Sarapan yang mencekam itu akhirnya berakhir. Hanya Serina yang menghabiskan isi piringnya tanpa terganggu sedikit pun. Mereka baru saja akan keluar dari ruang makan ketika tatapan Narumi menyapu penampilan Serina. Serina ikut menunduk melihat bathrobe-nya yang sedikit kebesaran. “Aku langsung ke sini setelah mandi. Ada masalah, Madam?”“Pelacur akan selalu bertingkah seperti pelacur. Mulai besok aku tidak ingin melihat tampilan murahan itu lagi di meja makanku, atau kau akan kuharamkan menginjak ruang makan.”“Berarti hari ini bisa?” “Punyalah etika sedikit. Aku sudah mengizinkanmu tinggal di rumahku, jadi patuhi aturanku atau kau akan kuseret keluar dengan cara yang tidak pernah kau bayangkan.”Adu pandang itu berlangsung sengit ketika senyum di wajah Serina memudar. Mau tak mau Serina mengakui, bahwa wanita itu sangat hebat. Perlu kekuatan mental yang tidak main-main untuk berhadapan dengannya. Serina berani bertaruh jika Narumi bahkan mampu membungkam mulut presiden sekalipun.T
Narumi sangat muak dengan semua jenis wanita murahan di dunia ini. Kebanyakan dari mereka tidak tahu diri dan tak punya urat malu. Ada banyak perempuan seperti itu yang sudah dia singkirkan, dan wanita di depannya akan masuk ke dalam daftar itu sebentar lagi. Pelacur bernama Serina ini sungguh di luar ekspektasi Narumi. Ia mampu menguasai seluruh keadaan dan juga Tanjung. Serina jelas berada di level yang berbeda. Harus dengan apa dia menyingkirkan wanita ini? Karena firasatnya mengatakan Serina bukanlah tikus yang bisa dilenyapkan dengan mudah. Ia seperti belut, licin dan mampu menyusup masuk ke rumah ini dengan cara yang licik. “Madam … pelacur ini sudah berada di dunia malam yang gelap selama bertahun-tahun, dan aku bisa bertahan dengan kekuatanku sendiri. Tak perlu Tanjung untuk mempertahankan nyawaku sendiri.” Mata Narumi memicing. Sudah dia duga, wanita ini terlalu berani. “Beraninya kau. Pelacur sepertimu menikahi putra tunggalku? Mestinya kau diam saja di ranjang sewaan d
Setelah menutup pintu kamar, ketenangan Serina menghilang. Tubuhnya bergetar hebat dan ia segera berlari ke kamar mandi.Tangan lentik yang bergetar itu mengisi bath up dengan air, lalu mulai masuk setelah menghidupkan pancuran shower. Tak peduli jika ia belum melepas bathrobe-nya.Serina telungkup di dalam bath up, menyembunyikan dirinya entah pada siapa. Segalanya berantakan. Perasaannya kacau balau. Dibiarkannya bath up itu penuh sampai airnya meluber tumpah. Dia izinkan air yang menderas dari pancuran shower memberondong tubuhnya tanpa ampun.Serina mengigit bibir kuat-kuat. Membiarkan air menembus paru-parunya dan mengisi jantungnya. Ia terus di sana, untuk menghilangkan getaran yang membabi buta itu.“Dia bukan Ibu. “ Gumamannya tenggelam di dasar bath up. “Bukan Ibu.”Dicekik seperti tadi bukanlah yang pertama kali bagi Serina. Ia sudah mengalami berbagai macam bahaya, tapi yang satu ini tidak pernah bisa ia lupakan. Umurnya 15 tahun, tepat pada sebelas tahun yang telah lalu.
Tanjung baru saja keluar dari lift ketika ia menemukan Vita berdiri di depan meja sekretarisnya. Ketika gadis itu menyadari keberadaannya, dia langsung berlari menghampiri dengan wajah cemberut.“Kenapa baru datang? Mas ke mana saja? Kau tidak datang selama dua hari. Apa yang terjadi? Mas juga terlambat hari ini.”Tanjung melirik arlojinya, mengabaikan pertanyaan pertama Vita. “Aku rasa belum. Masih lima menit lagi sebelum pukul delapan.”“Bukannya kita sudah sepakat akan datang satu jam sebelum jam masuk kantor? Aku sudah menunggumu dari tadi, tapi sekretarismu tidak mengizinkanku masuk. Aku melakukan hal ini selama dua hari.” Vita menunjuk Gary, sekretaris Tanjung yang diutus oleh Narumi.Tanjung menarik napas panjang. Ia bahkan lupa dengan kesepakatan itu. “Maafkan aku.”“Sekarang aku boleh masuk, kan? Ayo, aku sangat merindukanmu.”Tanjung berusaha keras menyembunyikan ringisan ketika Vita bergelayut di lengannya. Luka bekas operasi tembakan itu masih sakit.“Ini sudah jam masuk,
Waktu itu kakaknya datang. Pria berumur 20 tahun yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran itu mematung memandangi Renata yang memeluk jasad Ibu. Renata bersimbah air mata dengan pupil yang mengeras kosong. “Tolong … Ibu mengiris nadinya, Kak.”Seolah segalanya terulang kembali, sosok Tanjung yang ada di hadapannya terlihat seperti sang kakak. Menatapnya ngeri. Serina tahu ia sedang kehilangan kesadarannya. Tubuhnya masih bergetar hebat kala kedua tangan itu meraih bahunya.Ia tenggelam dalam dada bidang yang hangat itu. Setelah sekian lama, Serina kembali merasakan pelukan yang tulus dan hangat. Ia meringkuk semakin dalam—meski ia tahu, tak seharusnya ia menunjukkan kelemahannya pada lelaki ini.Tanjung memberinya usapan pada belakang kepala dan turun ke punggung. Serina mengeratkan pelukannya. Basah dari tubuhnya berpindah ke seluruh kemeja Tanjung.“Tidak apa, aku di sini.”Tidak. Dirinya tidak boleh lemah. Serina bukan lagi Renata. Dia bukan lagi gadis kecil yang lugu dan naif. Ia
Setelah itu, kondisi rumah Maulana tampak tenang. Tak ada yang mencari gara-gara, juga tidak ada yang akan marah dan memaki. Segalanya kembali seperti semula.Di meja makan pun tidak ada percekcokan. Sudah lima hari sarapan dan makan malam rutin dilakukan. Serina berpakaian rapi dan sopan, sementara Narumi tidak pernah lagi mengkritik apa pun yang dilakukan Serina.Namun, ketenangan itu membuat siapa pun merasa sesak, seolah sebuah bom berkekuatan besar sedang dirakit secara diam-diam dan menunggu waktu untuk diledakkan.Serina tak pernah bercanda dan mengejek lagi. Ia makan dengan tenang dan pelan. Raut wajahnya berubah menjadi datar sejak lima hari terakhir. Makan malam itu berakhir dengan damai, dan Serina bahkan tidak repot-repot meminta izin untuk kembali ke kamarnya bersama Tanjung.“Kau tidak melakukan apa pun padanya ‘kan, Rumi?” Harun memulai percakapan di ruang makan yang kini hanya tersisa dirinya dan Narumi.Seperti biasanya, Narumi hanya akan melakukan dua hal. Mengabaik
Jantung Doni bertalu-talu ketika ia mengangkat satu per satu tubuh rekannya keluar kamar dengan pengawasan dari Serina. Wanita itu berdiri menjulang dengan angkuh sambil bersedekap dengan mata tajam menusuk.“Tidak perlu terburu-buru, Doni. Malam masih panjang, nikmatilah pekerjaanmu.”Lagi-lagi Doni mengangguk cepat seolah apa pun yang keluar dari mulut Serina, kepalanya sudah disetel untuk terus mengangguk.Wanita itu tidak kalah mengerikan dibanding dengan atasannya. Mereka tidak berbeda.Doni memindahkan semua tubuh rekannya ke depan kamar yang ditunjuk oleh Serina. Ia berdiri kaku setelah pekerjaannya selesai. Menunggu satu perintah untuk pergi dari sini.“Bagus, Doni. Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik.” Bibir itu tersenyum, namun dengan mata yang menyorot dingin. Serina melirik pintu utama yang cukup jauh dari tempat mereka berdiri. “Kau boleh pergi, Doni. Terima kasih.”Saat itulah Doni mengusap dadanya secara terang-terangan. Kelegaan yang amat sangat mengisi hatinya. Per
Tanjung sigap berlari masuk. Tujuannya adalah Serina yang berdiri santai di samping Narumi. Diraihnya kedua bahu Serina dan ia periksa apakah wanita itu terluka.“Kau baik-baik saja?” Serina diam dan sama sekali tidak berminat menjawab pertanyaannya. Ia malah mengedikkan sebelah bahu, lalu menunjuk gunungan mayat itu dengan dagunya.Tanjung mengikuti arah tunjuk Serina. Melihat para mayat bersimbah darah itu dengan kengerian. “Siapa mereka?”Serina tidak menjawab lagi.“Ketika ibumu membuka pintu kamar, mayat-mayat ini sudah ada di depan pintu kamar. Aku sudah menghubungi polisi, katanya mereka akan ke sini sebentar lagi.” Harun menyimpan ponselnya di belakang saku celana. Sepertinya dia sudah bersiap berangkat ke kantor ketika menemukan kumpulan mayat itu berserakan di depan pintu kamarnya.Tanjung mengamati wajah-wajah yang pucat itu, Tak perlu waktu lama untuk mengenalinya. Mereka adalah peliharaan-peliharaan Narumi, algojo sekaligus anjing-anjingnya.“Apa yang Ibu lakukan?” Dia b