Mempertahankan Hak "Apakah keahlianmu memang hanya sebatas maling barang milik wanita lain?"Wanita yang mengurai rambut panjangnya itu semakin tersudut dengan pertanyaan Mala. Tubuhnya beringsut mundur dari meja rias yang dari tadi menjadi perhatiannya. Kotak kecil berisi pernak-pernik milik Mala beserta isinya nampak berserak di atas karpet bulu yang digunakan sebagai alas meja rias di kamarnya. Rita berjongkok di depan benda-benda kecil di depannya dengan wajah yang tertunduk malu. Kalung milik Mala yang diberikan oleh Bayu sebagai hadiah ulang tahunnya pun belum sempat dilepaskan oleh Rita dari leher jenjangnya. "Ma-af, saya tak sengaja." "Memasuki kamar pribadi orang lain kau bilang tak sengaja? Memasuki rumah tangga orang lain pun kau anggap tak sengaja?" tanya Mala dengan tatapan mengintimidasi. Matanya tak lepas sedikit pun dari sosok wanita di depannya. Rita memiliki kecantikan yang unik, tak ada kulit putih bak porselen yang dimiliki olehnya. Hanya sepasang mata bulat de
"Apa perlu kuulangi perkataanku yang kemarin? Kau pulanglah ke daerah asalmu. Tinggalkan semua yang anakku pernah berikan. Anak lelaki Bayu yang lebih berhak berada di sini. Lagi pula, apakah kau tak tahu malu? Bayu lebih memilih Rita di detik-detik akhir hidupnya. Jangan berkeras hati terhadap sesuatu yang bukan hakmu!" Kembali wanita itu berteriak. "Istri siri dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan bawah tangan tak berhak mendapatkan apapun dari harta suamiku, Bu. Apakah kau lupa, Mas Bayu membangun rumah ini setelah pernikahan kami berlangsung. Itu artinya aku pun turut andil di sini. Kau mau berteriak lagi untuk memanggil orang-orang dan berdrama seperti kemarin? Yakin mereka akan membelamu?Entah bagaimana kisah wanita ini dengan suamiku di masa lalu. Nyatanya akulah istri sah yang berada di sisi suamiku saat pembangunan rumah ini dilakukan. Artinya aku dan anakku yang berhak. Siapa dia masuk ke dalam istana yang darah dan cucuran keringatkulah yang digunakan untuk memb
Menepi Mala menata baju-baju yang sudah mulai dipindahkan ke rumah yang akan ditinggalinya berdua dengan Kinanti. Meski nanti dia tak bisa menitipkan anak semata wayangnya pada Bude Rumi, tetapi dia merasa semuanya akan lebih baik daripada hidup di sekitar mertuanya. Dia yakin akan mendapatkan kenyamanan saat berada di rumah ini. Mala sudah mencari day care yang cocok untuk Kinanti nantinya. Dia akan menjemput anak itu sepulang dari tempatnya mengajar. Mala hanya memilih beberapa barang yang memang memungkinkan dia bawa dan letakkan di salah satu sudut di rumah ini. Ukurannya yang lebih kecil membuatnya harus merelakan sebagian besar tak bisa tersangkut kesana. Lagi pula dia tak ingin terlalu terikat dengan pernak-pernik yang membawanya pada ingatan buruk mengenai suaminya. Sebuah foto dengan bingkai warna putih polos dipasang di kamar tidurnya. Hanya foto Kinanti sendirian sedang merayakan ulang tahunnya kedua yang dia bawa dari rumah itu. Selebihnya tak ada. Bahkan dia sudah m
"Kamu sudah yakin melepaskan rumah itu?" tanya Karina saat Mala menemuinya di butik milik wanita itu. Semenjak menikah Karina memang diminta untuk resign dari pekerjaannya. Beruntung niatnya membuka butik sendiri agar memiliki waktu yang lebih fleksibel disetujui oleh suami dan keluarganya. Mala mengangguk. Ditatapnya gaun-gaun pesta yang dijejer rapi di ruangan berukuran delapan kali tujuh meter di lantai dua ruko milik Karina. Terdengar suara embusan napas dari wanita di depannya. "Aku mendukungmu. Lekas pergi, setidaknya kamu bisa melepas sedikit bebanmu saat mengingat rumah itu." Karina menyesap kopinya perlahan. Aroma kopi menguar di ruangan itu. "Kapan kamu meninggalkan rumahmu?" tanya Karina. "Lusa. Rencana hari ini ke rumah di Golden, aku harus memastikan barang-barang apa yang akan kubawa dan kutinggal nantinya.""Yang jelas kenanganmu dengan Bayu harus kau tinggal seiring kepergianmu dari sana. Ingat Mala. Kau sangat berhak hidup lebih baik bersama Kinanti. Berjanjilah u
"Dimana kau, Mala? Mengapa rumah terkunci rapat? Dan wanita gila pengasuhmu itu pun tak ada di rumahnya!" teriak Bu Rahayu pada menantunya via panggilan telepon. Mala menjauhkan ponselnya dari telinga. Perjalanannya menaiki kereta bersama Kinanti sudah hampir membawanya ke Stasiun Purwokerto. Rumah yang sudah beralih tangan pun resmi ditinggalkannya dua hari yang lalu. Pantas saja rumah itu sudah dikunci rapat, anak dan menantu Bu Haryo belum menempatinya karena masih dinas di luar kota. Jika pun rumah itu berpenghuni, sudah dipastikan mertua Mala tak bisa melenggang seenaknya sendiri seperti kebiasannya yang sudah-sudah. "Lekas pulang, buka pintu gerbangnya. Kasihan Alvaro sudah menunggu lama. Anak Bayu kepanasan!" Anak Bayu? Rasanya Mala begitu muak mendengar ucapan mertuanya. Hatinya kebas dan tak peduli dengan apapun yang menimpa anak itu. Terkesan jahat, tapi lagi-lagi kesalahan orang tuanya membuat Mala memilih bersikap demikian. "Mala, kau dengar? Alvaro kepanasan!" Te
Mala memilih memusatkan pandangannya pada ponsel di tangan kirinya. Dia memesan taksi online yang akan membawanya ke rumah sang nenek yang memang tak begitu jauh dari stasiun. Mala meminta izin pada driver untuk membuka jendela mobil saat melewati jalanan. Sesekali dia tersenyum saat tempat-tempat yang dia lewati mengisahkan cerita tentangnya di masa lalu. Sekolah dasar tempatnya menimba ilmu, dimana kaki polosnya pernah dengan begitu rutin menapaki jalanan berbatu ke gedung tersebut. Bukan tak punya sepatu, tetapi karena dia ingin sepatunya cepat rusak jika digunakan terus-menerus. Dia memilih memakainya saat sudah di sekolah sehingga sepatu yang dibeli setahun sekali itu tak lekas rusak. Banyak sekali perubahan yang sudah terjadi di tempat masa lalunya. Villa dan Hotel yang dulu jarang kini bermunculan layaknya cendawan di musim hujan. Mala masih ingat gedung hotel lima lantai itu dulunya adalah kebun-kebun milik petani yang kini berubah menjadi bangunan yang kokoh. "Sudah sampa
Mala terpaksa pulang lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukannya di awal. Bude Rumi memberi kabar yang sangat membuatnya terkejut. Dia mengatakan bahwa mertua Mala serta anak-anaknya memaksa meminta kunci rumah pada keluarga Pak Haryo. Entah dimana muka Mala pada keluarga bersahaja itu. Bagaimana mungkin rumah yang sudah sah beralih tangan justru dijadikan ajang rebutan oleh keluarga mendiang suaminya. Mala sengaja langsung menuju rumah Bude Rumi setelah wanita itu mengabarkan bahwa kondisi makin tak karuan. Mala sudah mempersiapkan diri dengan baik. Dia sudah punya gambaran apa yang sedang terjadi di rumah wanita yang selama ini sudah menganggapnya keluarga. Ada rasa tak enak pada wanita itu. Sekian kali harus direpotkan dengan urusan Mala dan keluarganya. "Wah, habis liburan?" Suara mertua Mala terdengar sumbang di telinga. Mala hampir membelalakkan mata setelah melihat kondisi ruang tamu rumah Bude Rumi yang penuh dengan kardus barang. Bahkan koper yang jumlahnya lebih dari
"Apakah keluargamu juga bergantung pada pemberian suamiku? Bukankah usaha ayahmu mengalami gulung tikar belum lama ini? Lucu sekali suami kita itu. Entah pantas kukatakan bodoh atau tidak, dia benar-benar memalukan. Dibuang karena dianggap belum mapan, lalu saat karirnya naik dengan bodohnya dengan sangat rela menerima barang yang sudah dibuang oleh pemilik sebelumnya.""Mala! Jaga ucapanmu!" Bu Rahayu berteriak histeris. Dia tak terima dengan ucapan Mala pada anak dan menantu kesayangannya. "Kukatakan jangan berteriak, Bu. Ini bukan tempat kita." Mala menegakkan punggungnya. Tak peduli kilatan sakit hati yang terpancar dari mata Rita."Aku tahu kau dan keluargamu mencari mangsa lain setelah laki-laki yang sudah kau hinggapi itu memilih wanita lain yang lebih memuaskan. Ayahmu bertemu Mas Bayu saat tak sengaja suamiku mampir di restoran keluarga kalian yang saat itu hampir bangkrut. Dengan menjual kisah melankolis dia menebar jaring untuk memperangkap suamiku agar memakan umpan berup