POV Lian“Li, kalau aku duluan nikah nanti, kamu gak akan kesepiankan?” tanyanya sambil menjinjing tas ranselnya karena malas mengenakan dipunggung. Begitulah kebiasannya. Dia bilang, punggungnya sakit kalaumenggendong buku banyak-banyak. Tapi, menurutku berlebihan, karena menggendong itu lebih ringan daripada dijinjing. Ah,entahlah. Dia memang aneh.“Kamu mau nikah muda?”Seketika, dia melotot. Tangan kiri bergerak cepat menyambarlenganku, lalu bergelayut di sana. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai,melambai diterpa angin.“Bukan, ih! Seandainya saja.” Dia cemberut menunjukkanprotesnya. Dia menurunkan gulungan baju putih lengan panjangnya sampai terlihat tulisan “XI IPA”.“Jangan. Nanti kita nikahnya barengan,” kelakarku sambilmengeluarkan motor besar yang terparkir. Dia bersungut-sungut kesalmenanggapi candaanku.Setelah itu, aku dan Armala melaju pulang. Meninggalkansekolah yang sudah hampir tiga tahun kusambangi. Mala satu tingkat dibawahku.Tapi, hanya sebatas kelas saja. Ke
Sesampainya di rumah bercat putih itu, aku disambut dengan pemandangan yang mencengangkan. Tenda dan dekorasi pengantin sudah terpasang rapi. Bahkan meja dan kursi-kursi sudah berjajar sempurna.Mala memanggil dari kejauhan. Dia tampak tersenyum, bahkanbinar bahagia terpancar di sana.“Akhirnya aku nikah lebih dulu, Li.”Senyumku hilang seketika. Dia memelukku dengan sangat haru,seakan-akan menunjukkan bahwa dia telah menang dariku.Ya, ya ... sudahlah. Memang dia pemenangnya. Pemenang di setiap titik penting dalam setiap cerita hidupku.Aku bahagia melihatnya, meskipun harus aku tutup-tutupidengan bungkusan senyum semu.*Lagi-lagi hanya mama yang mengerti aku. Ternyata mama sudah menangkap ketidakberesan perhatianku pada Mala sejak kecil. Tanpa bercerita, mama mengetahui semua yang kurasakan. Namun, apa daya takdir berkata lain. Tak dapat ku buktikan apa yang menjadi harapan terbesarku pada Mala. “Mama tau, kamu menyukainya bukan karena saudara. Mama jugatau, bahwa kamu sangat ter
Sudah dua jam aku berdiam di sini. Menemani Mala dan Zaki di taman. Tak masalah jika pergi dengan mereka berdua. Masalahnya, mereka pergi untuk menemui Mirza. Kesal itu sudah pasti. Membiarkan Mala pergi berdua dengan Zaki lebih mmebuatku khawatir. Mirza memang papanya Zaki, tapi aku tetap saja tidak mempercayainya. Mungkin Mala melihat kekesalanku, sehingga segera mendekati Zaki dan mengajaknya pulang. Pun hari sudah sore. Sudah sewajarnya jika Zaki pamit pada papanya. Mala dan Zaki semakin mendekat padaku, kemudian, aku membawa mereka menjauhi taman. Selama perjalanan, aku hanya diam saja. Tak ada percakapan, kecuali antara aku dengan Zaki. “Kamu kenapa, Li? Apa aku punya salah?” tanyanya saat berhenti di depan rumah tante Widya. Zaki turun lebih dulu, sehingga kami bisa berbicara lebih leluasa. “Gak ada,” jawabku sambil melepas seatbelt, lalu menyusul Zaki. Kalau Mala masih juga tak mengerti, berarti dia tak peka. Masalah perasaan, sepertinya tidak perlu dijelaskan sedetail
“Serius, Li?” tanyanya masih tak percaya. “Iya,” jawabku singkat. Aku menunjuk ke depan agar Mala segera berjalan. Dua kursi saling berhadapan. Satu ruangan ini, hanya ada dua kursi yang kami duduki. Kafe dengan gaya Eropa ini sangat mewah, terlihat dari isi dan warna keemasan yang mendominasi ruangan. Seorang waiters datang, lalu menurunkan dua minuman ke hadapanku dan Mala. Lalu diikuti seorang lagi yang menyusul membawakan hidangan. “Li.” Mala menatapku lembut, seperti menuntut penjelasan. “Makan dulu,” balasku sambil menunjuk makanannya. Kami menikmati hidangan tanpa bersuara. Aku sengaja memberi jeda pada Mala agar dia menebak banyak hal tentangku, tentang malam ini dan tentang semua yang selama ini aku lakukan untuknya. Mala tidak menghabiskan makanan. Sepertinya, rasa penasaran sudah membuat kesabarannya menipis. “Li, jangan biarkan aku keburu mati penasaran,” ucapnya. Mala memang begitu, kenapa sih, dia tak bisa jaim barang sedikit saja? “Aku gak akan membiarkan kamu
Selama perjalanan pulang, aku sengaja tidak membuka suara.Rasain, memangnya enak dibuat penasaran.“Kapan-kapan aku ajak ke kafe lainnya,” ucapnya setelahsampai di apartemen.“Buat apa?” balasku ketus.“Biar tau perbedaan macam-macam kafe,” jawabnya.Aneh. Dasar manusia teraneh!“Gak usah,” jawabku sangat kesal.Aku langsung turun dan pergi meninggalkan Lian.“Kurang kerjaan, menyewa kafe semahal itu, Cuma begitudoang. Ya ampun, Lian!” Aku menggerutu.“Hei, tunggu.” Panggilannya terpaksa membuatku menghentikanlangkah.“Sudah malam. Pulanglah!” perintahku. Lagian, untuk apa dia disini?Lian berhasil membuatku kesal. Rasa kecewa memenuhi dada. Untuk apa aku kecewa? Apa alasannya coba? Dia bukan siapa-siapa. Bukan pacar, apalagi calon suami.Hei, bukankan itu kelihatan lucu? Ya ampun Mala, ada apadenganmu? Masih waras kan?“Aku antar sampai depan pintu.”Permintaannya membuatku sesak nafas. Andai saja bisamelarang. Aku ingin dia pergi Sekarang juga.“Gak usah,” balasku.Aku langsung berl
“Kalau kamu mengerti, mestinya peka. Sekarang, kamu aku tuntununtuk paham, Mas. Jawab pertanyaanku. Setelah semuanya berakhir,berarti baru timbul kedaranmu kan?”Aku menjeda, sengaja ingin mendengar jawabannya langsung.“Iya, maaf.”“Bagiku gak penting kata maaf itu. Terus, kalau kamu sadar,berati sadar juga apa-apa kesalahanmu kan?”Aku kembali menjeda. Menunggu lagi jawabannya.“Iya.”“Maka pulanglah. Rawat anak perempuanmu lebih baik dariZaki. Agar kehidupannya kelak bisa terjamin. Lalu didiklah istrimu sepertikeinginanmu. Entah apa yang menjadi hobinya, semoga bisa kamu tunaikan dengan segera. Jika kamu melakukan itu, berarti kamu benar-benar menyesal. Itu yang namanya peka padakeadaan.”Aku menyambar tas, bergerak lebih cepat agar bisa segera menghindarinya.“Dek.”Mas Mirza mengejar. Langkahnya yang panjang bisa cepatmenyusulku. Baru membuka handel pintu, tiba-tiba tangan mas Mirza menyentakkuhingga aku jatuh dalam dadanya yang bidang.“Apa-apaan, sih. Lepaskan!” Aku menolaknya
Aku memaksa pergi meskipun Lian memanggil. Tak ada lagi yangperlu dijelaskan. Baik aku dan Lian, memang seharusnya punya etika untuk menjagajarak. Meskipun saudara, tak seharusnya menjadikan dia sebagai tumpuanpenyelesaian setiap masalah yang kutanggung. Di sisi kanan dan kiri, terlihat para karyawan berbisik. Akutak perlu membungkam mulut mereka. Untuk apa? Biarlah waktu yang akan membuktikannya. * Aku menyaksikan pemilik tubuh atletis itu ke luar dari ruanganpak Anton. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan. Apakah pertengkaran dengan masMirza berbuntut panjang? Apakah dia mendapat tuntutan karena sudah meninggalkanbekas memar di pipi kiri mantan suamiku? Aku menemui pak Anton sesaat setelah Lian beranjak pergi. Aku rasa, pria bertubuh tambun ini mengerti maksud kedatangankuke ruangannya. “Mau menyelidiki atau langsung mau tanya-tanya?” Belum juga sempat bicara, pak Anton sudah menyodorkan dua pilihan. Sepertinya, kedatangankumemang mudah ditebak. “Menyelidiki apa, Pak?” Aku p
POV AuthorPOV AuthorManusiawi jika dua orang yang berselisih paham, lalu bertemukembali maka seperti ada batas yang sengaja untuk tidak dilampaui. Jangankan sekadarbicara, menatap saja sungkan.Lian bergeming. Mala lebih menikmati angin sepoi-sepoi yang masuk melalui celah jendela. Perjalanan menuju arah luar kota membuat Mala merasa sayang jika mengabaikan udara bersih itu.Lian membiarkan Mala mendongak ke luar, sesekali menunjuk hamparan sawah yang mulai terlihat. Perlahan, suasana mencair dengan sendirinya. Keduanya saling melempar tanya, lalu tertawa.“Masih gak mau bilang ke mana tujuan kita?” tanya Mala.“Gak surprise, dong.”“Oh. Jadi, sebenarnya surprise atau-““Anggap saja surprise. Nikmati saja perjalanannya. Toh, bakal sampai ke tujuan kok. Asal sabar,” ucap Lian. Mala merasa tersindir. Iamendengus.“Gak ada niatan nyindir. Kalau mau protes, ngomong aja. Ditahan bikin sakit perut.” Lian kembali berucap. Lagi-lagi, Mala mendengkus.“Malas menanggapi. Lihat saja surprise-n