Jovanka pergi keluar setelah berpamitan pada Razka. Dia berdiri di tepi untuk mencari taksi yang sudah dia pesan. Jovanka berbohong pada Razka dan Farel, taksi yang ia pesan memang belum datang. Jovanka hanya mencari alasan untuk bisa segera pergi dari kantor Razka.“Apakah masih lama?” gumam Jovanka. Dia sesekali melirik handhphone-nya untuk melihat apakah driver taksi itu menghubunginya.Tidak jauh dari tempatnya, seseorang mengawasi gerak gerik Jovanka.Dia Aron, kekasih gelap Savira yang ditugaskan untuk menghabisi Jovanka. Dia berada di sebuah truck yang terpangkir di pinggir jalan. Aron sesekali menyesap gulungan putih di tangannya. Pandangannya tak lepas sedikit pun dari Jovanka. Paras perempuan itu membuatnya terpana. Tubuhnya yang semampai benar-benar menggoda. Seringai muncul di bibir Aron. Ia tidak sabar untuk menikmati tubuh perempuan itu.“Baiklah, kita akan selesaikan ini segera.”Aron menyalakan mesin trucknya, dan melajukannya ke arah Jovanka.Jovanka tidak sadar saat
Savira benar-benar marah saat mengetahui jika rencananya untuk membuat Jovanka celaka gagal. Ia melampiaskan amarahnya pada Aron yang memang ia tugaskan untuk melakukan pekerjaan itu.“Kenapa bisa gagal?” tanya Savira geram. Padahal ia sudah memberikan bayaran yang lumayan, tapi hasil yang ia dapatkan justru seperti ini. Savira jadi ragu, apa dia bisa mengandalkan Aron?“Perempuan itu diselamatkan oleh seseorang.” Aron membuang puntung rokoknya di asbak dengan lemparan kasar. Pria itu mendengus, “Jangan hanya bisa menyalahkan ku jika kamu sendiri hanya bisa duduk manis dan menunggu hasil kerjaku.”“Itu karena aku sudah membayarmu,” tukas Savira. “Sudah sewajarnya kamu memberikan ku hasil pekerjaan yang memuaskan. Tapi apa ini? Kamu justru gagal disaat aku hanya memberimu tugas kecil.”“Savira.” Aron berdiri dan mendekati Savira. Dia menatap perempuan yang menjadi kekasihnya itu dengan ekspresi dingin. “Jangan membuat ku kehilangan kesabaran. Jika kamu terus membuat aku marah, mungkin
Razka menemui Ayahnya di ruang kerja di rumah mereka. Pria itu menghubunginya siang tadi. Dia berkata ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Razka tidak tahu apa yang hendak Danial bicarakan, Razka tidak akan mendesak, ia akan menunggu sampai Ayahnya itu sendiri yang menjelaskan.“Jadi, ada apa?” Razka yang baru duduk di kursinya segera bertanya pada Danial tentang alasan mengapa ia dipanggil ke sini. Tidak mungkin hanya untuk menceramahi Razka.“Sesuatu telah terjadi pada adikmu.” Danial mengalihkan sejenak perhatiannya dari pekerjaannya. Saat ini ia harus bicara dengan serius bersama putranya. Danial membuka kacamatanya dan meletakkannya di kotak penyimpanan. Dia menatap Razka dengan serius. “Dia hampir dicelakai seseorang.”“Apa maksud Ayah?” Razka menegakkan tubuhnya.“Seseorang sepertinya sedang mengincar nyawa putriku, Kamu harus bisa lebih menjaganya.”“Bajingan mana yang berani mengusik adikku?” Razka memukul meja, meluapkan emosi. Saat ia mendengar ada seseorang yang hendak men
Razka mendorong Farel saat temannya itu hendak masuk ke dalam rumahnya. Razka tidak tahu jika Farel akan datang, dia tidak mengabarinya sama sekali.“Apa tujuanmu datang kemari?” tanya Razka geram.“Tentu saja menemui adikmu,” jawab Farel ringan. Dia berkata seolah itu bukan masalah sama sekali.“Untuk apa?”Semakin ke sini, tingkah Farel semakin berani. Padahal Razka sudah memperingati dia sebelumnya supaya tidak terus mencoba mendekati adiknya. Karena bagaimana pun saat ini Jovanka masih berstatus sebagai istri orang.Tingkah Farel ini hanya akan membuat buruk nama adiknya. Tapi, seperti apapun Razka mengingatkan, Farel seperti tidak peduli. Dia berkata jika dia serius menyukai Jovanka.Razka tidak akan melarang, seandainya saja Jovanka belum menikah dengan siapa pun. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Jovanka sudah milik Revan, meski hubungan keduanya tidak nampak baik.“Ayolah. Kenapa kamu selalu menghalangi ku untuk mendekati adikmu?” Farel berusaha membujuk Razka. Ekspresi yang d
“Apa-apaan ini?!”Revan tersentak saat atasannya menghempaskan berkas ke atas mejanya dengan kasar. Ekspresi pria di depannya itu terlihat sangat marah. Kali ini, Revan pasti sudah membuat kesalahan besar.“Kenapa bukannya membaik, pekerjaanmu justru semakin kacau?” Napas pria itu terlihat berat karena emosi. Rasanya dia ingin menendang karyawan di depannya ini karena tidak pernah becus dalam bekerja. Dia heran, kenapa orang sepertinya bisa diterima bekerja di perusahaan ini? “Apa kamu tidak berniat bekerja?”“Tentu saja aku serius, Pak,” sahut Revan. Dia tidak pernah main-main. Saat ia bisa bekerja di perusahaan ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh karena sadar Revan memang membutuhkan pekerjaan ini. Dari sini lah semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Jika dia gagal, maka dia harus kembali mencari pekerjaan dan itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.“Jika kamu memang serius, maka bekerjalah dengan baik. Jangan hanya mengacau!” tegur atasan Revan dengan suara keras. “Perusahaan bisa
Jovanka tidak berhenti menggerutu karena bodyguard barunya yang begitu patuh mengikutinya seperti anak ayam. Bahkan meski Jovanka berlari dan bersembunyi, bodyguard-nya itu selalu mampu menemukannya.“Kenapa kamu selalu bisa menemukan ku?” tanya Jovanka frustasi. Padahal dia berhasil meloloskan diri dari kejaran bodyguardnya itu, tapi dia masih saja berhasil menemukan keberadaan Jovanka.“Bau parfume-mu tercium jelas, nona,” jawab Luis dengan ekspresi datar. Dalam hati dia menghina majikannya itu yang terlihat bodoh. Bagaimana dia bisa bersembunyi jika dari bau parfume-nya saja tercium begitu menyengat. Bahkan dari jarak tiga meter, Luis masih bisa mencium aromanya.“Benarkah?” Jovaka baru sadar, dia menciumi pakaian yang ia kenakan. Dia menyesal sekarang, kenapa ia malah menggunakan parfume di saat ia seharusnya bisa meloloskan diri dari kejaran Luis dengan mudah. Jika saja dia ingat, dia tidak akan mengenakan parfume apapun hari ini. Apakah sekarang Jovanka harus mandi lagi untuk me
Luis tersentak saat ia tiba-tiba teringat tentang Nonanya. Dia dengan cepat merapikan pakaiannya kembali dan bergegas keluar. Tapi tangan Gilda menahannya, perempuan itu masih tidak ingin membiarkan Luis pergi.“Kamu mau kemana?” tanya Gilda terdengar kesal.“Nona mungkin dalam kesulitan,” jawab Luis tanpa menoleh.“Jovanka baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Gilsa menyentak lengan Luis hingga pria itu kembali berbalik dan menghadap ke arahnya. “Meski pun kamu bodyguardnya, bukan berarti kamu harus 24 jam bersamanya.”“Tapi itu sudah menjadi tugasku,” ucap Luis. Gilda sepertinya tidak mengerti jika Luis memang bertugas menjaga Jovanka selama 24 jam. Dia seharusnya tidak tergoda untuk bermain sebentar dengan Gilda meski tidak memakan waktu lama. Tapi tetap saja, sebagai seorang bodyguard yang terlatih, Luis seharusnya tidak boleh lengah meski hanya sesaat.“Tidak akan ada yang terjadi pada Jovanka, percayalah padaku.” Gilda berusaha membujuk Luis supaya mau bertahan lebih
Jovanka membuka kedua matanya. Sesaat dia menyesuaikan cahaya yang ditangkap kornea matanya. Sampai ia bisa melihat dengan jelas. Jovanka mengedarkan pandangan melihat sekitar. Terakhir ia ingat ia berada di toilet restoran saat tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tapi, sekarang saat ia sadar, Jovanka berada di sebuah gubuk yang terlihat sudah lama tidak ditempati. Entah siapa yang membawanya ke mari, tapi Jovanka rasa nasibnya tidak akan berakhir baik kali ini.Suara pintu terbuka membuat Jovanka menoleh. Ia melihat seseorang masuk. Jovanka tidak mengenal siapa orang itu.Seorang pria dengan rokok di tangannya itu melangkah mendekati Jovanka.“Sudah bangun?”Jovanka mendelik. Apa pria itu buta? Kenapa dia masih bertanya sedangkan ia sendiri melihat Jovanka di depannya dengan kedua mata yang terbuka lebar.Pria itu menarik satu sudut bibirnya. Dia mengusap wajah Jovanka dengn tangannya. “Cantik.”Jovanka memalingkan wajah. Dia tidak suka saat wajahnya disentuh, terlebih oleh pria