"Hadirmu seperti silir angin yang tentramkan hatiku. Basuh semua luka ini. Namun, aku terlalu takut untuk bahagia, karena dia tak pernah tertulis di garis tanganku."===============Andai kematian itu bisa diminta, maka Lintang akan sukarela menjadi orang yang pertama melakukannya. Andai bunuh diri itu bukan sebuah perbuatan laknat, maka wanita itu sudah melakukannya sejak dulu. Andai ... benak wanita itu kini dipenuhi banyak perandaian. Lintang berjalan tertatih menyusuri trotoar. Langkahnya tak tentu arah, tangannya menyeret koper terasa lemah. Kebakaran yang menghanguskan rumah kedua orang tuanya menghancurkan hati dan harapan Lintang. Menurut tetangga sekitar, kebakaran itu terjadi akibat korsleting listrik dari gudang mebel yang berada di sebelah rumahnya. Api dengan cepat membakar karena jalan gang yang dilalui cukup sempit untuk dilalui mobil pemadam kebakaran, hingga petugas kesulitan memadamkan api. Personel DAMKAR itu harus mengambil jalan memutar agar bisa mencapai rumah L
"Bersamamu aku begitu mudah mengulas senyum. Dada ini juga berdebar tak tahu waktu. Rasa apa ini? Bisa kau jelaskan?===============Gemericik air menarik perhatian Lintang. Wanita itu menoleh ke arah air mancur yang berada di samping rumah. Sebuah kolam berbentuk elips ada di sana, menampung curahan air yang tumpah. Hiasan batu alam dan karang mempercantik bagian kolam. Tumbuhan menjalar dibiarkan tumbuh liar, tetapi tetap rapi. Sepertinya kolam itu benar-benar terawat. Ikan yang berenang di dalam air yang jernih menyegarkan mata Lintang, tak urung seulas senyum dia ukir di bibirnya."Lagi apa?" Suara Satya menghamburkan kesenangan yang baru Lintang kumpulkan. Wanita itu tidak langsung berbalik. Dia memejamkan kelopak mata kuat sambil menekan dahinya untuk menghadapi pria tersebut. Tentu saja, dia merasa sangat malu dan bodoh karena ketahuan baru saja berbohong. Mana dia tahu rumah yang diakui sebagai rumahnya adalah milik Satya. Pantas saja pria itu seperti sangat mengenal lokasi p
"Kaca yang retak tak perlu kuat kau genggam. Karena dia akan pecah dengan sendirinya. Pun aku, telah hancur oleh harapanku sendiri."============Lintang menuruni anak tangga perlahan menuju ruang makan. Dia belum terlalu mengenal bagian rumah Satya. Rumah itu terlalu besar untuk ditinggali seorang diri saja. Terdiri dari dua lantai di mana kamarnya dan Satya berada di lantai kedua. Awalnya Lintang heran bagaimana cara pria tersebut turun naik dengan mudah, mengingat kondisinya yang berada di kursi roda. Namun, Erna--asisten rumah tangga--menjelaskan bahwa di kamar pria itu terdapat lift pribadi yang akan mempermudah mobilisasinya.Begitu menapak di anak tangga terakhir aroma roti bakar mengelitik penciuman Lintang. Dia hapal betul selai apa yang dipakai. Aroma kacang dan coklat membuat perut wanita itu meronta minta diisi. Perlahan melangkah ke ruang makan, Lintang melihat Satya telah duduk di sana dengan koran di tangan, sambil sesekali menggigit roti bakarnya. Lintang hanya mampu
"Aku tak ingin menjadi malammu atau senjakala. Hanya ingin menawarkan bahu untukmu bersandar agar kau merasa nyaman."============="Terima kasih atas bantuanmu."Satya mengakhiri sambungan teleponnya saat mendengar lenguhan dari mulut Lintang. Pria itu menggerakkan kursi rodanya mendekati brankar tempat wanita itu terbaring lemah. Dia tak habis pikir kenapa wanita itu menggila. Lintang yang pergi begitu saja dari pertemuan membuat Satya heran. Dia menghubungi Mang Udin yang menunggu di dalam restoran untuk mengikuti Lintang. Laporan pria paruh baya itu membuat Satya mengakhiri pertemuan bisnisnya lebih cepat. Dengan bantuan Mang Udin, mereka mendobrak pintu toilet yang dijadikan Lintang untuk melampiaskan kegilaannya. Wanita itu tidak tahu jika restoran itu milik Satya, hingga tidak akan ada gugatan terhadap kekacauan yang terjadi."Di mana aku ....?"Lintang menekan kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Matanya masih kabur untuk melihat di mana dia berada. Aroma obat-obatan menye
"Kau adalah seseorang yang kuingin menjadi masa depanku. Tetapi, masa lalu begitu kuat mengikatku pada kenangan. Bersabarlah, Sayang ... bantu aku menujumu."================Lintang menyeduh kopi di dalam cangkir bermotif hati dengan air panas, lalu menuang sisa air tersebut ke dalam mug yang berisi coklat beraroma teh hijau. Harum kopi dan coklat memenuhi dapur minimalis milik Satya. Meski kecil, tetapi dapur itu memiliki fasilitas yang lengkap dan modern. Lintang berpikir dia akan betah berlama-lama di sana, memasak berbagai macam kuliner dan kue."Non Lintang, maaf. Bibi ketiduran sampai harus bikin minuman sendiri." Seorang pelayan yang bernama Erna tergopoh mendekati Lintang dengan raut bersalah.Lintang menoleh dan mengulas senyum lebar. "Ngga papa, cuma bikin minum aja. Gampang ini.""Non Lintang 'kan baru sembuh. Saya diwanti-wanti sama Tuan muda buat jagain, Non," balas Erna masih dengan raut penyesalan.Lintang berdecak pelan. Satya terlalu berlebihan memperlakukannya. Pada
"Maaf, aku tidak akan pernah kembali memungut keping kenangan yang kau hancurkan. Biar saja dia lebur, lalu hilang ditiup angin."================Satya Bumantara, SH. Nama yang tersemat pada pria beriris abu-abu itu. Dia itu bertindak sebagai pengacara Lintang. Tahapan pertama yang harus dilalui adalah mediasi yang diajukan pihak Arsen. Entah apa maksudnya. Bukankah mereka telah sepakat berpisah baik-baik, lalu mengapa harus dipersulit dengan mediasi segala.Lintang hanya diam saat sesi mediasi berlangsung. Wanita itu mendengarkan dengan seksama nasihat yang disampaikan petugas pengadilan. Akan tetapi, tak satu pun nasehat dan saran itu diterimanya. Tekad wanita itu sudah sangat bulat, bodoh jika dia terus bertahan dalam pernikahan penuh kesakitan, hanya akan menghadirkan luka lain yang kemudian bernanah, lalu membusuk. Dia juga mengacuhkan tatapan lekat Arsen, pria itu terkejut melihat kehadirannya di pengadilan bersama Satya. Ada binar di mata sang pria. Lintang paham tatapan maca
"Engkau perlahan menyusup ke dalam dada, mengukir jejakmu di sana. Aku bisa apa jika hati dan pikir sepakat menjadikanmu raja di sana."===========Detik, menit, jam berlalu dengan cepat. Waktu seolah tak mau berhenti meski sejenak. Dia berotasi sesuai kodratnya, meninggalkan manusia yang masih sibuk berleha-leha dengan kesenangannya. Lupa dengan kehidupan yang sebenarnya, hidup abadi di akhirat nanti.Lintang tidak lupa hal itu. Setiap hari dia mencoba memperbaiki diri. Lebih sering mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Jiwa. Wanita itu sadar, mungkin saja semua kemalangan yang terjadi tidak lepas dari kelalaian dia sendiri. Terlalu sibuk mengejar dunia, terlalu mencintai manusia, hingga terkadang melupakan Dia yang memberi kesuksesan. Mungkin dia terlalu jumawa dan terlalu percaya diri, hingga Tuhan menegur dengan cara seperti ini. Lintang lebih memperpanjang sujudnya, memperlama zikirnya, dan menguntai doa lebih khusuk dari sebelumnya. Sering tangis dan sedu sedan mengiringi permoh
"Kepercayaan itu seumpama kertas putih. Sekali dia tertumpah noda, selamanya tidak akan disebut putih lagi."===========Satya menatap ke luar jendela apartemen. Kedua tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Dia tidak mengira kepercayaan yang selama ini dia beri dikhianati begitu saja. Dia bukan pria yang mudah jatuh cinta, tetapi jika sudah menjatuhkan pilihan, Satya akan memperjuangkannya hingga akhir.Anika. Wanita yang dia cintai melebihi dirinya sendiri. Berkulit putih dengan fitur wajah nyaris sempurna itu memikat hatinya sejak tiga tahun yang lalu, butuh satu tahun bagi Satya untuk meyakinkan hati. Hingga kemudian dia meminta sang wanita menjadi miliknya. Tidak ada yang aneh dalam hubungan mereka, meski setahun terakhir harus menjalani hubungan jarak jauh. Kepercayaan selalu jadi modal utama bagi Satya.Hingga hari ini. Tepat di perayaan pernikahan mereka yang kedua, Satya harus menelan pil pahit. Bermaksud memberi kejutan untuk sang pujaan, justru dia mendapati istriny