Bab 28. Mas Elang Memerintahkanku Ganti Baju dan Ke SalonAstaga! Kenapa dia? Ini maksudnya apa? Dia memberi perintah yang aku tak paham sama sekali. Dia juga belum menjelaskan apa-apa. Apa maksudnya menyuruhku mengganti pakaianku dan ke salon untuk merapikan rambutku? Memangnya kenaap dengan pakaianku? Ini daster, enggak baru memang, tapi enggak ada sobeknya, kok, seperti dasterku yang lain. Ini daster yang paling bagus yang aku punya. Kalau daster inipun dia suruh ganti, aku harus pakai baju apa?Lalu rambutku? Kenapa dengan rambutku? Rambutku panjang dan aku sudah sisir rapi, kugelung jadi satu di belakang. Apa yang salah? Astaga! Pria ini malah mendengkur! Abaikan saja! Mungkin dia salah memberi perintah tadi. Dia pikir aku siapanya ngatur-ngatur hal yang pribadi. Tapi … bagaimana kalau dia marah saat dia terbangun nanti? Satu jam … ini sudah satu menit, dua menit, aaah! Waktuku makin berkurang saja.Cepat kusambar kartu kecil yang terletak di atas nakas. Seumur-umur aku belum
Bab 29. Penampilan Baruku, Tapi Lupa Mengganti Sandal Jepitku“Baik, silahkan duduk, saya akan buat model yang paling cocok dengan bentuk wajah, Mbak, ya! Saya akan make over Mbak, pokoknya!”“Jangan lama-lama! Usahakan yang paling sederhana biar cepat yang penting rapi!”“Iya, Mbak! Mbak tenang saja! Saya bisa cepat, kok!”Dua puluh menit berlalu, tetapi aku belum selesai juga. Petugas salon itu meminta tambahan waktu lima menit lagi. Aku mulai tak tenang. Bagaimana kalau Mas Elang marah. Sepuluh menit kemudian, baru semuanya kelar. Buru-buru aku membayar ke kasir salon.“Ini Mbak, cepat ya!” ucapku tak sabar, mengetikkan nomor Pin kartu kredit Mas Elang.“Coba lihat dulu perubahan wajah Mbak! Mbak cantik sekali dengan model ini! Liat, deh!” Pegawai salon yang tadi melayaniku masih mengikuti.“Terima kasih, Mbak! Saya sudah kelamaan!” sahutku segera berlalu.Buru-buru menyeberang jalan, lalu setengah berlari menuju lif. Detak jantungku bertalu-talu, capek berlari dan rasa
Bab 30. Minta Rujuk Setelah Talak Tiga“Terima Kasih, Mala! Terima kasih atas kejujuranmu!”“Sama-sama, Mas!”Kulihat wajah pucat Mas Elang memerah. Sepertinya dia sednagn menahan amarah dan sakit hati yang kian parah. Kalimat jujur Nirmala pasti sangat melukai hatinya.“Tapi, aku minta maaf, Mala! Kamu tetap tak ajan bisa menuntut pembagian harta gono-gini! Karena harat orang tuaku belum menjadi milikku! Jadi, aku sarankan, berhentilah bermimpi tentang harta itu!”“Kalau begitu aku enggak jadi minta cerai!” Tiba-tiba perempuan menyergah.Mas Elang tersenyum kecut. “Kau enggak jadi minta cerai karena enggak jadi mendapat harta gono gini, begitu?” tanyanya sinis.“Pokoknya aku enggak jadi minta cerai! Mas Elang tidak boleh mendaftarkan perceraian kita ke Kantor Pengadilan Agama. Aku tetap mau menjadi istri Mas Elang!”“Samapi kapan kau akan bertahan menjadi istriku? Sampai seluruh harta orag tuaku diserahkan padaku, iyakan?”“Kamu, kan, yang bilang begitu?”“Hehehehe … kamu lucu!”
Bab 31. Vonis Dari Dokter Untuk Kaki Mas Elang“Oh, jadi, itu tujuan Mas yang sebenarnya?”“Ya, maaf! Jika kau merasa aku memperalatmu!”“Kenapa tidak tadi saja sekalian, saat Dokter tadi memintaku menemuinya?”“Aku tidak tega melihat penampilanmu! Kamu tahu, rumah sakit ini adalah rumah sakit swasta terelit di kota ini! Bayangkan kamu berkeliaran ke sana kemari, masuk ke ruanagn Dokter, hanya dengan daster lusuh dan kumalmu tadi! Aku tak mau kamu diremehkan orang! Karena pada umumnya, manusia menilai seseorang itu adalah berdasarkan penampilan.”Aku terdiam, dalam hati sangat membenarkan.“Sekarang pergilah! Setelah ini, aku izinkan kamu pulang! Aku tidak akan menahan kamu di sini lagi.”“Baik, Mas Elang tidur, ya! Mas sudah terlalu lelah sejak tadi, Mas pasti belum ada istirahanya!”“Aku akan tidur setelah mendengar informasi darimu!”“Baikalah kalau begitu. Saya pergi dulu, ya!”“Hem.”**“Selamat siang, Dokter!” sapaku seraya melangkah masuk. “Siang, silahkan masuk!” jawabny
Bab 32. Perasan Sapu Tangan Rembesan ASI-ku“Tidak, Sayang! Om Elang tidak mengusir mama. Sini, masuk! Salim dulu Om Elangnya, Nak!” ucapku, sontak membuat mata Elang beralih kepadaku. Kubalas tatapannya dengan senyum lembut. Wajah ketatnya berangsur surut.“Siapa dia?” tanyanya pelan.“Dia putri sulungku. Namanya Nada. Nada, salim Om Elang, Nak!” titahku.Nada melangkah masuk dengan langkah masih takut-takut. Mas Dayat menggandeng tangannya mendekati kami.“Selamat siang, Om!” ucap Nada seraya mengulurkan tangan. “Nama saya Nada, Om,” sambungnya saat Mas Elang menjabat tangan mungil itu. Nada mencium punggung tangan kurus tak berdaging itu.“Kelas berapa?” tanya Mas Elang ramah. Syukurlah, ternyata dia bisa bersikap lunak kepada putriku.“Kelas tiga, Om,” sahut Nada dengan sopan. “Maafin, Mama kalau dia ada salah, ya, Om! Jangan marahin Mama, kasihan dia selalu dimarahin oleh semua orang. Dulu sering dimarahin nenek, tante Ambar, tante Sekar, Papa, juga kemarin dimarahin oleh Mam
Bab 33. Suara Desahan Istri Baru Suamiku Di Antara Rintihan PutrikuAku siap menerima apapun resikonya, yang penting bisa bertemu Rara sebentar saja. Namun yang kutunggu tak juga tiba. Kata Nada sudah tiga hari Rara tidak sekolah. Kutemui guru kelas satu untuk mencari informarsi yang sebenarnya. Ibu Guru itu membenarkan, Rara sakit, itu alasan Mas Sigit menelpon dia tiga hari yang lalu.Entah kali ini beneran sakit atau bohongan lagi seperti waktu itu. Sebagai seorang ibu, aku sangat tidak tenang. Segera kubereskn semua tugas-tugasku, lalu minta izin kepada Bu Ajeng untuk menjenguk putriku.“Aku antar, Ning!” Mas Dayat menawarkan jasa.“Aku antar, Ning!” Mas Dayat menawarkan jasa.“Enggak usah, Mas! Mas Dayat harus antar pesanan jam sebelas nanti,” tolakku tak mau merepotkan siapapun. Aku juga harus sebisa mungkin menjaga jarak dengan pria itu. Dengan naik ojek aku menuju rumah istri baru Mas Sigit.Setelah membayar ongkos, aku melangkah memasuki halaman yang luas tak berpagar i
Bab 34. Kuhajar Suami dan MadukuTiba-tiba Mas Sigit dan Yosa sudah berdiri menghadang. “Eeeeeeh, kamu! Beraninya kamu masuk ke dalam rumahku tanpa permisi! Mau mencuri kamu, ya!?” Yosa langsung menjambak rambutku.Aku bertahan, tak kupedulikan sakit karena jambakannya yang semakin kencang. Jika aku melawan, maka Rara akan lepas dari gendongan. Kuterobos tubuh mereka yang masih berpakaian acak-acakan. Kulanjutkan langkah kaki dengan beban tubuh Rara yang tak kurasakan berat. Ketakutanku akan kehilangan nyawa Rara mengalahkan segalanya.“Mau kau bawa ke mana Rara! Siniin!” Mas Sigit merebut tubuh putriku. Sementara jambakan istrinya masih erat di rambutku.“Jangan, Mas! Rara sakit, Mas! Rara pingsan, Mas! Rara demam, Mas! Tolong lepasin, Mas! Aku akan membawanya ke rumah sakit, tolong, Mas!” pintaku berusaha mempertahankan tubuh Rara.“Siapa yang mneyuruhmu ke sini! Aku juga bisa membawanya ke rumah sakit! Pergi kau, Bneing!” bentak Mas Sigit berhasil merebut tubuh Rara dari ge
Bab 35. Biaya Rumah Sakit Putriku “Bagaimana putri saya, Suster?” tanyaku deg-deg an.“Putri Ibu sudah ditangani dokter. Pertolongan pertama sudah di berikan. Demamnya sudah sitangani. Sampel darah juga sudah kita kirim ke lab. Kita tunggu hasilnya, ya, Bu!”“Anak saya masih bisa diselamatkan, kan, Suster?”“Insyaallah, ya, Bu! Bantu doa! Dokter pasti lakukan yang terbaik”“Sebenarnya dia sakit apa, Sus?”“Kita tunggu hasil lab dulu, ya, Bu! Diagnosa sementara Dokter, putri ibu terkena types. Ini, Bu, ada yang ingin saya sampaikan. Putri Ibu akan kita pindahkan ke ruangan, tolong ibu urus administrasinya segera, ya! Agar dia bisa masuk ruang rawat!”“Administrasi, ya, Sus?”“Iya, Bu! Kami tunggu secepatnya, ya!”Aku belum menjawab, tapi perawat itu sudah kembali masuk dan menutup pintu ruangan. Kepalaku mendadak pusing. Tadi yang aku pikirkan hanya nyawa anakku, sekarang aku dihadapkan kepada masalah baru. Biaya!“Kamu tunggu di sini, ya, aku yang akan urus!” Mas Dayat menyentuh lemb