Ingatan akan peristiwa dua tahun yang lalu membuat Angeline melangkah mundur. Menjaga jarak aman adalah hal terbaik yang dapat dilakukan jika menghadapi lawan seimbang. Setidaknya dapat mengulur sedikit waktu sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Jasmine memang tampak berbahaya dengan pakaian serba hitam yang membalut ketat tubuhnya. "Jasmine." Angeline menatap tajam. "Aku tersanjung kamu masih mengingatku. Walaupun sebenarnya secara hirarki kamu harus memanggilku bibi." Bibir merah itu tersenyum dengan cara yang sedikit tidak normal. "Aku yang tersanjung karena kamu menempuh perjalanan begitu jauh untuk mencariku," balas Angeline. "Jarak bukanlah penghalang, Sayang, karena aku datang untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Kekasihku." Sekejap tatapan Jasmine menjadi tidak fokus, kemudian kembali normal. "Aku tidak merasa berhutang padamu. Bahkan aku tidak mau berurusan denganmu. Keluarga Mei membuatku muak," ketus Angeline. Jasmine tertawa m
"Lain kali jangan biarkan aku mengeluarkan ide aneh." Alardo bersandar di pangkuan Sonya dengan Anita duduk di perutnya. "Sekali-sekali tidak apa, Sayang. Aku jadi tahu kamu suami yang kuat." Sonya tersenyum manis. Tangannya membelai rambut Alardo dengan lembut. Nathan dan Angeline mengamati pasangan itu dari kursi sebelah sambil bergunjing. "Lihat ... temanmu manja sekali ... Dia pikir tidak ada orang lain di sini ya," bisik Angeline. "Perilakunya memang seperti itu, Baby ... Untung dia menikah dengan wanita pujaannya, jadi semua perilaku ajaib itu tersalurkan dengan baik," bisik Nathan. Rafael yang duduk di pangkuan Nathan menatap aneh. Mungkin dia heran kenapa orangtuanya harus bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar. Iseng anak kecil itu menarik kerah kaos Nathan untuk melihat tato di tubuh sang ayah. "Kamu juga kadang-kadang manja ...." Angeline mencubit lengan suaminya. "Tapi aku tidak melakukannya di depan umum, 'kan?" kilah Nathan. "Ti
"Aku bukan khayalan, Jasmine. Bagaimana kalau kucarikan psikiater yang bagus untukmu?" Nathan mengernyit. "Sejak awal aku sudah tahu kamu bukan khayalan, Sayang. Kamu selalu kembali kepadaku. Aku tidak butuh psikiater atau apa pun, asal aku mendapatkan hatimu kembali." Jasmine melangkah maju. "Wanita keras kepala. Sadar, Jasmine, semua itu hanya dalam duniamu sendiri." Nathan mendorong wanita itu mundur. "Salah. Dunia kita berdua." Wanita itu tersenyum licik. Nathan mengernyit. Nalurinya mengatakan ada yang tidak beres, ditambah lagi jantungnya berdebar abnormal. Barulah dia sadar bahwa aroma parfum yang dipakai Jasmine mengandung obat bius. "Berani sekali kau, mencoba membiusku?" Nathan menggertakkan gigi. "Oh, kamu menyadarinya? Sedikit terlambat, bukan? Kamu tidak akan bisa melawannya, Nathan. Ini terlalu kuat untukmu. Bahkan Jonathan pun kesulitan mengatasinya." Wajah Jasmine berbinar. Lelaki itu mencengkeram tangan Jasmine yang hendak menyentuhnya.
"Bad idea, Angel. Really-really bad idea." Nathan menekan pelipis. Baru kali ini gagasan Angeline tidak berkenan di hatinya. "Pikirkan dulu, Nath. Kalau dia sudah sembuh, atau minimal lebih baik, dia pasti tidak akan mengganggu kita lagi. Yang penting 'kan bagaimana supaya dia mau menerima penanganan psikiater," bujuk Angeline. Nathan menghela nafas, "Kita bicarakan lagi nanti. Tubuhku masih terasa tidak nyaman dan kepalaku sakit." "Perlu ke dokter?" "Sepertinya tidak perlu. Sepengetahuanku efeknya akan hilang sendiri. Sial sekali aku terjebak oleh wanita brengsek itu." Angeline mengernyit, "Mungkin seperti yang dulu terjadi pada Jonathan." "Hmm ... ya, bisa jadi." "Apa perlu bicara dengannya?" "Tidak perlu, Baby Girl. Aku istirahat sebentar, setelah itu kita pulang." Nathan kembali rebah, menarik serta Angeline bersamanya. Wanita itu kehilangan keseimbangan dan membentur dada Nathan. "Aduh, pelan-pelan, Nath," keluh Angeline. "Sorry," ucap
Wanita yang duduk tegak di atas tempat tidur merengut sebal karena dilarang menjejakkan kaki di lantai. Berkali-kali dia berusaha turun, tapi berkali-kali juga Nathan menaikkan kembali kakinya. Angeline menatap penuh dendam terhadap lelaki yang sedang sibuk dengan laptop. "Nathan." Tidak ada reaksi. "Nathaaan." Tetap tidak ada reaksi. "Ih reseh," gerutunya. Lelaki itu pun menoleh dengan senyuman lebar, "Apa, Sayang?" "Aku panggil dari tadi kok diam saja?" tuduh Angeline. "Sabar, Baby Girl. Aku harus menonaktifkan kamera dulu. Lihat? Sedang meeting." Nathan memperlihatkan apa yang terjadi di layar laptop. "Makanya biarkan aku turun dong," bujuk wanita itu. "Kamu harus banyak istirahat." "Iya, tapi tidak seperti ini juga, kali? Aku seperti dipasung?" "Mau tanya dokter?" Angeline melengos, "Tidak usah. Dokternya pasti sependapat denganmu." Nathan meletakkan laptop di meja dan menghampiri Angeline, "Sekali ini dengarkanlah suami
Malam menyelimuti ibukota dengan langit hitam sepekat tinta. Tidak tampak satu bintang pun, sedangkan bulan bersembunyi di balik awan mendung. Cuaca suram tidak mampu mempengaruhi suasana hati seorang wanita yang akan bertemu lelaki pujaan. Berkali-kali wanita itu menatap bayangan dirinya di cermin. Lekuk tubuhnya sempurna dibalut gaun merah pendek. Rambut hitam lurus tergerai menutupi punggung. "Akhirnya kamu kembali padaku, Nathan," gumam Jasmine pada cermin. "Malam ini kita akan bersenang-senang ... seperti malam-malam sebelumnya." Bibir merah itu melengkung membentuk senyum menggoda. "Kita akan bercinta sampai pagi, Sayang. Kamu tidak akan bisa menghindar lagi seperti waktu itu." Jasmine mengambil sebotol parfum khusus dan menyemprotkannya di tubuh. Waktu yang dijanjikan telah tiba. Tanpa terburu-buru Jasmine keluar dari suite untuk menuju ke cafe hotel tempatnya bertemu Nathan. Penampilan yang begitu menggoda menarik perhatian semua lelaki yang berpapasan, bah
Seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta Jasmine menggandeng Nathan kembali ke suite. Kebahagiaan meluap dalam hatinya karena akan menghabiskan waktu berdua dengan lelaki pujaan. Tanpa ada keraguan sedikit pun Jasmine menarik Nathan masuk. "Make love to me, Nathan." Lelaki itu mendorong Jasmine ke dinding, menahan kedua tangannya di atas kepala dan menciumnya seperti binatang kelaparan. Si wanita membalas dengan intensitas serupa. Sikap dominan Nathan membuat gairahnya melonjak pesat. Dia berusaha melepaskan kedua tangannya dari cengkeraman Nathan, tapi sia-sia. "Nathan ... lepaskan ...," lirih Jasmine. "Kau menyukainya, bukan?" Lelaki itu menyeringai jahat. Tangannya melingkar di leher si wanita. Jasmine menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan mendamba, "Lakukan sesukamu, Sayang ...." Hal berikutnya yang terjadi adalah mereka berdua bergumul di tempat tidur. Jasmine menikmati perlakuan kasar si lelaki seperti yang biasa dia lakukan. Wanita itu tida
"Di mana bajingan itu?" "Dia menghilang, Bos. Baru saja ada di depan kami." Nathan menekan pelipis, "Lihat di belakang kalian." Sedetik kemudian terdengar suara-suara teriakan dari ujung percakapan seluler tersebut. Dari suara benturan yang terdengar sepertinya alat komunikasi milik anak buah Nathan jatuh di lantai mobil. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Hening selama beberapa saat ... "Kutunggu di gym-mu, Nathaniel." Terdengar suara dingin Jonathan. "Siapkan surat wasiat, Brengsek." Nathan menggertakkan gigi. Jonathan tertawa, kemudian hening dan hubungan terputus. Hati-hati sekali Nathan meletakkan handphone di atas meja. Tatapannya melayang ke arah Angeline yang tidur nyenyak. Jangan sampai wanitanya terbangun karena dia tidak mampu mengekang emosi. Motor sport Nathan melaju dengan kecepatan tinggi menembus hawa malam yang teramat dingin. Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, penuh konsentrasi terhadap keadaan sekitar. Dengan