Razka mendorong Farel saat temannya itu hendak masuk ke dalam rumahnya. Razka tidak tahu jika Farel akan datang, dia tidak mengabarinya sama sekali.“Apa tujuanmu datang kemari?” tanya Razka geram.“Tentu saja menemui adikmu,” jawab Farel ringan. Dia berkata seolah itu bukan masalah sama sekali.“Untuk apa?”Semakin ke sini, tingkah Farel semakin berani. Padahal Razka sudah memperingati dia sebelumnya supaya tidak terus mencoba mendekati adiknya. Karena bagaimana pun saat ini Jovanka masih berstatus sebagai istri orang.Tingkah Farel ini hanya akan membuat buruk nama adiknya. Tapi, seperti apapun Razka mengingatkan, Farel seperti tidak peduli. Dia berkata jika dia serius menyukai Jovanka.Razka tidak akan melarang, seandainya saja Jovanka belum menikah dengan siapa pun. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Jovanka sudah milik Revan, meski hubungan keduanya tidak nampak baik.“Ayolah. Kenapa kamu selalu menghalangi ku untuk mendekati adikmu?” Farel berusaha membujuk Razka. Ekspresi yang d
“Apa-apaan ini?!”Revan tersentak saat atasannya menghempaskan berkas ke atas mejanya dengan kasar. Ekspresi pria di depannya itu terlihat sangat marah. Kali ini, Revan pasti sudah membuat kesalahan besar.“Kenapa bukannya membaik, pekerjaanmu justru semakin kacau?” Napas pria itu terlihat berat karena emosi. Rasanya dia ingin menendang karyawan di depannya ini karena tidak pernah becus dalam bekerja. Dia heran, kenapa orang sepertinya bisa diterima bekerja di perusahaan ini? “Apa kamu tidak berniat bekerja?”“Tentu saja aku serius, Pak,” sahut Revan. Dia tidak pernah main-main. Saat ia bisa bekerja di perusahaan ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh karena sadar Revan memang membutuhkan pekerjaan ini. Dari sini lah semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Jika dia gagal, maka dia harus kembali mencari pekerjaan dan itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.“Jika kamu memang serius, maka bekerjalah dengan baik. Jangan hanya mengacau!” tegur atasan Revan dengan suara keras. “Perusahaan bisa
Jovanka tidak berhenti menggerutu karena bodyguard barunya yang begitu patuh mengikutinya seperti anak ayam. Bahkan meski Jovanka berlari dan bersembunyi, bodyguard-nya itu selalu mampu menemukannya.“Kenapa kamu selalu bisa menemukan ku?” tanya Jovanka frustasi. Padahal dia berhasil meloloskan diri dari kejaran bodyguardnya itu, tapi dia masih saja berhasil menemukan keberadaan Jovanka.“Bau parfume-mu tercium jelas, nona,” jawab Luis dengan ekspresi datar. Dalam hati dia menghina majikannya itu yang terlihat bodoh. Bagaimana dia bisa bersembunyi jika dari bau parfume-nya saja tercium begitu menyengat. Bahkan dari jarak tiga meter, Luis masih bisa mencium aromanya.“Benarkah?” Jovaka baru sadar, dia menciumi pakaian yang ia kenakan. Dia menyesal sekarang, kenapa ia malah menggunakan parfume di saat ia seharusnya bisa meloloskan diri dari kejaran Luis dengan mudah. Jika saja dia ingat, dia tidak akan mengenakan parfume apapun hari ini. Apakah sekarang Jovanka harus mandi lagi untuk me
Luis tersentak saat ia tiba-tiba teringat tentang Nonanya. Dia dengan cepat merapikan pakaiannya kembali dan bergegas keluar. Tapi tangan Gilda menahannya, perempuan itu masih tidak ingin membiarkan Luis pergi.“Kamu mau kemana?” tanya Gilda terdengar kesal.“Nona mungkin dalam kesulitan,” jawab Luis tanpa menoleh.“Jovanka baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Gilsa menyentak lengan Luis hingga pria itu kembali berbalik dan menghadap ke arahnya. “Meski pun kamu bodyguardnya, bukan berarti kamu harus 24 jam bersamanya.”“Tapi itu sudah menjadi tugasku,” ucap Luis. Gilda sepertinya tidak mengerti jika Luis memang bertugas menjaga Jovanka selama 24 jam. Dia seharusnya tidak tergoda untuk bermain sebentar dengan Gilda meski tidak memakan waktu lama. Tapi tetap saja, sebagai seorang bodyguard yang terlatih, Luis seharusnya tidak boleh lengah meski hanya sesaat.“Tidak akan ada yang terjadi pada Jovanka, percayalah padaku.” Gilda berusaha membujuk Luis supaya mau bertahan lebih
Jovanka membuka kedua matanya. Sesaat dia menyesuaikan cahaya yang ditangkap kornea matanya. Sampai ia bisa melihat dengan jelas. Jovanka mengedarkan pandangan melihat sekitar. Terakhir ia ingat ia berada di toilet restoran saat tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tapi, sekarang saat ia sadar, Jovanka berada di sebuah gubuk yang terlihat sudah lama tidak ditempati. Entah siapa yang membawanya ke mari, tapi Jovanka rasa nasibnya tidak akan berakhir baik kali ini.Suara pintu terbuka membuat Jovanka menoleh. Ia melihat seseorang masuk. Jovanka tidak mengenal siapa orang itu.Seorang pria dengan rokok di tangannya itu melangkah mendekati Jovanka.“Sudah bangun?”Jovanka mendelik. Apa pria itu buta? Kenapa dia masih bertanya sedangkan ia sendiri melihat Jovanka di depannya dengan kedua mata yang terbuka lebar.Pria itu menarik satu sudut bibirnya. Dia mengusap wajah Jovanka dengn tangannya. “Cantik.”Jovanka memalingkan wajah. Dia tidak suka saat wajahnya disentuh, terlebih oleh pria
Luis mendapat pukulan dari atasannya yang juga bekerja untuk tuan Danial. Bukan hanya satu, tapi banyaknya bahkan tidak terhitung. Karena ia yang lalai dalam menjalankan tugas, Luis harus mau menerima hukumannya.“Kamu mempermalukan ku, Sialan!”Punggung Luis ditendang ketika dia baru bangkit, hingga ia kembali terlempar ke lantai. Luis merasakan kepalanya diinjak kuat. Dia tidak bisa bergerak.“Kerjamu sangat payah. Kamu telah mengecewakan tuan Razka dan tuan Danial!” Atasannya itu memaki Luis dengan keras.Sedikit pun, Luis tidak melakukan perlawanan karena ia sadar ia memang salah. Luis merasa pantas mendapatkannya.“Kurung pecundang ini di ruang bawah tanah!” titah atasan Luis pada para bawahannya yang sejak tadi menonton. “Biarkan dia merenungi kesalahannya.”“Baik!” Dua anah buahnya maju dan bergerak membopong tubuh Luis untuk diseret ke ruang bawah tanah.“Nasibmu kurang beruntung kali ini, bung.” Rekan kerja Luis itu menggelengkan kepalanya sambil berdecak miris. Dia sebenarny
Savira duduk di sebuah sofa seraya menyilangkan kakinya.“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?” Dia bertanya antusias.Aron mendengus kasar. “Aku belum sempat melakukan apapun karena kamu menghubungiku, dan meminta untuk bertemu cepat-cepat.”Jika mengingat kembali tentang itu, rasanya Aron sangat kesal dengan Savira saat ini.“Tenanglah, sayang. Setelah ini kamu akan puas bermain-main dengannya.” Savira menanggapi dengan santai. Ia cukup tenang setelah mengetahui Aron berhasil membawa Jovanka dan menyekapnya. “Jangan lupa biarkan teman-temanmu ikut merasakannya,” ucap Savira menyeringai. Dia tidak sabar melihat Jovanka hancur setelah ini. Perempuan itu mungkin akan gila.“Aku akan memberikannya setelah aku puas, tentu saja.”Aron sudah berjanji pada anak buahnya jika ia akan membiarkan mereka menikmati Jovanka, hanya saja mereka tidak boleh menyentuhnya sebelum Aron.“Sekarang, bagaimana jika kita bersenang-senang?” Savira mendekat dan duduk di pangkuan Aron. “Ini hadiah karena kamu
Revan merasa sangat sakit saat mendengar pengakuan Savira. Perempuan yang ia kira baik, mencintainya sepenuh hati, ternyata bisa mengkhianatinya sejauh ini. Sepertinya Revan memang tidak mengenal sosok Savira sama sekali. Dia sudah tertipu oleh sifat lemah lembut yang dimiliiki perempuan itu, hingga ia buta akan sikap buruk Savira yang sebenarnya bisa ia sadari.“Jadi … kamu berselingkuh?”“Aku begini juga karena kamu, Revan!” pekik Savira, menolak untuk disalahkan. “Jika kamu masih mencintaiku seperti dulu, aku tidak mungkin berpaling seperti ini.”“Apakah itu bisa dijadikan alasan?” Revan mendengus sinis. Apapun yang Savira katakan sebagai pembelaan, tidak mengubah kenyataan jika ia memang sudah mengkhianati Revan. Satu tindakan kotor tidak akan mudah dibersihkan hanya dengan pembelaan diri. “Aku bahkan tetap menikahimu walau aku sudah memiliki seorang istri. Sekarang aku benar-benar menyesal.”Jika saja ia tahu lebih cepat, Revan tidak mungkin mengabaikan Jovanka dan memilih Savira