POV HestiHari-hari aku lalui dengan susah payah. Selain menjalanikehamilan yang ternyata merepotkan, aku juga harus menghadapi dua wanita yangsangat menyebalkan. Ibu yang sangat cerewet dan hobi mengomel dan Melati yangsuper boros dan sok cantik.Setiap hari, mereka membahas pakaian dan barang-barangbranded lainnya. Padahal menurutku, mereka tidak memiliki uang yang cukupuntuk membelinya. Kehidupan ibu dan Melati ditopang oleh mas Mirza dan sebuahkontrakan yang sudah usang, sepertinya.Aku kerap bersitegang dengan melati. Bibirnya cukup pedasjika berbicara. Namun aku memilih mengalah, karena menimbang, aku hanya menumpang di rumah ini. Untuk sementara waktu, selama mas Mirza mengurusipembelian ruko yang hampir selesai.Malang melintang, ternyata statusku sudah diketahui olehArmala. Setidaknya itu yang aku dengar dari perbincangan ibu dengan mas Mirza di sore itu.Saat mas Mirza menyambangi ruko yang akan dia beli,pemiliknya membatalkan dengan alasan bahwa rukonya tidak dijual untukme
POV ArmalaTangannya masih gemetaran saat aku menyodorkan segelas air putih. Aku meraih tisu, lalu membersihkan wajahnya yang basah oleh air mata.Wajahnya merah, tepatnya pada pipi sebelah kiri. Entah sudah berapa lama gadisini menangis. Sampai-sampai matanya pun terlihat membengkak.Tangisan Melati sedikit reda. Kutinggalkan dia untuk mengambil kotak P3K. Lengannya perlu diobati agar tidak terjadi infeksi.Dua cakaran meninggalkan bekas yang lumayan lebar. Kulitnya mengelupas sepanjang kira-kira dua centi. Dus garis lainnya Cuma terlihat samar.Setelah tangisnya mereda dan selesai mengobati lengannya, aku memberikan handuk dan menyuruhnya mandi.*Makan malam sudah siap. Aku pesankan dua nasi kotak dari aplikasi online. Terpaksa makan lagi demi menemani Melati.Dia tampak lahap sekali, seperti sudah lama menahan lapar.“Aku dari siang belum makan, Mbak. Malas sama suasana rumah.Ibu sering uring-uringan. Mbak Hesti ngamar terus dan gak mau membantu pekerjaan rumah. Akhirnya aku yang
Usai mengurus surat-surat dan pembayaran, aku mengantarkan Melati pulang. Mantan adik iparku ini terlihat sangat senang sekali. Terlihat menyunggingkan senyum selama dalam perjalanan.Aku sampai di depan rumah mantan mertua. Melati berhasil akusalip di tikungan tajam, sehingga aku sampai lebih dulu. Dia berhenti di halaman, lalu turun untuk menemuiku.“Mbak langsung pulang. Mau ke rumah mama, ada janji mau ngajakZaki jalan-jalan soalnya,” ucapku.“Iya, Mbak. Makasih ya, Mbak.”Aku mengangguk.“Kuliahnya yang rajin, jangan keluyuran.” Diapun mengangguk.Aku melambaikan tangan, melirik sekilas ke teras, di mana Hestiberdiri sambil menggendong bayinya dan seorang lagi yang langsung masuk ketika aku datang. Mas Mirza.**Pagi-pagi sekali aku harus segera ke kantor. Lian baru saja menelpon kalau ada keadaan darurat di kantor.Biasanya Lian akan menjemputku, tapi kali ini aku memilih berjalankaki saja. Aku berjalan melewati lorong apartemen. Tidak panjang sebenarnya, hanya butuh dua menit.
“Kenapa tertawa? Gak merasa begitu?”“Iya, sih! Mana tau boleh lebih kan.”Mendadak, tenggorokanku seperti tersekat. Apa sih maksudnya?“Aku ke toilet sebentar.” Lian berdiri dan pergi.Selalu begini. Setiap kali selesai menyentil sesuatu yangmembingungkan, Lian pasti langsung pergi.*Tuntutan peran membuat aku dengan mas Mirza kembali dekat.Dalam artian sering berinteraksi dalam hal pekerjaan.[Dek, bisa makan siang barengan?]Sebuah pesan masuk saat aku dan Lian sudah sampai di depan rumahmama.[Aku sudah pulang.]Balasan yang kutulis pada pesan itu.[Oke.]“Siapa?”Tiba-tiba Lian sudah berdiri di belakangku.“Biasa,” jawabku.“Masih suka basa-basi rupanya.” Usai berucap, dia langsungnyelonong masuk rumah. Terdengar pekikanZaki menyambut kedatangan Lian. Seperti itu mereka ketika saling bertemu.Lian kerap uring-uringan usai aku berbalas pesan denganMirza. Jika sudah begitu, aku jadi ingat ucapan tante Liza. Benarkah wanita dibalik obrolan itu adalah aku? Lalu, kenapa Lian masih be
POV Lian“Li, kalau aku duluan nikah nanti, kamu gak akan kesepiankan?” tanyanya sambil menjinjing tas ranselnya karena malas mengenakan dipunggung. Begitulah kebiasannya. Dia bilang, punggungnya sakit kalaumenggendong buku banyak-banyak. Tapi, menurutku berlebihan, karena menggendong itu lebih ringan daripada dijinjing. Ah,entahlah. Dia memang aneh.“Kamu mau nikah muda?”Seketika, dia melotot. Tangan kiri bergerak cepat menyambarlenganku, lalu bergelayut di sana. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai,melambai diterpa angin.“Bukan, ih! Seandainya saja.” Dia cemberut menunjukkanprotesnya. Dia menurunkan gulungan baju putih lengan panjangnya sampai terlihat tulisan “XI IPA”.“Jangan. Nanti kita nikahnya barengan,” kelakarku sambilmengeluarkan motor besar yang terparkir. Dia bersungut-sungut kesalmenanggapi candaanku.Setelah itu, aku dan Armala melaju pulang. Meninggalkansekolah yang sudah hampir tiga tahun kusambangi. Mala satu tingkat dibawahku.Tapi, hanya sebatas kelas saja. Ke
Sesampainya di rumah bercat putih itu, aku disambut dengan pemandangan yang mencengangkan. Tenda dan dekorasi pengantin sudah terpasang rapi. Bahkan meja dan kursi-kursi sudah berjajar sempurna.Mala memanggil dari kejauhan. Dia tampak tersenyum, bahkanbinar bahagia terpancar di sana.“Akhirnya aku nikah lebih dulu, Li.”Senyumku hilang seketika. Dia memelukku dengan sangat haru,seakan-akan menunjukkan bahwa dia telah menang dariku.Ya, ya ... sudahlah. Memang dia pemenangnya. Pemenang di setiap titik penting dalam setiap cerita hidupku.Aku bahagia melihatnya, meskipun harus aku tutup-tutupidengan bungkusan senyum semu.*Lagi-lagi hanya mama yang mengerti aku. Ternyata mama sudah menangkap ketidakberesan perhatianku pada Mala sejak kecil. Tanpa bercerita, mama mengetahui semua yang kurasakan. Namun, apa daya takdir berkata lain. Tak dapat ku buktikan apa yang menjadi harapan terbesarku pada Mala. “Mama tau, kamu menyukainya bukan karena saudara. Mama jugatau, bahwa kamu sangat ter
Sudah dua jam aku berdiam di sini. Menemani Mala dan Zaki di taman. Tak masalah jika pergi dengan mereka berdua. Masalahnya, mereka pergi untuk menemui Mirza. Kesal itu sudah pasti. Membiarkan Mala pergi berdua dengan Zaki lebih mmebuatku khawatir. Mirza memang papanya Zaki, tapi aku tetap saja tidak mempercayainya. Mungkin Mala melihat kekesalanku, sehingga segera mendekati Zaki dan mengajaknya pulang. Pun hari sudah sore. Sudah sewajarnya jika Zaki pamit pada papanya. Mala dan Zaki semakin mendekat padaku, kemudian, aku membawa mereka menjauhi taman. Selama perjalanan, aku hanya diam saja. Tak ada percakapan, kecuali antara aku dengan Zaki. “Kamu kenapa, Li? Apa aku punya salah?” tanyanya saat berhenti di depan rumah tante Widya. Zaki turun lebih dulu, sehingga kami bisa berbicara lebih leluasa. “Gak ada,” jawabku sambil melepas seatbelt, lalu menyusul Zaki. Kalau Mala masih juga tak mengerti, berarti dia tak peka. Masalah perasaan, sepertinya tidak perlu dijelaskan sedetail
“Serius, Li?” tanyanya masih tak percaya. “Iya,” jawabku singkat. Aku menunjuk ke depan agar Mala segera berjalan. Dua kursi saling berhadapan. Satu ruangan ini, hanya ada dua kursi yang kami duduki. Kafe dengan gaya Eropa ini sangat mewah, terlihat dari isi dan warna keemasan yang mendominasi ruangan. Seorang waiters datang, lalu menurunkan dua minuman ke hadapanku dan Mala. Lalu diikuti seorang lagi yang menyusul membawakan hidangan. “Li.” Mala menatapku lembut, seperti menuntut penjelasan. “Makan dulu,” balasku sambil menunjuk makanannya. Kami menikmati hidangan tanpa bersuara. Aku sengaja memberi jeda pada Mala agar dia menebak banyak hal tentangku, tentang malam ini dan tentang semua yang selama ini aku lakukan untuknya. Mala tidak menghabiskan makanan. Sepertinya, rasa penasaran sudah membuat kesabarannya menipis. “Li, jangan biarkan aku keburu mati penasaran,” ucapnya. Mala memang begitu, kenapa sih, dia tak bisa jaim barang sedikit saja? “Aku gak akan membiarkan kamu