POV ArmalaTerkadang hidup sangat melelahkan. Melalui fase demi fase kehidupan yang membosankan. Begitu-begitu saja sampai kepenatan membekukan hati.Bekerja, pulang, dan mengurus Zaki sudah menjadi keseharianku setiap hari. Membekas meninggalkan kebiasaan baru. Kalau dulu akan ada mas Mirza sebagai obat dari kepenatan, sekarang malah sebaliknya. Kehadiran mas Mirza beberapa hari terakhir malah membuatku jengah. Sangat membosankan.Haruskah pergi ke suatu tempat di mana tak ada dirinya? Atau resign saja supaya bisa terbebas dari pikiran tentang dia? Tapi rasanya bukan ide yang bagus. Sebab, dari pekerjaan inilah sumber penghidupanku untuk Zaki. Kalau aku design, berarti aku kalah. Kalah melawan perasaanku sendiri. “Kenapa?”Tiba-tiba Lian sudah duduk di belakang meja. Sejak kapan diamasuk? Karena kepergok tengah melamun, aku berpura-pura membenahi map di meja.“Pake pura-pura. Begini ini, kelakuan kalau kepergok memikirkan sesuatu yang gampang ditebak!”“Apaan sih! Gak jelas.”Aku me
POV Armala Lian membolak-balik dua ikan emas hasil tangkapannya. Anginsore membuat perapian semakin membesar. Lian meletakkan di atas wadah yang diaambil dari bagasi. Rupanya, dia memang berencana mengajakku mancing. Buktinya, semua perlengkapan memancing ada di mobilnya. Pun ada wadah yang sudah terisi dengan nasi dan sambal terasi. “Jadi, sejak kapan nyiapin ini semua?” tanyaku sambil memindahkan satu centong nasi ke atas piringnya. “Nyiapin apa?” Aku kesal kalau Lian menjawab dengan balik pertanyaan. Dia pasti gak bakalan menjawab. “Ah, sudahlah. Nikmati saja. Lapar!” Aku mencocol daging ikan bakar ke sambal sambil menikmati pemandangan di pinggir danau. Beberapa pasang mata menangkap kebersamaan kami. Mungkin mereka pikir, kami pasangan kekasih. “Gak usah pedulikan mereka. Habiskan ikannya. Aku membuatitu semua dengan usaha bukan kaleng-kaleng.” Aku mengalihkan perhatian. Piring di depannya sudah kosong. “Kamu kelaparan, Li?” “Banget.” “Tau gitu, beli makanan dulu sebel
Suasana kantor sepi saat aku menjejakkan kaki diparkiran. Masih terlalu pagi untukku, karena biasanya aku tak pernah datang seawal ini. Di parkiran, hanya ada mobilku dan sebuah motor milik sekuriti.“Selamat pagi, Bu Mala,” sapa seorang sekuriti denganpakaian khasnya.“Pagi juga,” jawabku. Aku langsung menuju ruang kerja dilantai tiga.Sengaja berangkat lebih awal, karena hari pertama masuk kerja dari apartemen yang baru aku tinggali. Jaraknya yang dekat membuatku tidak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, aku bisa berjalan kaki, seperti pagi ini.Meja kerja menjadi tujuanku, ketika memasuki ruang kerja. Langsung membuka laptop dan mempersiapkan presentasi pagi. Lian tak ada membantuku kali ini. Sebab, dia sedang ada pekerjaan lain, meninjau proyek di luar kota. Berangkat pagi-pagi sekali bersama pak Anton.Sebelum waktu subuh tiba, ponselku berdering tanpa panggilan masuk. Lian mengabarkankalau dirinya dan pak Anton harus pergi saat itu juga, lalu memerintahkan aku agar memimpin m
Lian datang menjemputku ke kantor. Aku malah ternganga melihat dia sudah berdiri di lobi. Lian mengenakan kemeja dengan bawahan Jean hitam, bukan pakaian kantoran.Herannya lagi, dia kan seharusnya ke luar kota?“Lama amat,” keluhnya menyambutku.“Ngapain repot-repot jemput. Kan apartemenku dekat, Li. Aku bisajalan kaki, atau minta tolong sekuriti mengantar. Terus, bukannya kamu ke luar kota?”“Cerewet amat! Gak jadi ke luar kota. Kita ke salon ‘kan? Mama sudah menunggu.”Lian beranjak lebih dulu tanpa menunggu jawabanku.“Asem,” rutukku.Ngomong-ngomong ke salon, aku jadi teringat obrolan tante Lizasemalam. Perlukah menanyakan pada Lian? Atau berpura-pura masa bodoh saja?“Kenapa melamun? Naksir?”Astaga, apa dia gak pernah berkata lembut pada wanita? Masa langsung main tebak perasaan begitu.“Aneh!” jawabku sambil bersungut.“Mau makan dulu?” tanyanya saat akan melewati kafe favorit dia.“Nggak.”“Pasti habis makan sama Mirza.”Aku bersungut lagi.“Kenapa sih, hobi banget main tebak
Nah, baru teringat. Nama itu pernahdisebut Lian saat aku menawarkan makanan yang kupesan dari sebuah kafe.Benar, aku ingat sekarang. Lian ikutmeresmikan kafe milik Zahira. Bahkan hafal semua menu di kafe itu. Aku jadi penasaran.Setelah tante Liza selesaimenjelaskan macam-macam make up, aku memberanikan diri bertanya mengenaiZahira.“Tan, Tante kenal wanita yangbersama Lian? Tanyaku hati-hati. Tante Liza melirikku sejenak, lalu terfokuskembali membereskan alat-alat make up-nya.“Zahira?” tanyanya, sepertimemastikan.“Hu’um, Tante kenal?”“Jelas kenal. Dia kan mantanpacarnya Lian. Dulu dia gak pakai hijab dan sering datang ke salon ini.”“Oh,” balasku. Mantan. Pantas saja terlihatsangat akrab.“Mau pulang sekarang?” tanya TanteLiza. Aku mengangguk sambil menerima bungkusan darinya.“Sendiri saja. Kelihatannya Lian lagiasik-asiknya ngobrol tuh, Tan.”“Masa, sih!” Tante Liza merapatkan butuhpada pembatas ruangan yang hanya bersekat kaca, sehingga terlihat jelas keakrabanantara Lian dan
POV HestiBerkutat dengan gunting, sisir dan alat-alat make up memangmenjadi keahlianku. Dimulai karena hobi, serasa apa yang kukerjakan enak-enak saja,tanpa beban, dan tanpa tekanan.Dari kecil, aku suka berkutat dengan peralatan make up milikkakak perempuanku. Semakin beranjak dewasa, semakin mahir menggunakan berbagaimacam alat dan berhasil memadupadankan macam-macam make up menjadi warna-warni yang pas.Selesai menamatkan SMA, seorang teman membawaku ke kota danmengajak masuk ke kursus salon.Berawal dari salon, saling mengenal teman yang satu hobi danprofesi, akhirnya dipertemukan dengan seorang pria yang menyita perhatian. MasMirza. Seorang lulusan sarjana muda. Saat itu, dia baru saja bekerja.Pertemuan yang intens antara aku dan mas Mirza membuathubungan kami semakin dekat. Jujur, aku menyukainya. Aku mengagumi semua yangada padanya. Dengan bermodalkan kejujuran, aku menyatakan cinta. Gayung punbersambut, mas Mirza menerima cintaku.Hari-hari aku lalui dengan suka cita. Sebab,
POV HestiHari-hari aku lalui dengan susah payah. Selain menjalanikehamilan yang ternyata merepotkan, aku juga harus menghadapi dua wanita yangsangat menyebalkan. Ibu yang sangat cerewet dan hobi mengomel dan Melati yangsuper boros dan sok cantik.Setiap hari, mereka membahas pakaian dan barang-barangbranded lainnya. Padahal menurutku, mereka tidak memiliki uang yang cukupuntuk membelinya. Kehidupan ibu dan Melati ditopang oleh mas Mirza dan sebuahkontrakan yang sudah usang, sepertinya.Aku kerap bersitegang dengan melati. Bibirnya cukup pedasjika berbicara. Namun aku memilih mengalah, karena menimbang, aku hanya menumpang di rumah ini. Untuk sementara waktu, selama mas Mirza mengurusipembelian ruko yang hampir selesai.Malang melintang, ternyata statusku sudah diketahui olehArmala. Setidaknya itu yang aku dengar dari perbincangan ibu dengan mas Mirza di sore itu.Saat mas Mirza menyambangi ruko yang akan dia beli,pemiliknya membatalkan dengan alasan bahwa rukonya tidak dijual untukme
POV ArmalaTangannya masih gemetaran saat aku menyodorkan segelas air putih. Aku meraih tisu, lalu membersihkan wajahnya yang basah oleh air mata.Wajahnya merah, tepatnya pada pipi sebelah kiri. Entah sudah berapa lama gadisini menangis. Sampai-sampai matanya pun terlihat membengkak.Tangisan Melati sedikit reda. Kutinggalkan dia untuk mengambil kotak P3K. Lengannya perlu diobati agar tidak terjadi infeksi.Dua cakaran meninggalkan bekas yang lumayan lebar. Kulitnya mengelupas sepanjang kira-kira dua centi. Dus garis lainnya Cuma terlihat samar.Setelah tangisnya mereda dan selesai mengobati lengannya, aku memberikan handuk dan menyuruhnya mandi.*Makan malam sudah siap. Aku pesankan dua nasi kotak dari aplikasi online. Terpaksa makan lagi demi menemani Melati.Dia tampak lahap sekali, seperti sudah lama menahan lapar.“Aku dari siang belum makan, Mbak. Malas sama suasana rumah.Ibu sering uring-uringan. Mbak Hesti ngamar terus dan gak mau membantu pekerjaan rumah. Akhirnya aku yang