dina masih tepekur disisi tempat tidur yang telah di hias cantik. Dengan tangannya sendiri dia menghias setiap sudut dengan apiknya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, ada rasa tidak rela di hatinya, tapi dia juga tak tega untuk menggagalkan pernikahan ini. 

Hatinya sakit sangat sakit. Tapi menangis pun tak ada gunanya nasi telah menjadi bubur. Dan dia hanya bisa menerima ini dengan lapang dada, berusaha menguatkan batinnya yang sudah terkoyak.

“Sudah selesai menghias kamarnya, Din?” dina menoleh ke asal suara di sana ibu mertuanya berdiri memandang sekeliling kamar wanita paruh baya itu sepertinya puas dengan hasil kerja menantunya. 

“Bagus banget hiasannya, Angga pasti senang.” Dina hanya tersenyum sekilas. 

“Ayo keluar, Din, ijab qobulnya akan segera dimulai.” 

Dina memandang ibu mertuanya nanar, haruskah dia hadir di sana menyaksikan Angga menikah denga Kiera. 

 Tidak adakah seseorang yang mengerti perasaannya yang tidak baik-baik saja.

 Hatinya begitu sakit, seolah ada pisau yang menggoresnya. Tangannya mengepal menyembunyikan getaran yang akan semakin membuatnya lemah. Dia wanita yang kuat. 

Hidupnya tidak pernah mudah, sebagai anak panti asuhan yang tak mengenal siapa orang tuanya, dina terbiasa memendam perasaannya sendiri. 

‘Kamu akan baik-baik saja, Dina. Angga berjanji akan berbuat adil padamu.’ Dina terus mensugesti dirinya agar mau melangkah ke tempat acara. 

***

Tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Dina, dia akan menjadi wanita kedua dalam hidup suaminya. Dia juga harus menerima kenyataan bahwa cinta sang suami sudah terkubur bersama gundukan tanah merah bertabur bunga. 

Jangan pernah membayangkan dia adalah perebut suami orang yang lebih dicintai dari pada istri pertama. Dina bukan wanita seperti itu, sebagai wanita yang besar di panti asuhan dia tak punya pilihan lain saat seorang wanita yang sudah dia anggap menjadi ibunya datang dan meminta untuk menjadi istri sang putra dan sebagai ibu untuk kedua cucunya yang baru saja ditinggal untuk selama-lamanya. 

lima tahun pernikahan mereka Dina masih berharap, suaminya akan sedikit demi sedikit mencintainya, tapi ternyata hidup memang tak segampang seperti cerita di novel yang pada akhirnya saling jatuh cinta dan hidup bahagia selamanya. 

Dina tersenyum miris mungkin dia harus mengurangi membaca novel-novel itu, supaya pikirannya tetap logis sesuai dengan realita yang ada. 

Dan sekarang dia harus menghadapi kenyataan lain dalam pernikahannya. 

Suaminya akan menikahi wanita lain, menjadikan luka di hatinya makin menganga, mungkin orang lain bisa memberontak, mengatakan pada dunia bahwa dialah wanita yang paling tersakiti.

 

Dina tak bisa dia tidak sanggup menyakiti hati suaminya dan juga orang-orang yang mengharapkan pernikahan ini. Rasa cinta memang membuatnya bodoh.

"Kamu baik-baik saja kan, Din?" 

Dina mengangkat kepalanya sejenak dia lupa kalau ibu mertuanya berjalan di sampingnya. 

"Iya, Ma,"  jawabnya singkat. 

"Maafkan Angga ya, Din, karena kesalahannya kamu harus rela diduakan." 

Dina hanya mengangguk singkat dia tak tahu harus berkata apa. Mungkin sudah takdirnya yang harus menjalani kehidupan seperti ini.

Mereka kembali berjalan menuju tempat acara. 

Dina memandang nanar pada laki-laki berbalut jas hitam yang duduk di depan penghulu. 

Dia Airlangga Wicaksana, laki-laki yang menikahinya lima tahun yang lalu, laki-laki yang selama lima tahun ini selalu mendominasi pikirannya, menggeser nama-nama yang sebelumnya menjadi prioritasnya. 

Laki-laki yang selama ini secara fisik hanya miliknya meski tak secuil pun hatinya bisa dia miliki, tapi mulai hari ini dia bukan hanya miliknya, ada wanita lain yang memiliki hak yang sama.

Di sampingnya duduk wanita yang sebentar lagi resmi menjadi madunya, wanita yang juga memiliki hak atas suaminya.

Dina menundukkan pandangannya kenapa kenyataan begitu kejam, saat hatinya sudah sepenuhnya menjadi milik sang suami. 

Kakinya bergetar seolah tak mampu menompang tubuhnya yang tiba-tiba lemas. Bolehkah dia pergi dari tempat ini?

 Dia hanya ingin sendiri. Lagi pula tak ada pentingnya dia hadir di sini, benar dia harus pergi sebelum dia merangsek maju dan menyeret suaminya pergi supaya pernikahan mereka tak pernah terjadi.

"Din! Mau kemana?" ibu mertuanya yang sejak tadi berada di sampingnya menangkap pergelangan tangan Dina.

 "Tetap di sini, Din." 

"Dina sedang tidak enak badan, Ma,  mau ke kamar saja."

Dina melihat mertuanya menghela nafas sedih lalu berkata, "Ini mungkin sulit, Din, sebagai sesama wanita Mama juga pasti tidak sanggup melihat suami menikah lagi, tapi kamu harus tetap di sini sebagai bukti bahwa kamu merestui pernikahan mereka."

Wanita paruh baya itu menggenggam tangan Dina lembut.

"Banyak kolega yang datang, jika sampai mereka tahu kamu terpaksa menerima ini akan jadi gosip yang akan merusak citra Angga, jadi berusahalah tersenyum." 

Tersenyum,  apa mama mertuanya sudah gila? Mana bisa dia tersenyum bahkan dari tadi air matanya sudah akan menetes. Lagipula untuk apa mereka mengundang para kolega, ini bukan pernikahan pertama Angga. 

Dina terpaksa mendudukkan bokongnya di kursi tangannya tak lepas dari genggaman sang mertua, mungkin wanita itu takut Dina melarikan diri, atau lebih parahnya mengacau di tengah acara.

"Bun, kenapa Papa duduk di sana?" Dina menoleh saat mendengar suara Ara putri semata wayangnya yang baru berusia empat tahun. Dina lupa ada putrinya yang harus dia perhatikan. 

"Papa sedang ada tamu jadi tidak bisa duduk bersama kita, Ara sini sama bunda."

 

Dina mencoba meraih Ara dalam gendongannya tapi anak itu lebih gesit dia berlari ke arah Papanya, sambil berteriak "Papa!" yang membuat semua perhatian tertuju padanya. 

Dina sedikit kesusahan karena kain jarik yang dipakainya, bahkan anak itu sudah merengek menarik-narik baju papanya. 

Dina mempercepat langkahnya tak ingin sang putri lebih lama menjadi pusat perhatian. Dapat didengarnya bisik-bisik yang membuat panas telinganya. 

"Ara sama Bunda dulu ya, Papa masih ada perlu nanti kita main lagi."

Dina memandang suaminya yang juga memandangnya meminta bantuan. 

Tak ingin banyak bicara Dina segera meraih putrinya dari gendongan sang suami. Tangis putrinya membuat hati Dina makin pilu.

'Apa putri kecilnya ini juga merasakan hatinya yang sedang terkoyak.' 

Dina terus saja melangkahkan kaki tak pedulikan lagi bisik-bisik para tamu yang makin jelas mampir di telinganya.

Dia hanya mengangguk sekilas saat melewati ibu mertuanya. 

Dia sudah tak sanggup lagi, rasanya dia ingin menangis bersama sang putri.

 Persetan dengan citra suami yang harus dia jaga, kenapa dia harus repot-repot melakukannya sementara mereka semua tak ada yang tahu kepedihan hatinya.

Dina memeluk putrinya erat, dan menuju kamar tidur putrinya. 

Air matanya luruh tak dapat ditahan lagi saat pintu kamar tertutup, tangisnya melebur jadi satu dengan Ara, putrinya. 

Entahlah Dina sendiri tak tahu kenapa Ara menangis, putrinya itu bukan anak yang cengeng. Mungkinkah bocah empat tahun ini juga merasakan kepedihan bundanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
seharusnya kau jadi wanita yg kuat nyet. alasan hidup di panti asuhan terlalu divari2 utk menutupi kelemahan dan kebodohanmu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status