Dulu, aku sangat menginginkan ini terjadi. Tapi setelah apa yang kudengar tadi ... Apakah salah aku meminta secercah harapan untuk kembali merajut tali kasih kami berdua?
Aku memandang nanar tirai berwarna abu-abu. Terdengar suara petir bergemuruh dan hujan angin. Di mana mas Aldi akan tinggal? Ah, iya, aku ingat suamiku itu punya kakak laki-lakinya yang berkerja sebagai supir pribadi di daerah sumur batu. Mungkin suamiku akan ke sana.
Di sisi lain hatiku, aku ingin sekali menanyakan dirinya kini ada di mana dan apa dirinya sudah makan? Namun gengsiku terlalu tinggi hingga merobohkan nuraniku.
Tok! Tok! Tok!
“Sebentar, Mbok,” sahutku setengah teriak, kemudian bergegas membuka pintu. Sesampainya di sana dan memutar kenopnya, aku tertegun. Di hadapanku, ada seorang wanita berambut ikal yang sangat aku kenali.
Air mataku langsung merebak saat melihatnya, sesak di dada pun semakin terasa, aku takut, ini hanya h
Netraku terbelalak kala menatap layar ponsel Mita yang dia serahkan padaku. Kali ini, aku harus benar-benar mengambil keputusan dan membulatkan tekadku.“Lebih baik kita kesana sekarang, Mit.”Sahabatku mengangguk mengerti. Kami pun langsung bergegas membuka pintu, menuruni tangga dan tak lupa pula berpamitan dengan Mbok Nah.Wanita tua itu nampak khawatir padaku, terlihat dari sorot matanya yang sendu. Mungkin dia khawatir padaku, dalam kondisi hamil dan sudah larut malam malah keluar rumah, apa lagi di luar sedang hujan.Biarlah, kali ini aku akan menangkap basah mereka berdua. Aku mendesahkan napas berat, teringat dari story WhatsApp dari nomor gundik itu, mereka tengah berdansa disalah satu Cafe cukup mewah dan aku tahu itu di mana.Jarak pandang mereka berdua begitu dekat, hingga tersekat oleh hembusan napas mereka saja, begitulah yang kulihat. Sedangkan netra mereka berdua nampak hanyut dalam musik yang men
Rena, ya ampuun! Lu, tuh, gue cariin dari tadiiii .... Ternyata malah di sini! Ayo, ikut gue. Lu harus liat ada Ji Chang Wook KW yang lagi berantem sama calon mantan laki lu!”Aku menghentikan langkah yang diseret paksa oleh Mita. Aku baru ingat Risjad sudah tidak di sini. Hatiku tak karuan saat kembali berjalan menyusuri lorong bernuansa serba cokelat dengan lampu hias dikanan-kirinya, mempercantik suasana lorong Cafe.Dengan langkah ragu, aku melangkah kembali menuju pintu masuk Cafe, tapi sebelum masuk ke dalam bahkan baru saja sampai diambang pintu, aku dikejutkan oleh dua orang lelaki yang tengah berkelahi.Mataku terbuka lebar saat tinju beruntun yang di layangkan dari tangan Risjad.”Brengsek Lo!” teriak Risjad dengan tatapan nyalang menatap bengis lelaki di hadapannya.Aku hanya mematung saat tangan putih Risjad memegang kuat kerah kemeja Mas Aldi,
Tok, tok, tok...Mita membuka pintu, meninggalkan kami yang sedang bersitegang di ruang tengah. Lelaki yang masih sah suamiku itu masih menatapku tajam saat mendengar ucapanku barusan.Tiba-tiba Mita berlari menghampiriku, membisikan sesuatu yang membuatku terkejut. Kemudian mengekori langkahnya.“Ka-kamu ... Ngapain, Ris?” tanyaku gugup, bagaimana pun, aku masih sah sebagai seorang istri dari Kresnaldi pecundang itu.Risjad memakai kaos putih polos, membuat dada bidangnya terpampang jelas. Kata Mita, dada yang sandarable banget. Maklumlah, dia jomblo dan suka berekspektasi.“Oooh ... Jadi lu kesini mau berusaha ngegebet bini gue, iya?!”Sebelum Risjad menjawab pertanyaanku, Mas Aldi lebih dulu merangsek dan meninju wajah tamuku itu. Sungguh, kesadaran dirinya mungkin sangat minim.“Stooop!!!” teriakku hingga membuat per
Mas Aldi tiba-tiba pergi seraya menggandeng tanganku dengan tangan kirinya. Menghiraukan suara Wulan yang memerintah lelaki itu agar kembali. Sedangkan aku diam saja, ingin tahu kemana dia akan membawaku. Ternyata, Mas Aldi membawaku ke area parkir yang sedang sepi. Hanya ada penjual minuman dan tukang parkir di sana. Mas Aldi menatapku dengan pandangan yang susah diartikan. “Bilang, ada apa ... Aku malas berbasa-basi!” ucapku enggan. “Rena Theressia ... Kamu bukan lagi seorang wanita yang patuh seperti dulu,” katanya sambil tersenyum kecil, dan menuntunku agar duduk di pinggiran trotoar sebuah perumahan. “Apa maksudmu ingin aku diam saja begitu, melihat Suamiku sendiri dengan terang-terangan keluyuran dengan gundiknya?!” aku yang memang mudah tersulut emosi langsung berdiri sambil menudingnya. Namun lelaki itu masih saja tersenyum kecil. “
Tepat tiga hari ini, mas Aldi menepati janjinya. Lelaki itu datang sambil membawa plastik hitam dalam tangan kirinya. Membuatku menerka-nerka, apa yang ia bawa?“Terimakasih udah nunggu aku, meski aku tau, kamu pasti pengen banget bawa pergi masalah kita ke Pengadilan agar cepat selesai.” ocehnya, membuatku memutar bola mata malas.“Aku sengaja mendekati Wulan agar bisa mengambil ini, meski aku tau caraku salah di matamu,” lanjutnya sambil membuka plastik hitam yang dibawanya. Mataku membulat melihat boneka yang ia beri pada gundikinya ada tepat di depanku.“Kamu tau? Aku juga sakit melihat kamu diperhatiin lelaki lain. Tapi karena sekarang aku di sini ... Kamu mau 'kan membatalkan perceraian kita?”Kini mulutku membisu. Tekad yang sudah ada diujung membuatku ingin memundurkannnya. Namun, aku juga masih ragu. Karena boneka di depanku ini tampak mulus tanpa koyakan ditengah kepalanya seperti yang
Bunga yang disusun, kelopak yang berjatuhan, matahari yang menyengat dengan perasaan damai kurasakan di tempat ini. Perutku semakin membesar dengan status baru. Kini aku resmi menjanda.Ada rasa bahagia sekarang lebih memilih melepaskan apa yang membuatku terpuruk dan sakit. Sebulan yang lalu ketika hakim mengetuk palu tanda aku dan mas Aldi bercerai, sepulangnya dari Pengadilan mungkin aku masih menyempatkan diri untuk menangis.Bagaimanapun, dia memiliki andil besar di hidupku. Kami tetap pernah merasakan bahagia bersama sampai akhirnya kami saling menyakiti. Mobil Harrier mas Aldi dijadikan harta gono gini karena memang itu ada andil uangnya juga.Aku masih ingat betapa senang dan histeris kegembiraan dari Wulan yang memekik ketika palu diketuk menandakan aku resmi bercerai. Hatiku akan pulih, hatiku akan bahagia, meski tidak dalam waktu beberapa bulan kedepan.Fais juga berkali-kali meminta maaf karena rumah tanggaku hancur kar
Aku kembali menginjakkan kakiku di Ibu Kota. Kembali menjalankan rutinitas seperti biasa. Kali ini aku ingin ke Supermarket milikku untuk memantau kinerja para karyawan. Aku bosan terus menerus di rumah tanpa mengerjakan apapun, jadi lebih baik aku kesini saja.Baru membolak-balikkan lembar demi lembar yang harus ku cek. Priska, salah satu karyawanku tergesa-gesa menghampiriku yang kini tengah duduk di sofa santai dalam ruangan ber-AC itu.“Maaf, Bu! Ada pak Aldi di bawah!” terangnya, membuatku langsung menegakkan dudukku.“Saya nggak salah dengar, Pris? Ngapain, kalau mau belanja, layani saja seperti yang lain.” sahutku.“Nggak, Bu. Pak Aldi mengambil beberapa buah dan mie instan, pak Aldi mencoba kabur tanpa membayar. Dia hanya berteriak kalau Ibu sudah mengizinkan.” terangnya lagi membuatku geleng-geleng kepala.Aku langsung meminta Priska untuk membawaku ke tempat di mana Aldi me
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, walaupun hari ini adalah hari minggu. Aku ingin berjalan-jalan disekitaran komplek, karena kata mamaku, bagus untuk ibu hamil. Setelah selesai bermunajat, aku memilih menuju dapur untuk membuat susu.Aku beruntung, karena kehamilanku tidak terjadi mual yang cukup parah. Aku hanya mual pada trimester awal saja. Jadi sekarang, aku malah akan mual kalau telat makan. Tita--dokter kandungan sekaligus tetanggaku mengatakan memang lebih banyak mual muntah dijumpai pada trimester pertama, tapi tak jarang ada yang sampai 9 bulan pun masih merasakannya.Aku melihat pantulan wajahku di cermin bulat dengan ukiran unik disetiap pinggirannya itu yang ku letakkan di ruang tamu. Aku amati wajahku, kemudian terkekeh sendiri. Rasanya sangat lucu melihat wajahku yang sekarang. Ternyata menjadi gendut tidak terlalu buruk. Aku menikmati perubahan ini.Setelah menenggak habis susu hamil rasa strawberry, aku berjalan melewati rumah-