POV AnggiAku masukkan lagi ponsel dalam tas. Alasan panggilan sebenarnyahanya pengalihan saja. Mendingan kabur dari pada harus bergaya membeli tas di sana.Aku menatap ke lantai atas. Tak tampak sosok mamanya Mala. Syukurlah kalau dia tidak mencariku. Mudah-mudahan begitu. Jadinya, aku tidak merasa malu karena ketauan pergi tanpa pamit.Aku buru-buru keluar, keinginan untuk membeli baju, sirna sudah gara-gara bertemu dengan mamanya Mala. Akhirnya, aku mengubah rencana. Memutuskan pergi dari tempat itu.Pulang saja. Ya, pulang adalah solusi terbaik sebelum aku benar-benar terjebak di situasi sulit ini. Kapan-kapan aku sambangi lagi toko ini. Urusan baju masih bisa terbeli, walaupun dengan membohongi Mirza atau Melati. Tetapi tas itu? Tidak lagi untuk untuk kumiliki, apalagi dengan keuanganku yang sulit seperti ini.Ini gara-gara menantu miskin itu.Menantuku kere. Hesti bisa apa? Bisanya cuma mengadu pada Mirza jika aku berbuat kasar padanya. Lalu, Mirza akan menegurku. Dasar pengadu.
POV ArmalaLian membawakan tiga kotak makanan lengkap dengan minumandingin, jus alpukat tanpa gula. Tangannya yang kekar menyodorkan bungkusan itupadaku, lalu kami melaju kembali setelah memesan nasi kotak di sebuah restoran.Pulang dari kantor, aku sengaja mengajaknya mampir ke rumahku yang sudah terjual. Ada beberapa barang yang belum sempat aku ambil. Satu lukisan dansebuah figura Zaki saat masih bayi.Lusa adalah sidang putusan pengadilan. Aku mau menyelesaikansemua urusan yang berhubungan dengan mas Mirza, termasuk rumah ini.Aku tak mau ketika sudah berpisah, masih ada buntut berselisih. Hubungan kami selesai, berarti tidak ada urusanlagi kecuali masalah Zaki. Begitu mauku.Aku pun sudah mendapatkan tempat yang baru. Sebuah apartemen menjadi pilihan terakhir setelah memilah dan memilih beberapa rumah yang akhirnya gak cocok dengan seleraku.Lian menawarkan apartemen di dekat kantor. Denganbegitu, aku tidak perlu bolak balik dari rumah mama yang jaraknya cukup jauh. Belumlagi aku
“Aku pun bingung. Di dalam pikiran Tante Anggi, Mala selalu saja salah, gak ada benarnya. Mungkin Tante perlu diruqiyah dulu biar bisa memandangi dari kacamata positif.” “Eh, kurang ajar!” Ibu tersinggung dengan ucapan Lian. “Sudahlah. Percuma juga dijelaskan.” Aku menutup jendela yangmasih terbuka, berniat segera pergi saja. “Akan aku panggil warga supaya menggiring kalian ke rumah pakRT.” “Ibu apa-apa sih!” “Kita pergi sekarang. Aku malas berdebat.” Lian memutar tubuh,lalu meninggalkan percekcokan sengit di ruangan ini. “Hai, Lian. Jangan kabur!” teriak ibu. “Ibu mau ngapain? Mau memfitnah kami? Iya silahkan. Lian jarangberinteraksi langsung dengan pembuat keonaran lo Bu. Dia bakal mengubungi pengacaranya kalau ketenangannya terusik.” “Pengecut namanya kalau seperti itu,” protes ibu. “Lihat ya? Akan aku viralkan perbuatan kalian!” Ibu menjauh, kemudian pergi. “Mau ke mana, Bu?” tanya Lian sambil mengulum senyum. Ibu melengossaja melewatinya yang duduk di kursi teras. “Mau
POV ArmalaTerkadang hidup sangat melelahkan. Melalui fase demi fase kehidupan yang membosankan. Begitu-begitu saja sampai kepenatan membekukan hati.Bekerja, pulang, dan mengurus Zaki sudah menjadi keseharianku setiap hari. Membekas meninggalkan kebiasaan baru. Kalau dulu akan ada mas Mirza sebagai obat dari kepenatan, sekarang malah sebaliknya. Kehadiran mas Mirza beberapa hari terakhir malah membuatku jengah. Sangat membosankan.Haruskah pergi ke suatu tempat di mana tak ada dirinya? Atau resign saja supaya bisa terbebas dari pikiran tentang dia? Tapi rasanya bukan ide yang bagus. Sebab, dari pekerjaan inilah sumber penghidupanku untuk Zaki. Kalau aku design, berarti aku kalah. Kalah melawan perasaanku sendiri. “Kenapa?”Tiba-tiba Lian sudah duduk di belakang meja. Sejak kapan diamasuk? Karena kepergok tengah melamun, aku berpura-pura membenahi map di meja.“Pake pura-pura. Begini ini, kelakuan kalau kepergok memikirkan sesuatu yang gampang ditebak!”“Apaan sih! Gak jelas.”Aku me
POV Armala Lian membolak-balik dua ikan emas hasil tangkapannya. Anginsore membuat perapian semakin membesar. Lian meletakkan di atas wadah yang diaambil dari bagasi. Rupanya, dia memang berencana mengajakku mancing. Buktinya, semua perlengkapan memancing ada di mobilnya. Pun ada wadah yang sudah terisi dengan nasi dan sambal terasi. “Jadi, sejak kapan nyiapin ini semua?” tanyaku sambil memindahkan satu centong nasi ke atas piringnya. “Nyiapin apa?” Aku kesal kalau Lian menjawab dengan balik pertanyaan. Dia pasti gak bakalan menjawab. “Ah, sudahlah. Nikmati saja. Lapar!” Aku mencocol daging ikan bakar ke sambal sambil menikmati pemandangan di pinggir danau. Beberapa pasang mata menangkap kebersamaan kami. Mungkin mereka pikir, kami pasangan kekasih. “Gak usah pedulikan mereka. Habiskan ikannya. Aku membuatitu semua dengan usaha bukan kaleng-kaleng.” Aku mengalihkan perhatian. Piring di depannya sudah kosong. “Kamu kelaparan, Li?” “Banget.” “Tau gitu, beli makanan dulu sebel
Suasana kantor sepi saat aku menjejakkan kaki diparkiran. Masih terlalu pagi untukku, karena biasanya aku tak pernah datang seawal ini. Di parkiran, hanya ada mobilku dan sebuah motor milik sekuriti.“Selamat pagi, Bu Mala,” sapa seorang sekuriti denganpakaian khasnya.“Pagi juga,” jawabku. Aku langsung menuju ruang kerja dilantai tiga.Sengaja berangkat lebih awal, karena hari pertama masuk kerja dari apartemen yang baru aku tinggali. Jaraknya yang dekat membuatku tidak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, aku bisa berjalan kaki, seperti pagi ini.Meja kerja menjadi tujuanku, ketika memasuki ruang kerja. Langsung membuka laptop dan mempersiapkan presentasi pagi. Lian tak ada membantuku kali ini. Sebab, dia sedang ada pekerjaan lain, meninjau proyek di luar kota. Berangkat pagi-pagi sekali bersama pak Anton.Sebelum waktu subuh tiba, ponselku berdering tanpa panggilan masuk. Lian mengabarkankalau dirinya dan pak Anton harus pergi saat itu juga, lalu memerintahkan aku agar memimpin m
Lian datang menjemputku ke kantor. Aku malah ternganga melihat dia sudah berdiri di lobi. Lian mengenakan kemeja dengan bawahan Jean hitam, bukan pakaian kantoran.Herannya lagi, dia kan seharusnya ke luar kota?“Lama amat,” keluhnya menyambutku.“Ngapain repot-repot jemput. Kan apartemenku dekat, Li. Aku bisajalan kaki, atau minta tolong sekuriti mengantar. Terus, bukannya kamu ke luar kota?”“Cerewet amat! Gak jadi ke luar kota. Kita ke salon ‘kan? Mama sudah menunggu.”Lian beranjak lebih dulu tanpa menunggu jawabanku.“Asem,” rutukku.Ngomong-ngomong ke salon, aku jadi teringat obrolan tante Lizasemalam. Perlukah menanyakan pada Lian? Atau berpura-pura masa bodoh saja?“Kenapa melamun? Naksir?”Astaga, apa dia gak pernah berkata lembut pada wanita? Masa langsung main tebak perasaan begitu.“Aneh!” jawabku sambil bersungut.“Mau makan dulu?” tanyanya saat akan melewati kafe favorit dia.“Nggak.”“Pasti habis makan sama Mirza.”Aku bersungut lagi.“Kenapa sih, hobi banget main tebak
Nah, baru teringat. Nama itu pernahdisebut Lian saat aku menawarkan makanan yang kupesan dari sebuah kafe.Benar, aku ingat sekarang. Lian ikutmeresmikan kafe milik Zahira. Bahkan hafal semua menu di kafe itu. Aku jadi penasaran.Setelah tante Liza selesaimenjelaskan macam-macam make up, aku memberanikan diri bertanya mengenaiZahira.“Tan, Tante kenal wanita yangbersama Lian? Tanyaku hati-hati. Tante Liza melirikku sejenak, lalu terfokuskembali membereskan alat-alat make up-nya.“Zahira?” tanyanya, sepertimemastikan.“Hu’um, Tante kenal?”“Jelas kenal. Dia kan mantanpacarnya Lian. Dulu dia gak pakai hijab dan sering datang ke salon ini.”“Oh,” balasku. Mantan. Pantas saja terlihatsangat akrab.“Mau pulang sekarang?” tanya TanteLiza. Aku mengangguk sambil menerima bungkusan darinya.“Sendiri saja. Kelihatannya Lian lagiasik-asiknya ngobrol tuh, Tan.”“Masa, sih!” Tante Liza merapatkan butuhpada pembatas ruangan yang hanya bersekat kaca, sehingga terlihat jelas keakrabanantara Lian dan