Bab 56. Mas Elang Pamit Pergi JauhBagaimana aku akan baik-baik saja, bila aku akan kehilangan penopang yang baru saja kutemukan? Siapa yang akan membelaku. Kenapa aku merasa sangat takut dia tinggalkan? Padahal dia bukan siapa-siapaku? Kenapa aku merasa sendiri?*****“Tapi kamu berbeda, Ning,” lanjutnya setelah menghela napas panjang satu kali. Hatiku berdesir. Ternyata dia mulai membedakan aku dengan perempuan-perempuan yang selama ini sudah dia kenal sebelumnya. Semoga bedanya aku ini, mendapat tempat yang istimewa di hatinya, untuk memudahkanku membalas perbuatan ibunya. Aku tidak dendam kepada Bu Ajeng. Tapi aku harus memberinya sedikit pelajaran agar jangan kebiasaan.“Kamu kebalikan dari mereka, Ning. Sejak awal aku mengenalmu dulu, saat kamu pertama datang dari kampung, aku sudah melihat kalau kamu adalah wanita yang berbeda. Di saat perempuan lain berjuang untuk mencari laki-laki tajir, bersolek, dandan, lalu tebar-tebar pesona, kamu justru berjuang dan bekerja keras di
Bab 57. Kenapa Aku Begitu Berat Meninggalkanmu, Ning! POV Elang Astaga, Ning? Aku telah salah mendugamu? Aku kira kau akan menahanku. Aku kira kau akan melarang aku pergi. Duh, ge-ernya aku selama ini. Aku telah salah kaprah! Aku terlalu berharap. Dan ini … ini jauh lebih sakit lagi, ternyata, Ning. Ini jauh lebih sakit daripada perbuatan Nirmala. Aku mengira bahwa perempuan yang aku sayangi juga menyayangi aku. Aku terlalu percaya pada mimpiku. Kau datang dalam mimpiku untuk menyelamatkanku dari gelapnya jurang yang dalam itu. Kau tuntun aku mendaki, kau bimbing aku hingga sampai di puncak. Kau benar-benar hadir dalam mimpi itu. Betapa bodohnya aku mengira mimpi sama dengan kehidupan nyata. Aku lupa kalau mimpi hanyalah bunga-bunga tidur. Kau hanya singgah ternyata, Ning. Kau tak ada rasa sama sekali. Aku salah telah berharap lebih padamu. [Kuharap, kau tetap berjuang meski tak ada lagi aku yang mendampingimu! Berjuang untuk anak-anak! Kau mau, kan? Jangan pernah menyera
Bab 58. Cium Keningku, Ning! POV Elang “Oh, gitu, kok ribet, sih mesti dijemput segala, kan ada Go-food, Pak?” sergah Maya merasa heran. “Ini warung makan istimewa, masih baru, belum punya aplikasi seperti itu. Lagian aku niatnya begitu, ini niat orang yang mau berangkat untuk berobat, tolong jangan ditawar!” “Oh, iya, baik, Pak, maaf. Segera kami laksanakan.” “Terima kasih, May. Jangan lupa, pemilik warung itu namanya Bening! Aku berangkat ya, pesawatku mau berangkat! Jangan lupa doanya!” “Siap, Pak! Terima kasih bubur ayam spesialnya!” “Balum juga kamu makan!” “Pasti enak, kalau tidak tak mungkin Pak Elang recomended banget.” “Hem, Ya, rendang buatan Mbak Bening juga istimewa banget, lho! Sesekali kalau kalian mau makan siang, boleh, coba!” “Ih, Pak Elang kok, jadi promosi, sih, bukannya promosiin restoran Bu Ajeng, restoran milik Pak Elang sendiri, itu langganan kita, Pak! Kok, saya ngerasa ada yang aneh, nih?” “Tidak, aku kan cuma bilangin. Biar kalian tau makanan e
Bab 59. Ungkapan Hati Mas Elang “Iya, Ning, aku datang! Dua puluh lima menit, aku sudah ada di situ, buktikan ucapanmu, cium keningku!” kata Mas Elang dari ujung telepon. “A-apa? Mas?” lirihku pelan. Kaget luar biasa membuatku kehilangan kata-kata. “Gak boleh ingkar, Ning!” tegas Mas Elang. “Mas …!”gumamku serasa tercekat. “Em, aku datang, ya!” Telepon dia putus. Mas Elang tak memberi aku kesemptana untuk berbicara. Ya, Tuhan, apa yang telah kulakukan, aku bicara apa tadi? Aku sudah salah ucap. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kalau aku akan mencium kening Mas Elang? Astaga, betul kata Ibuku di kampung dulu agar aku jangan pernah terlalu larut dalam segala hal. Saat kamu sedang sedih, jangan terlalu tenggelam dalam duka. Sebaliknya saat kamu senang, jangan terlalu gembira, nanti bisa lupa diri. Begitu selalu nasihat Ibuk. Ini buktinya. Sangkin senangnya warungku laris, aku mengucapkan kalimat yang tak masuk akal. Kalimat yang mejerat diriku sendiri. Masa iya aku akan
Bab 60. Sentuhan di Bibir? Aku terlalu terbawa perasaan. Aku tak tega mendengar semua kesedihan Mas Elang. Ternyata di balik sikapnya yang selalu keras, suka memaksakan kehendak, suka memutuskan sesuatu tanpa meminta jawabanku, ternyata ada gumpalan derita di dalam dadanya. Ternyata dia merasa hidupnya sebegitu sudah hancurnya. ***** “Aku pulang, ya, Ning! Maaf sudah mengganggu waktumu! Dan terima kasih sudah mendengarkan aku!” “Tunggu!” sergahku menghentikan gerakan roda di kursinya. Pria itu mendongah, aku sudah berdiri di hadapannya. “Mas Elang bilang apa barusan?” tanyaku menatap tepat di manik matanya. “Aku tahu kamu tidak suka mendengar pengakuanku, Ning. Jangan marah begitu! Aku sadar diri, kok!” “Aku tidak marah. Aku cuma butuh penjelasan! Mas Elang kayak anak kecil, tau enggak! Udah ungkapin perasaan lalu main pergi aja! Kenapa Mas enggak menunggu jawabanku?” “Jawaban kamu? Jawaban seperti apa yang akan kau berikan padaku. Aku udah tahu, Ning, tanpa kamu jawab.”
Bab 61. Bu Ajeng Mengusirku Saat Mas Mas Elang “Mas,” gumamku masih tak percaya. Aku menunduk di depannya, sedikitpun tak berani menoleh ke arah Bu Ajeng dan Mbak Kinanti. Aku sangat takut.“Tenang, Ning! Jangan takut! Ada aku.” Mas Elang melepas daguku. “Maaf, aku telah lancang mengecup keningmu, tak ada maksud apa-apa di hatiku. Kecupan itu sekedar untuk menunjukkan pada Ibu, bahwa dia tak boleh memerintahkanku untuk menyukai Kinanti. Tak ada kewajiban untukmu, untuk membalas perasaanku, meski aku sangat mencintaimu. Kau tak harus membalas cintaku, Ning!” lirih Mas Elang dengan tatapan sendu.“Mas ….” sergahku pelan. Kembali hatiku rasa teriris. Masih juga dia berpikiran kalau aku menolaknya.“Tolong, jangan terlihat lemah di depan Ibu! Kau bukan perempuan lemah! Kau wanita kuat, kau wanita yang sangat berharga!” ucapnya lagi menyemangatiku.“Bagaimana kalau Bu Ajeng marah dan memaksaku untuk bayar utang-utangku, Mas? Aku belum punya uang untuk bayarnya. Hasil penjualan hari ini
Bab 62. Terancam Di Penjara, Untung Ada Mas Dayat“Kalian berdua-duaan di dalam rumah ini! Apa saja yang telah kau lakukan pada Mas Elang, ha? Selain kau berteriak kalau kau cinta dia, apa lagi yang telah kau lakukan? Pasti sudah kau berikan tubuhmu, iyakan? Kau sudah tidur dengannya, jawab, Bening!” teriak Kinanti lagi meluapkan segenap kebenciannya padaku.Tak ada yang menolongku, tak akan ada yang datang untuk menolong. Tapi, bukankah Bu Ajeng bilang sudah menelpon Mas Dayat? Semoga dia cepat datang. Tapi, andaipun Mas Dayat datang, maukah dia menolongku? Aku ragu setelah kejadian kemarin itu. Aku tak bisa mengharapkan pertolongan darinya.Lalu bagaimana? Mas Elang masih saja diam tak bergerak. Aku dikeroyok. Kata Mas Elang aku wanita kuat, aku bukan perempuan lemah. Ya, aku kuat, aku wanita kuat. Aku kuat. Aku pasti bisa melawan mereka bedua.“Aaaauw …!” Tiba-tiba Mbak Kinanti berteriak, kakiku bergerak menghantam ke arah belakang dengan sangat kuat. Sepertinya mengh
Bab 63. Ketika Mas Elang Harus Memilih“Opo! Kowe ngomong opo!?” Bu Ajeng makin melotot.“Kemarin itu saya sempat enggak percaya pada Mas Elang. Saya khawatir dia hanya mempermainkan Bening. Itu sebab saya melapor pada Ibu kalau Bening tinggal di sini. Tapi setelah melihat kegigihan Mas Elang dan melihat bagaimana besarnya cinta Bening kepada Mas Elang, saya baru sadar. Saya ihklas, saya ihklas Mas Elang mendapatkan Bening! Saya percaya Mas Elang mencintai Bening dengan tulus! Saya mundur. Tapi, saya akan tetap berjuang untuk membela cinta Mas Elang dengan Bening! Saya akan bahagia bila Bening bahagia bersama Mas Elang!”“Dayat! Kowe …!” teriak Bu Ajeng tak percaya. Telunjuknya lurus ke arah muka Dayat. “Nopo semua orang kerjaku berkhianat? Kowe kerja karo aku iku wes puluan taun, Yat! Kowe tak didik, tak kasih mangan, tak kasih duit, tak kasih hidup layak! Kayak ngene balasanmu? Dasar wong kampung ra nduwe otak! Tak pecat kowe, Yat! Kene kunci mobil! Men mapus kowe ra nduwe ker