"Semua siap, ya?!" Seru Reggy. "Oke ... Mantapp ... Siap!" semua membalas Reggy dengan semangat. Mobil hitam itu meninggalkan rumah besar keluarga Hendrick. Hari cerah dan terang menambah semangat anak-anak memulai perjalanan. Waktu yang mereka tempuh lebih kurang tiga jam tidak terasa karena tak lepas dari canda dan tawa. Mereka sampai tujuan sekitar jam sepuluh pagi. Langsung mereka berbagi tugas untuk menyiapkan apa-apa yang mereka perlukan. Reggy, Yerry, dan Randy mendirikan tenda. Maureen, Resita, dan Wuri menyiapkan makanan untuk makan siang. Felipe hanya ditugaskan duduk dengan tenang menunggu semua siap. "Aduh, aku seperti orang ga berguna saja," ujar Felipe. "Santai, Bro! Bayangkan saja kamu rajanya kali ini," tandas Yerry. Felipe tertawa dengan komentar Yerry. Tak lama setelah itu, makan siang siap. Mereka menikmati makan bersama. Lalu Reggy, Yerry, dan Randy meluncur ke pantai. Randy kecil, anjing kesayangan Maureen ikut dengan mereka. Felipe duduk di bawah pohon be
Di Bandung, perjalanan Gio dan Veronica berjalan lancar. Pertemuan dengan orang tua Veronica menyenangkan. Gio dan Marco diterima dengan sangat baik. Mereka terbuka dan ramah pada Gio dan Marco.Usai pertemuan keluarga, Marco yang datang dengan istrinya langsung kembali ke Yogyakarta, sementara Gio tetap tinggal. Veronica berencana mengunjungi makam suami dan anaknya.Dengan senang hati, Gio mengantar Veronica. Di depan makam, Veronica tidak dapat menahan hatinya. Kesedihan tetap ada, rasa kehilangan kembali muncul membuat sendu. "Kalian sudah bahagia dengan Tuhan. Aku yakin itu. Kalian jangan kuatir, aku sudah hidup dengan baik sekarang. Tuhan memberiku hadiah sangat banyak. Nanti kalau aku pulang menyusul kalian, aku akan ceritakan semuanya."Gio berdiri dua langkah di belakang Veronica. Dia biarkan Veronica berbicara sampai puas, melepas rindu pada orang-orang yang sangat dia cintai.Puas berada di pusara mendiang suami dan anaknya, Veronica memutar tubuhnya dan melihat pada Gio.
Sampai di lokasi, semua sudah siap. Band ada di tempatnya. Yerry dan teman band-nya keren sekali dengan kemeja putih dan jas hitam. Vera dengan gaun merah marunnya cantik dan anggun. Reggy tinggal memastikan semua berjalan baik. Pendeta dan petugas dari catatan sipil juga sudah siap. Keluarga pun sudah hadir. Ada Marco dan keluarganya. "Good luck, Brother. I know your happiness is now for you completely." Marco memeluk erat kakaknya. Dia lega, akhirnya Gio benar-benar akan mendapat pendamping lagi dalam menjalani kehidupannya. "Thanks, Marco. Never I thought, but God knows my best," ujar Gio. Lalu dia bersiap menanti mempelai wanitanya untuk masuk bersama menuju altar. Lima belas menit kemudian, Veronica datang. Orang tua dan keluarga dari Bandung juga menyertai. Tidak lupa Lady dan calon suaminya pun ikut serta. Wajah mereka terlihat gembira. Natan, Wuri dan Ibu Ratu, Resita dan kedua orang tuanya. Lalu datang juga Randy, Sandy, Santoko dan istri barunya. Titin, Lusi, dan dua kary
Pesawat baru take off. Gio dan Veronica duduk sambil berpegangan tangan. Mereka bertatapan mesra. Akhirnya mereka bisa bersama, menjadi suami istri. "Kamu lelah?" tanya Gio. "Tidak terlalu. Aku senang sekali. Reggy mengatur acara kita begitu manis." Veronica tersenyum. "Yup. Aku salut dengan hasil kerjanya. Resita juga banyak membantu dia," kata Gio dengan rasa lega. "Kak Gio .." panggil Veronica. "Hmm ..." Gio menatap Veronica. "Aku baru sadar, namamu sama dengan Leon," ucap Veronica. "Sungguh?" Gio menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka mendengar itu. "Nama tengah kamu Leonard. Nama suamiku dulu juga Leonard. Leonard Ardhiwijaya." "Oh, bisa begitu, ya ..." Gio tersenyum. "Aku ... hanya bisa bersyukur dengan semua ini. Terima kasih buat semuanya." Veronica menggenggam tangan Gio. "Aku pun tak bisa berkata lain, selain bersyukur dan terima kasih," ujar Gio. "Apa ga masalah kita tinggal anak-anak selama dua minggu?" Veronica bertanya. "Tidak apa-apa. Mereka s
“Bengong!!" Felipe mengguncang kedua bahu Maureen. Kontan saja Maureen kaget. Dia menoleh. "Apa sih, Kak?" ujarnya. Felipe duduk di sebelah Maureen. Maureen lagi melihat resep, mau memasak, tapi malah jadi kepikiran Natan. "Kamu kenapa?" tanya Felipe. Dia memandang wajah Maureen. Papa benar, Maureen sedang galau. Jelas sorotan matanya sedih. Seperti habis menangis. "Ga apa-apa," jawab Maureen. "Hmm, mulai ga mau cerita. Biar aku penasaran," kata Felipe. "Bukan gitu." Maureen menjawab lesu. "Terus?" Felipe menelisik muka adiknya. "Aku ..." Maureen melihat Felipe. Memang dia tidak bisa bohong pada kakaknya. Felipe menunggu Maureen menyelesaikan kalimatnya. "Natan mau pindah." Akhirnya keluar juga kalimat itu. "Pindah? Pindah sekolah? Atau pindah rumah?" tanya Natan. "Ke Kanada." Maureen mengusap ujung matanya yang mulai basah lagi. "Kanada? Ga salah, Reen?" Mata Felipe melotot. "Serius, Kak. Papanya mendadak dipindahkan untuk tugas di sana. Mereka pindah sekelua
Semua tertawa dengan kata-kata Sandy yang lucu dan polos itu. "Bercanda, Dek," jawab Randy. "Kirain ..." Sandy tertawa. Randy melihat mamanya, lalu melirik Maureen. Lalu dia memejamkan mata beberapa saat. "Boleh tahu kamu minta apa?" tanya mamanya. "Bersyukur yang pertama. Karena di ultah tahun ini dapat berkat banyak banget. Udah baikan sama papa. Bisa kumpul Sandy lebih sering. Bisa mulai kuliah lagi. Dan, ketemu teman-teman hebat seperti kalian ini," kata Randy sambil memperhatikan satu-satu orang-orang di depannya. Rachel tersenyum. "Ayo kita berdoa." Semua menundukkan kepala dan memejamkan mata. Rachel memimpin mereka berdoa buat Randy. "Amin." Rachel menutup doanya. "Nah, ayo semua, silakan makan sampai puas. Pingin menu apa tinggal bilang saja." "Iya, Tan. Terima kasih," sahut Felipe. "Kak, tadi kan bilang bersyukur yang pertama, lalu aku tunggu ga ada yang kedua. Emang cuma satu saja jadinya?" Sandy menuang saos sambal di piringnya. Randy melihat adiknya.
"Hai ... ini Randy ini." Randy tersenyum. Aneh, Maureen mengira Natan yang datang? Randy masuk ke dalam ruangan itu. "Reen, permainan piano kamu wow ... amazing ..." puji Randy. Maureen masih terpana melihat Randy. Bukan karena Randy. Tapi entahlah, ini de javu. Maureen ingat hari pertama Natan ke rumah ini, dia juga melakukan yang sama seperti Randy tadi. Menunggunya bermain piano, lalu bertepuk tangan begitu lagu selesai. "Boleh request lagu, ga?" tanya Randy. Cowok itu masuk dan berdiri di dekat Maureen. "Apa? Request lagu? Hee ... kayak di kafe aja. " Maureen tersenyum. "Boleh ga?" ujar Randy. "Lagu apa dulu?" tanya Maureen. Dia pandangi Randy yang melihatnya dengan wajah cerah. "A Whole New World," kata Randy. "Suka lagu itu?" Maureen memastikan lagu permintaan Randy. "Iya, menurut kamu kalau cowok macam aku, sukanya lagu cadas, garis keras gitu, hee ... hee ..." Randy melebarkan senyum. Dia menarik kursi di belakangnya, lalu duduk di sebelah Maureen. "Ya, gitu bayanga
"Yuk, kita mulai misi kita," ajak Felipe. Felipe sengaja tidak mengajak Wuri, karena tidak mau Maureen tambah galau. Atau Reggy dan Resita. Dia sengaja mengajak Mita dan Randy yang hanya berstatus teman tanpa embel-embel dengan mereka. Keempatnya mulai menyusuri pertokoan di mal, melihat berbagai barang yang dipamerkan di sana. Tapi tidak ada niat untuk membeli. Waktu sampai di toko jam tangan, Maureen melihat satu yang lucu dan bagus. "Ih ... ini bagus banget," kata Maureen. "Lucu, Mita. Lihat." Maureen tunjukkan pada Mita. "Iya, Reen. Cocok lagi di tangan kamu," puji Mita. "Tapi, agak mahal, hee ... hee ... Sayang duit kali." Maureen tersenyum. Dia letakkan lagi jam tangan itu di tempatnya.Randy memperhatikannya. Waktu Maureen dan Mita pindah ke deretan sebelah dan Felipe sedang asyik juga melihat-lihat, Randy mengambil jam itu dan membelinya. Lalu dia masukkan dalam tas yang dibawanya. Mereka melanjutkan jalan-jalan. Maureen terlihat mulai lebih ceria. Tetap saja di ga beli