Dina tidak bisa terus seperti ini, dia tak bisa hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Dia bisa gila menunggu dalam ketidakpastian ini. Dina memang hanya wanita lemah yang tak bisa melakukan apapun tapi dia bukan wanita tak berotak yang hanya bisa pasrah. Dia biasa melakukan profiler pada para pelamar dan juga pegawai, kenapa dia tidak memanfaatkan itu mungkin saja bisa membantu. Yang pertama harus dia lakukan adalah harus tenang agar dapat berpikir jernih. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Pertama yang akan dia lakukan adalah menggeledah ruang kerja suaminya, kasus ini terjadi saat perusahaan sedang memanas, berdasarkan cerita Angga tentang beberapa koleganya, cukup memberikan referensi. Memang ada beberapa orang yang dia curigai dan bisa dijadikan acuan.Berkali-kali CCTV yang memperlihatkan kejadian hari ini dia putar, dia analisis dari berbagai sisi. Dina bergerak mengambil ponselnya dan men
Dina mondar mandir di depan rumahnya sebentar dia akan duduk, sebentar kemudian berdiri. Tangannya saling menggenggam satu sama lain, mulutnya tak henti-hentinya komat kamit seperti membaca mantra. Hatinya benar-benar gelisah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Ponsel di genggamnya pun dari tadi diam saja, padahal dia sudah berkali-kali menengoknya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan datang, bahkan Angga juga tidak berkabar sejak telepon yang mengatakan mereka sudah menemukan lokasi tempat anak-anak disekap. Berkali-kali Dina menghubungi nomer Angga maupun Bara yang ikut ke sana tapi tidak ada jawaban, yang membuat Dina makin cemas. Kepalanya pusing saat Oma dan Opa kedua anak itu datang bersamaan dengan kedatangan mama mertuanya, yang membuatnya makin pusing saat mereka terus saja berdebat saling menyalahkan. Dan tentu saja dia yang mengasuh anak-anak itu juga tidak lepas dari kemar
Dina memandangi wajah-wajah lelah dua anak itu, setelah mandi mereka akhirnya tertidur di atas ranjang kamar Dina. Mereka terlalu takut untuk tidur di kamarnya sendiri. Dalam tidurpun mereka sesekali berjingkat ketakutan. Bahkan harta kekayaan orang tuanya yang melimpah tak mampu menolong mereka dari ketakutan itu, justru karena perebutan harta itu mereka menjadi korban dan harus hidup dalam ketakutan, Dina tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Mengingat keadaan perusahaan yang semakin hari kian memanas, belum lagi ancaman yang pernah ditujukan padanya. Dina memang belum mengatakan pada Angga, tapi dia yakin kalau orang yang menerornya itu karena dia adalah istri Angga. “Kenapa mereka tidur di sini?” tanya Angga saat memasuki kamarnya dan mendapat kedua anaknya sudah tertidur lelap di kamarnya. “Mereka tidak berani tidur sendiri,” jawab Dina singkat. “lalu aku tidur di mana?” gumam Angga pelan tapi masih bisa didengar Dina.
Sama dengan anak ayam yang tak mau pisah dengan induknya, mungkin itu kata yang tepat untuk dua orang anak yang menolak mentah-mentah permintaan oma dan opanya. Bagi mereka Dina adalah ibu yang mengasuh mereka sejak kecil mengajarkan mereka kasih sayang dan arti kehidupan, meski Dina hanya ibu tiri mereka. “Kamu juga bisa ikut kami, jika kamu mau, bukankah Angga sudah ada istri lain yang mengurusnya,” sindir Nyonya Aryobimo, Dina hanya diam, ingin tahu sampai dimana drama ini akan berlangsung. “Apa hak Mama sebenarnya berkata begitu, mungkin aku pernah menjadi menantu kalian tapi kehidupanku sekarang bukan urusan kalian,” jawab Angga dingin. “Aku memberi ijin anak-anak ke rumah oma opanya itu karena mereka mau dan masih menghormati kalian sebagai orang tua Laras, ibu dari anak-anakku, tapi bukan berarti kalian bisa mengatur hidupku.” “Karena kamu yang telah membunuh Laras.” Teriak Nyonya Aryobimo keras, syukurlah perdebatan pagi ini dilakukan
Pepatah jawa mengatakan kalau cinta itu lama-kelamaan datang karena terbiasa, Dina hanya sebagian percaya akan hal itu, kenapa sebagian karena dia sendiri mengalaminya. Hidup bersama Angga sekian lama , bahkan tak bisa merebut seluruh hatinya. Wanita-wanita lain dalam hidup laki-laki itu datang silih berganti, membuatnya harus bisa menahan diri untuk berbalik badan tanpa menoleh lagi. “Apa waktu lima tahun kebersamaan kita belum cukup untuk melupakannya?” Dina bertanya dengan nada rendah. “Berapa lagi waktu yang kamu butuhkan?” Angga bungkam, Dina benar, tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menjadikan hanya Dina dan anak-anaknya sebagai pusat dunia. Angga meraih tangan Dina dan berkata lirih. “Bantu aku, aku sudah berusaha menjauhinya, aku melarangnya membuat laporan keuangan langsung padaku, aku juga tidak pernah makan siang lagi dengannya.” Dina bahkan tak tahu kalau selama ini dia selalu saja makan siang
"Ada apa, Mbak, kenapa dengan Mas Angga?" Bara yang mendapat telepon dari Angga untuk mengamankan beberapa dokumen penting di kantornya sedangkan laki-laki itu sendiri pergi entah ke mana. "Aku juga tidak terlalu jelas dengan rencana Mas Angga, dia hanya berpesan begitu." Dina yang ingin menemani anak-anak seharian ini, harus rela untuk kembali ke kantor lagi, entah apa yang dibicarakan Angga dan pamannya berdua tadi, setelah mereka hampir adu jotos. Syukurlah Mama mertuanya masih di rumah mereka, Dina bisa menitipkan anak-anak padanya, dan jangan lupakan pengawal yang bertugas untuk memastikan keselamatan mereka juga telah siaga."Mbak Dina ke sini hanya dengan satu pengawal?" tanya Bara melirik pengawal Wanita yang dengan setia mengikuti Dina."Hera sudah cukup, jangan khawatir," jawab Dina yang mengerti kekhawatiran Bara. Bara mengamati pengawal Dina itu sejenak, lalu memutuskan menyimpan pendapatnya sendiri, dan berjalan
Hera membuka pintu dengan pelan sangat pelan, sampai orang yang ada di dalam tak menyadari bahwa dia telah menjadi tontonan. Dina bersandar dengan melipat kedua tangannya di dada, wanita itu masih diam memperhatikan orang yang membolak-balik semua dokumen di atas meja kerjanya."Adakah yang bisa aku bantu? Sepertinya kamu sibuk sekali?" tanya Dina dengan tenang. Semua orang yang ada dalam ruangan besar itu menghentikan kegiatannya mereka menatap dengan penasaran drama apa yang akan terjadi.Dina mensyukuri instingnya kemarin yang merapikan semua dokumen penting dan menaruhnya pada tempat yang tak terduga, kedatangan paman suaminya waktu itu sudah menjadi peringatan tersendiri untuknya. Dina bisa melihat wajah wanita itu yang terbelalak, tak menyangka aksinya akan ketahuan."Oh Mbak Dina aku hanya mencari file yang diminta Mas Angga, tapi sepertinya memang tidak ada di sini," katanya tenang. Dina sangat kagum dibuatny
Hubungan keduanya memburuk. Bukan Angga yang ingin melepaskan Dina, tapi wanita itu kembali menjaga jarak, Angga dibuat frustasi karenanya, salahnya juga yang mengaKui perasaannya pada Vanya. Dia hanya ingin jujur pada Dina wanita yang dia harapkan akan menjadi masa depannya, tidak ada keinginannya untuk menggantikan Dina dengan orang lain. Tapi sekarang apa? Istrinya itu terlanjur marah dan kecewa padanya. Mata yang biasanya berpijar kini terlihat sayu dan lelah, dan itu semua kesalahannya. Hati Angga begitu sakit mendapati kenyataan itu, lagi-lagi dia menyakiti istrinya, wanita yang harusnya dia lindungi dan bahagiakan sekuat tenaga. Sebagai suami dia sudah gagal untuk kedua kalinya. “Mungkin dengan perpisahan, kita bisa mendapatkan kebahagiaan masing-masing,” kata Dina pelan. Dina tersenyum miris, Angga terlihat tidak rela untuk melepaskannya, tapi masa lalunya juga dia genggam berjalan beriringan. Andai Angga tidak mengaku mencintainya, s