Ombak kecil menyapu pantai dengan lembut. Jonathan memperhatikan Nathan dan Rafael yang bermain air. Sorot matanya mengandung kerinduan sekaligus rasa sakit yang dalam. Jerit tawa Rafael membangkitkan kenangannya akan masa lalu. Aneh memang, dahulu dia berpikir dengan membalas dendam hatinya akan merasa damai. Ternyata tidak. Duka itu tidak serta-merta lenyap. Perlahan matanya terpejam. Aroma laut dan suara-suara anak kecil menghidupkan kenangan akan istri dan anaknya yang telah tiada. Bagi orang sepertinya yang meniti jalan kegelapan memang tidak mudah membiarkan siapa pun mendekat. Namun, saat hatinya telah terbuka bagi seseorang, akan sangat sulit untuk melupakan. "Mau kembali atau tinggal?" tanya Nathan. Jonathan membuka mata, "Kalian kembalilah. Aku akan tinggal sebentar." "Bye, Uncle." Rafael melambaikan tangan. Jonathan membalas lambaian anak kecil itu. Kemudian tanpa berkata apa pun Nathan membawa Rafael kembali ke cafe. Anak kecil itu tidak lagi ra
Lama Angeline duduk diam setelah Nathan menceritakan semua tentang masa lalunya yang kelam. Rumah besar ini ramai oleh tawa dan celoteh Rafael yang bermain dengan Gloria, tapi semua itu seolah berada di dimensi lain pendengaran Angeline. Nathan pun duduk tak bersuara di sebelah istrinya sambil berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. "Sudah malam. Aku tidurkan Rafa dulu." Angeline beranjak dari sofa. Nathan menangkap tangan si wanita dan berucap, "Baby Girl, beri tahu aku apa yang kamu pikirkan." Angeline menatap asing, "Setelah menidurkan Rafa." Tidak dapat mencegah lagi, Nathan melepas Angeline. Pandangannya mengikuti sosok wanita itu berjalan ke arah Rafael dan Gloria. Seperti dugaan Nathan, mengungkapkan masa lalu tidaklah sulit. Hal yang tersulit adalah menghadapi reaksi Angeline. Lelaki itu pun bersandar pasrah di sofa, berpikir seandainya dia bisa mengubur masa lalu itu selamanya. Namun, di satu sisi dia menyadari, relasi antara dirinya da
Emosi menguasai Jasmine sehingga jari-jarinya gemetar saat mencari nomor handphone Nathan. Dia menekan tombol hijau dan dengan penuh harap menanti kekasihnya menjawab panggilan tersebut. Keresahan mewarnai wajah Jasmine karena nada tunggu berakhir tanpa hasil. Tidak menyerah, wanita itu kembali menelepon. Satu kali, dua kali, sampai belasan kali. Suara high heels beradu dengan lantai marmer menjadi musik pengiring kegelisahannya. Jasmine berjalan mondar-mandir di lobby gedung Wayne Group, memutuskan untuk menunggu sampai Nathan kembali dari meeting. Kehadirannya menjadi daya tarik bagi lawan jenis terutama karena pakaian yang seksi. Jasmine mengabaikan semua tatapan itu. Hatinya setia kepada sang kekasih. "Come on ... where are you, Nathan ...?" desis Jasmine ketika nada tunggu berikutnya berakhir. Hampir menjelang siang ketika wanita itu melihat sosok yang didambakan berjalan masuk dari pintu utama. Matanya menyorotkan kekaguman melihat semua orang bersikap hormat ter
Ingatan akan peristiwa dua tahun yang lalu membuat Angeline melangkah mundur. Menjaga jarak aman adalah hal terbaik yang dapat dilakukan jika menghadapi lawan seimbang. Setidaknya dapat mengulur sedikit waktu sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Jasmine memang tampak berbahaya dengan pakaian serba hitam yang membalut ketat tubuhnya. "Jasmine." Angeline menatap tajam. "Aku tersanjung kamu masih mengingatku. Walaupun sebenarnya secara hirarki kamu harus memanggilku bibi." Bibir merah itu tersenyum dengan cara yang sedikit tidak normal. "Aku yang tersanjung karena kamu menempuh perjalanan begitu jauh untuk mencariku," balas Angeline. "Jarak bukanlah penghalang, Sayang, karena aku datang untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Kekasihku." Sekejap tatapan Jasmine menjadi tidak fokus, kemudian kembali normal. "Aku tidak merasa berhutang padamu. Bahkan aku tidak mau berurusan denganmu. Keluarga Mei membuatku muak," ketus Angeline. Jasmine tertawa m
"Lain kali jangan biarkan aku mengeluarkan ide aneh." Alardo bersandar di pangkuan Sonya dengan Anita duduk di perutnya. "Sekali-sekali tidak apa, Sayang. Aku jadi tahu kamu suami yang kuat." Sonya tersenyum manis. Tangannya membelai rambut Alardo dengan lembut. Nathan dan Angeline mengamati pasangan itu dari kursi sebelah sambil bergunjing. "Lihat ... temanmu manja sekali ... Dia pikir tidak ada orang lain di sini ya," bisik Angeline. "Perilakunya memang seperti itu, Baby ... Untung dia menikah dengan wanita pujaannya, jadi semua perilaku ajaib itu tersalurkan dengan baik," bisik Nathan. Rafael yang duduk di pangkuan Nathan menatap aneh. Mungkin dia heran kenapa orangtuanya harus bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar. Iseng anak kecil itu menarik kerah kaos Nathan untuk melihat tato di tubuh sang ayah. "Kamu juga kadang-kadang manja ...." Angeline mencubit lengan suaminya. "Tapi aku tidak melakukannya di depan umum, 'kan?" kilah Nathan. "Ti
"Aku bukan khayalan, Jasmine. Bagaimana kalau kucarikan psikiater yang bagus untukmu?" Nathan mengernyit. "Sejak awal aku sudah tahu kamu bukan khayalan, Sayang. Kamu selalu kembali kepadaku. Aku tidak butuh psikiater atau apa pun, asal aku mendapatkan hatimu kembali." Jasmine melangkah maju. "Wanita keras kepala. Sadar, Jasmine, semua itu hanya dalam duniamu sendiri." Nathan mendorong wanita itu mundur. "Salah. Dunia kita berdua." Wanita itu tersenyum licik. Nathan mengernyit. Nalurinya mengatakan ada yang tidak beres, ditambah lagi jantungnya berdebar abnormal. Barulah dia sadar bahwa aroma parfum yang dipakai Jasmine mengandung obat bius. "Berani sekali kau, mencoba membiusku?" Nathan menggertakkan gigi. "Oh, kamu menyadarinya? Sedikit terlambat, bukan? Kamu tidak akan bisa melawannya, Nathan. Ini terlalu kuat untukmu. Bahkan Jonathan pun kesulitan mengatasinya." Wajah Jasmine berbinar. Lelaki itu mencengkeram tangan Jasmine yang hendak menyentuhnya.
"Bad idea, Angel. Really-really bad idea." Nathan menekan pelipis. Baru kali ini gagasan Angeline tidak berkenan di hatinya. "Pikirkan dulu, Nath. Kalau dia sudah sembuh, atau minimal lebih baik, dia pasti tidak akan mengganggu kita lagi. Yang penting 'kan bagaimana supaya dia mau menerima penanganan psikiater," bujuk Angeline. Nathan menghela nafas, "Kita bicarakan lagi nanti. Tubuhku masih terasa tidak nyaman dan kepalaku sakit." "Perlu ke dokter?" "Sepertinya tidak perlu. Sepengetahuanku efeknya akan hilang sendiri. Sial sekali aku terjebak oleh wanita brengsek itu." Angeline mengernyit, "Mungkin seperti yang dulu terjadi pada Jonathan." "Hmm ... ya, bisa jadi." "Apa perlu bicara dengannya?" "Tidak perlu, Baby Girl. Aku istirahat sebentar, setelah itu kita pulang." Nathan kembali rebah, menarik serta Angeline bersamanya. Wanita itu kehilangan keseimbangan dan membentur dada Nathan. "Aduh, pelan-pelan, Nath," keluh Angeline. "Sorry," ucap
Wanita yang duduk tegak di atas tempat tidur merengut sebal karena dilarang menjejakkan kaki di lantai. Berkali-kali dia berusaha turun, tapi berkali-kali juga Nathan menaikkan kembali kakinya. Angeline menatap penuh dendam terhadap lelaki yang sedang sibuk dengan laptop. "Nathan." Tidak ada reaksi. "Nathaaan." Tetap tidak ada reaksi. "Ih reseh," gerutunya. Lelaki itu pun menoleh dengan senyuman lebar, "Apa, Sayang?" "Aku panggil dari tadi kok diam saja?" tuduh Angeline. "Sabar, Baby Girl. Aku harus menonaktifkan kamera dulu. Lihat? Sedang meeting." Nathan memperlihatkan apa yang terjadi di layar laptop. "Makanya biarkan aku turun dong," bujuk wanita itu. "Kamu harus banyak istirahat." "Iya, tapi tidak seperti ini juga, kali? Aku seperti dipasung?" "Mau tanya dokter?" Angeline melengos, "Tidak usah. Dokternya pasti sependapat denganmu." Nathan meletakkan laptop di meja dan menghampiri Angeline, "Sekali ini dengarkanlah suami