"Tutup mulutmu, mas. Aku tak suka bila terus di bandingkan dengan mantan istrimu itu," tuding Siska geram.Suara bising kendaraan bermotor yang lalu lalang melintas dan terik matahari yang menyengat membuat wajah pasangan pengantin baru itu terlihat masam dan lelah, tampak Siska mulai menyeka keringatnya yang mengucur dengan bebas. Beberapa orang yang berdiri di sekitar mereka juga terlihat melakukan hal yang sama. Menghapus jejak keringat di wajah mereka.Sebuah bus akhirnya berhenti di halte, tampak orang orang yang tadi berdiri kini bergerombol hendak masuk ke dalam, melihat pemandangan tersebut, tak ayal membuat Siska spontan mengelus perutnya."Aku ingin naik taksi saja, mas.""Tadi kita sudah naik taksi. Jika kau tidak mau naik bus, naik angkot saja," tolak Aldo."Tapi mas ..." Siska menghentikan ucapannya karena melihat Aldo yang segera memalingkan wajahnya.Perlahan, bus tadi bergerak meninggalkan mereka. Kini yang tertinggal di halte itu hanyalah mereka berdua saja."Aku akan
Hanna tersenyum tipis memandang mereka dengan tatapan datar. Wajah wanita itu terlihat ramah tak seperti saat pertemuan mereka sebelumnya yang di warnai pertengkaran dan perdebatan.Lalu lalang kendaraan masih ramai lancar, bunyi klakson yang sesekali terdengar seakan menjadi melodi tengah hari di jalanan. Kemacetan sudah menjadi rutinitas yang wajib bagi para pengendara kendaraan bermotor.Sesekali angin lembut menyapa dan menyentuh wajahnya. Seakan ingin membelai dan memberikan sedikit ketenangan di tengah panasnya sang surya yang begitu garang menampakkan kekuasaannya.Wajah Siska tampak gelisah, karena bertemu dengan Hanna tidak pernah ada dalam daftar keinginannya. Wanita itu telanjur teramat membencinya."Kurasa kami tak ada hubungan apapun lagi denganmu?" Sindir Siska dengan tatapan sinis ."Ah iya, kau benar. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, tapi sepertinya kalian berdua lupa masih berhutang padaku," Jawab Hanna santai.Mendengar kalimat yang diucapkan Hanna, Ekor ma
Rumah bertingkat dua dengan desain mediterania klasik ini kini terlihat sedikit berbeda, tampilan luarnya tak sama seperti terakhir kali Aldo mengunjunginya. Warna cat dan posisi beberapa tanaman dalam pot juga berubah. Membuat halaman rumah tampak lebih lega dan rindang.Perlahan, Aldo mulai membuka kunci pagarnya, suara berderit karena gesekan besi menyebabkan seorang tetangga wanitanya yang kebetulan duduk teras seketika menoleh."Eh, Mas Aldo! Ada apa datang kesini, bukannya sudah cerai ya dengan Mbak Hanna?" Ketus wanita itu menyapa."Saya ada perlu sebentar dengan Hanna.""Oh ya? nggak bikin masalah kan? Ini sudah malam, bukankah lebih bertamu itu di siang hari saja? Saat ini, mbak Hanna itu janda. Nggak enak dilihat orang kalau mbak Hanna di kunjungi laki laki malam-malam, nanti bisa timbul fitnah. Meskipun itu mantan suaminya." Ucap lantang wanita berambut pendek sebahu itu.Mendengar semua tuduhan, membuat Aldo hanya bisa menggangguk pelan. "Saya hanya berkunjung sebentar ka
Siska memandang Aldo dengan tatapan penuh selidik begitu lelaki itu pulang ke kontrakan baru mereka. Di liriknya wajah suaminya yang kaku dan muram, seolah begitu lelah.Sudah dua hari mereka pindah ke kontrakan kecil ini, sebuah rumah sederhana dengan satu kamar tidur yang terletak di belakang pasar, yang di dapat Siska dari Mayang.Hanya ada tiga ruangan di rumah itu, ruang tamu, kamar dan dapur. Kecil tapi setidaknya lebih baik dari kamar kos yang sesak. Di dalam kamar ada sebuah kipas angin yang masih menyala meski sudah menjelang larut malam dan suara televisi yang terdengar seakan menjadi teman sang penghuni rumah. Di bawah tatapan mata Siska yang masih menghujam, Aldo melepas sepatunya dan berjalan ke kamar. Diletakkannya tas kerjanya di atas ranjang. Rasa lelah dan lapar begitu menderanya, karena perjalanan dari rumah Hanna ke kontrakan ini cukup memakan waktu."Darimana saja kau mas?" ketus Siska bertanya, ketika melihat Aldo sedang berusaha melepas dasinya."Kantor, aku le
Pagi pagi sekali Siska sudah terlihat sibuk di dapur, menu nasi goreng dengan taburan abon, irisan bawang goreng dan telur dadar baru saja ia buat. Harum aroma bawang goreng menguar membuat rasa lapar menekan lambungnya.Sebuah tikar plastik ia gelar di ruang tamu itu, lalu meletakkan sebuah meja kecil di sana. Tak lama ia melangkah ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan membawa dua buah piring nasi goreng beserta teh hangat yang baru saja dibuatnya.Suara derit pintu yang kamar terbuka, sontak membuat Siska menoleh, tampak di sana, Aldo sudah terlihat begitu rapi dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna abu-abu terang yang membungkus tubuhnya."Ayo makan dulu mas, aku sudah membuatkan nasi goreng spesial untukmu," ajak Siska yang langsung berdiri menyambutnya."Maaf ya hanya ada nasi goreng saja, uang yang kauberikan tidak cukup untuk membuat nasi goreng yang enak." Sindir Siska."Tak usah merepotkan diri untuk memasak makanan untukku, aku bisa cari makanan sendiri. Lagipula, hari
"Kita tunggu Hanna datang, karena dia yang memegang amanah ibumu," Sahut Ridwan yang langsung di balas dengan kerutan di kening Aldo.***Sinar matahari mulai terasa terik ketika Siska turun dari sebuah angkot, bulir keringat membasahi pipi mulusnya, namun, tak menggoyahkan langkahnya untuk terus berjalan di bawah cuaca panas ini.Sehelai tisu basah ia tarik untuk menyeka keringatnya. Ia melebarkan langkah menuju ke arah lobby sebuah hotel. Di sisi kiri, tampak Mayang telah berdiri menunggunya sambil melambaikan tangan.Rasa gugup mulai ia rasakan, entah mengapa, hatinya mulai sedikit bimbang, tak seperti saat ingin menggoda Aldo, kali ini rasa takut menghinggapinya."Maaf aku terlambat, angkotnya lama," keluh Siska beralasan."Tak apa apa, sebaiknya kita ke kamar kecil dulu, kau perlu merapikan riasan wajahmu dan juga tambahkan parfum ke tubuhmu, kau bau keringat dan tampak kusam." Protes Mayang sambil mengendus aroma tubuh Siska."Baiklah, ayo temani aku!"Mereka berdua berjalan me
Sementara itu di tempat lain."Kita tunggu Hanna datang, karena dia yang memegang amanah ibumu," Sahut Ridwan yang langsung di balas dengan kerutan di kening Aldo."Hanna? Amanah ibu? Apa sebenarnya maksud semua ini, pak?""Tunggulah sebentar, bapak yakin tak lama lagi Hanna akan tiba.""Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini," ungkap Aldo dengan wajah kebingungan.Untuk beberapa saat mereka saling diam, tak lama, terdengar Ridwan berdehem cukup keras."Bapak ke belakang sebentar membuatkan teh hangat untukmu. Sementara itu, buatlah dirimu senyaman mungkin disini. Lagipula, sudah lama kau tidak pulang ke rumah," Selesai mengucapkan kalimat itu, Ridwan pun berlalu meninggalkan Aldo sendiri.Aldo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, mengikuti saran sang ayah untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Sesekali terlihat ia memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di sana.Rumah ini adalah tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Selepas menyelesaikan pendidikan das
"Maaf membuatmu menunggu. Aku memintamu datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari ibumu," ujar Hanna sambil meletakkan sebuah amplop putih yang masih bersegel di atas meja.Aldo tampak mengernyitkan dahi, tatapan matanya lurus pada amplop putih yang baru saja diletakkan Hanna di meja, ada gurat kebingungan di wajahnya, wajar saja karena di matanya Hanna seakan ingin bermain teka-teki dengannya.Amplop itu tampak rapi dengan logo sebuah rumah sakit di salah satu sudutnya. Sebuah amplop yang berisi rahasia kelahiran Aldo.Menyadari kemana arah pandangan Aldo, Hanna terlihat menuduk sesat, lalu berbicara pelan."Sebelumnya aku minta maaf padamu, mas. Karena menahan amanah ini cukup lama. Aku tahu aku sangat egois dan salah, karena tidak langsung menyampaikannya padamu.""Sebenarnya, ibu memintaku untuk segera memberikan amplop ini padamu setelah ia meninggal, namun, saat itu kau sangat gencar menuduhku berselingkuh, hal itu membuatku geram dan sakit hati hingga ..." Hanna menje