"Hai ... ini Randy ini." Randy tersenyum. Aneh, Maureen mengira Natan yang datang? Randy masuk ke dalam ruangan itu. "Reen, permainan piano kamu wow ... amazing ..." puji Randy. Maureen masih terpana melihat Randy. Bukan karena Randy. Tapi entahlah, ini de javu. Maureen ingat hari pertama Natan ke rumah ini, dia juga melakukan yang sama seperti Randy tadi. Menunggunya bermain piano, lalu bertepuk tangan begitu lagu selesai. "Boleh request lagu, ga?" tanya Randy. Cowok itu masuk dan berdiri di dekat Maureen. "Apa? Request lagu? Hee ... kayak di kafe aja. " Maureen tersenyum. "Boleh ga?" ujar Randy. "Lagu apa dulu?" tanya Maureen. Dia pandangi Randy yang melihatnya dengan wajah cerah. "A Whole New World," kata Randy. "Suka lagu itu?" Maureen memastikan lagu permintaan Randy. "Iya, menurut kamu kalau cowok macam aku, sukanya lagu cadas, garis keras gitu, hee ... hee ..." Randy melebarkan senyum. Dia menarik kursi di belakangnya, lalu duduk di sebelah Maureen. "Ya, gitu bayanga
"Yuk, kita mulai misi kita," ajak Felipe. Felipe sengaja tidak mengajak Wuri, karena tidak mau Maureen tambah galau. Atau Reggy dan Resita. Dia sengaja mengajak Mita dan Randy yang hanya berstatus teman tanpa embel-embel dengan mereka. Keempatnya mulai menyusuri pertokoan di mal, melihat berbagai barang yang dipamerkan di sana. Tapi tidak ada niat untuk membeli. Waktu sampai di toko jam tangan, Maureen melihat satu yang lucu dan bagus. "Ih ... ini bagus banget," kata Maureen. "Lucu, Mita. Lihat." Maureen tunjukkan pada Mita. "Iya, Reen. Cocok lagi di tangan kamu," puji Mita. "Tapi, agak mahal, hee ... hee ... Sayang duit kali." Maureen tersenyum. Dia letakkan lagi jam tangan itu di tempatnya.Randy memperhatikannya. Waktu Maureen dan Mita pindah ke deretan sebelah dan Felipe sedang asyik juga melihat-lihat, Randy mengambil jam itu dan membelinya. Lalu dia masukkan dalam tas yang dibawanya. Mereka melanjutkan jalan-jalan. Maureen terlihat mulai lebih ceria. Tetap saja di ga beli
"Kita teman, Randy. Aku mau menghargai kamu sebagai teman." Senyum Maureen juga mengembang."Ya, kita teman." Randy mengangguk. Teman. Seandainya Randy boleh melangkah lebih.Mata Randy melihat jam dinding lalu menoleh pada adiknya. "San, habis waktu. Kita pulang.""Ya, oke, Kak." Sandy berdiri.Gadis kecil yang mulaik remaja itu memasukkan Renren ke kandangnya. Sandy pergi mencuci tangan ke wastafel. Baru dia pamitan pada Maureen. Maureen mengantar mereka sampai di teras."It is special to be your friend, Reen." Randy tersenyum, manis, memandang lekat pada wajah cantik menarik Maureen."Oo ..." Maureen melongo mendengar itu. Kalimat yang tidak dia kira akan dia dengar dari Randy.Randy merangkul bahu Sandy dan mengajaknya ke halaman rumah. Dengan motor gede Randy, kedua kakak beradik itu meninggalkan rumah keluarga Gio.Maureen masih berdiri di teras, mematung melihat ke arah jalan depan rumah. Dia memikirkan kata-kata Randy. Apa artinya? Apa boleh Maureen gede rasa bahwa Randy suka
"Pa ... itu kan aturan buat anak papa. Bukan buat Wuri." Felipe langsung mencari alasan, protes."Pintar ... haa ...haa ..." Gio tertawa. "Baiklah. Apa boleh buat? Kamu memang sudah 17 tahun.""Makasih, Pa." Felipe lega. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar."Jaga anak orang. Kamu juga punya adik perempuan. Bayangkan jika ada yang berbuat tidak baik sama adikmu. Pasti kamu akan marah," pesan Gio."Ya, Pa. Janji. Dari awal Wuri seperti apa aku sangat tahu. Pasti aku mau buat dia bahagia, Pa," ucap Felipe serius."Baiklah. Papa pegang kata-kata kamu," balas Gio."Terima kasih, Pa." Felipe tersenyum lagi. Dengan senyum girang Felipe keluar ruangan Gio dan balik ke kamarnya.Veronica masuk ruang itu dengan teh hangat buat Gio. Dia letakkan di atas meja."Kenapa Felipe senyum sendiri keluar dari sini?" tanya Veronica. Dia berdiri di belakang kursi Gio, memijat lembut leher dan bahu suaminya."Ehmm, terima kasih, Ve. Memang pegel kepala dan leher. Udah tegang di tengkuk,"
"Bu, aku minta maaf, aku tidak meminta persetujuan Ibu. Aku bilang aku mau jadi pacar Felipe." Takut-takut Wuri menjawab."Sayang ..." Ratu menangkup kedua tangan Wuri. "Kalau hatimu berkata iya, ikuti saja. Tidak apa-apa. Felipe pemuda yang baik. Dia pasti akan menjagamu.""Iya, Bu," ujar Wuri."Pesan Ibu, jaga dirimu baik-baik. Jangan terulang apa yang Ibu alami dulu. Ayahmu, juga pria yang baik awalnya. Sayang, dia tidak siap untuk berkomitmen. Dia memilih lari ketika dihadapkan dengan tanggung jawab. Dia melukai Ibu dan Ibu menyakiti kamu.”Wuri tertegun. Sekian lama Ratu menutup rapat semua hal tentang ayahnya. Kenapa malam itu, Ratu tiba-tiba justru bicara tanpa ditanya? Tetapi Wuri tidak berai bertanya lebih jauh."Iya, Bu." Wuri mengangguk."Tidak ada yang salah dengan cinta ibu dan ayahmu. Yang salah adalah, bagaimana kami menjalaninya. Tidak dewasa, tidak berpikir panjang, dan tidak siap dengan resiko dari tindakan yang kami pilih," lanjut Ratu."Terima kasih, Bu. Ingatkan a
"Aku merasa, mulai jatuh cinta padamu." Randy melanjutkan. Mata Randy memandang dalam pada Maureen.Maureen terdiam. Jantungnya mulai bergemuruh. Jadi, benar ... Maureen bukan GR. Randy memang suka padanya, bukan, cowok di depannya ini jatuh cinta padanya."Randy ..." Maureen berucap lirih. Dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Selama ini yang mengisi hatinya adalah Natan, sejak masih dik bangku SMP. Maureen menunggu Natan satu kali akan datang padanya dan meminta Maureen menjadi kekasihnya. Tetapi, belum sampai hari itu tiba, Natan pergi, merajut kasih dengan hati yang baru.Lalu, Randy. Justru pemuda brokenhome itu, yang datang dan mengungkapkan isi hatinya. Apa yang Maureen bisa katakan?"Ya, itu benar. Aku tidak bisa membohongi hatiku lagi. Aku tahu kamu masih sayang Natan. Aku bilang ini juga tidak berharap kamu membalas perasaanku. Aku hanya mau kamu tahu ... dan aku, aku tidak main-main dengan perasaanku, Reen," tutur Randy.Maureen tidak tahu harus berkata apa. Dia masih me
“Kalian sudah pulang?” sambut mama Resita, Asti.“Iya, Tante Asti,” balas Reggy.“Sita, ada apa?” Asti memperhatikan raut muka Resita. Putrinya itu terlihat sedikit pucat dan gelisah. “Kalian sedang ada masalah?”“Mama …” Resita memeluk Asti dan menangis. Asti menatap Reggy, penuh tanya. Dia tuntun Resita, diajaknya duduk di ruang tamu. Dia biarkan Resita menangis di dadanya.“Tadi kami bertemu Kak Andika,” jawab Reggy. Dia mengambil tempat duduk berseberangan dengan Resita dan Asti.“Bertemu Andika? Di mana?” Asti kaget sekali mendengar itu.“Siapa? Andika?” Papa Resita, Pandu, muncul dari ruang dalam. “Masih berani dia menunjukkan diri. Anak tidak tahu diri. Mau mati dia?!” Jelas dia sangat geram dan marah mendengar nama Andika disebut.“Kami tidak sengaja bertemu dengannya, Om. Kami sedang ada di sebuah toko. Ternyata dia masuk ke toko yang sama.” Reggy menjelaskan.“Lalu apa yang dia lakukan pada putriku?” tanya Pandu. Dia melangkah mendekati Resita dan Asti, duduk di kursi sebela
Resita meletakkan ponselnya. Masih dia pandangi layar HP berwarna hitam itu. Wajah Reggy di sana. Tersenyum dengan senyum tipis. Tampan dan tenang. Itu yang dia kagumi dari Reggy. Ketenangannya menghadapi semua hal. Tidak mudah emosi dan gegabah. Tidak mudah menyerah."Seandainya bukan kamu, Re ... pasti aku akan ditinggalkan sendiri. Seandainya bukan kamu, tidak akan memandangku lagi. Kamu terlalu baik," kata Resita sambil menyentuh layar HP-nya."Aku masih terus bersyukur karena kamu tetap di dekatku. Yang bisa kulakukan aku harus menguatkan diriku. Kamu orang baik, pintar, dan punya cita-cita besar. Aku ga mau jadi penghalang kamu meraih harapanmu." Resita bicara seolah-olah Reggy ada di dekatnya.Resita masih ingat pertama dia melihat Reggy di sekolah. Cowok yang cool, kelihatan cuek, tapi cerdas. Dia kira Reggy cowok yang sedikit sombong karena jarang bicara.Melalui lomba baca puisi, dia mulai kenal Reggy. Ternyata Reggy pemuda yang ramah, pemerhati, dan peduli orang lain. Makin