Luis tersentak saat ia tiba-tiba teringat tentang Nonanya. Dia dengan cepat merapikan pakaiannya kembali dan bergegas keluar. Tapi tangan Gilda menahannya, perempuan itu masih tidak ingin membiarkan Luis pergi.“Kamu mau kemana?” tanya Gilda terdengar kesal.“Nona mungkin dalam kesulitan,” jawab Luis tanpa menoleh.“Jovanka baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Gilsa menyentak lengan Luis hingga pria itu kembali berbalik dan menghadap ke arahnya. “Meski pun kamu bodyguardnya, bukan berarti kamu harus 24 jam bersamanya.”“Tapi itu sudah menjadi tugasku,” ucap Luis. Gilda sepertinya tidak mengerti jika Luis memang bertugas menjaga Jovanka selama 24 jam. Dia seharusnya tidak tergoda untuk bermain sebentar dengan Gilda meski tidak memakan waktu lama. Tapi tetap saja, sebagai seorang bodyguard yang terlatih, Luis seharusnya tidak boleh lengah meski hanya sesaat.“Tidak akan ada yang terjadi pada Jovanka, percayalah padaku.” Gilda berusaha membujuk Luis supaya mau bertahan lebih
Jovanka membuka kedua matanya. Sesaat dia menyesuaikan cahaya yang ditangkap kornea matanya. Sampai ia bisa melihat dengan jelas. Jovanka mengedarkan pandangan melihat sekitar. Terakhir ia ingat ia berada di toilet restoran saat tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tapi, sekarang saat ia sadar, Jovanka berada di sebuah gubuk yang terlihat sudah lama tidak ditempati. Entah siapa yang membawanya ke mari, tapi Jovanka rasa nasibnya tidak akan berakhir baik kali ini.Suara pintu terbuka membuat Jovanka menoleh. Ia melihat seseorang masuk. Jovanka tidak mengenal siapa orang itu.Seorang pria dengan rokok di tangannya itu melangkah mendekati Jovanka.“Sudah bangun?”Jovanka mendelik. Apa pria itu buta? Kenapa dia masih bertanya sedangkan ia sendiri melihat Jovanka di depannya dengan kedua mata yang terbuka lebar.Pria itu menarik satu sudut bibirnya. Dia mengusap wajah Jovanka dengn tangannya. “Cantik.”Jovanka memalingkan wajah. Dia tidak suka saat wajahnya disentuh, terlebih oleh pria
Luis mendapat pukulan dari atasannya yang juga bekerja untuk tuan Danial. Bukan hanya satu, tapi banyaknya bahkan tidak terhitung. Karena ia yang lalai dalam menjalankan tugas, Luis harus mau menerima hukumannya.“Kamu mempermalukan ku, Sialan!”Punggung Luis ditendang ketika dia baru bangkit, hingga ia kembali terlempar ke lantai. Luis merasakan kepalanya diinjak kuat. Dia tidak bisa bergerak.“Kerjamu sangat payah. Kamu telah mengecewakan tuan Razka dan tuan Danial!” Atasannya itu memaki Luis dengan keras.Sedikit pun, Luis tidak melakukan perlawanan karena ia sadar ia memang salah. Luis merasa pantas mendapatkannya.“Kurung pecundang ini di ruang bawah tanah!” titah atasan Luis pada para bawahannya yang sejak tadi menonton. “Biarkan dia merenungi kesalahannya.”“Baik!” Dua anah buahnya maju dan bergerak membopong tubuh Luis untuk diseret ke ruang bawah tanah.“Nasibmu kurang beruntung kali ini, bung.” Rekan kerja Luis itu menggelengkan kepalanya sambil berdecak miris. Dia sebenarny
Savira duduk di sebuah sofa seraya menyilangkan kakinya.“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?” Dia bertanya antusias.Aron mendengus kasar. “Aku belum sempat melakukan apapun karena kamu menghubungiku, dan meminta untuk bertemu cepat-cepat.”Jika mengingat kembali tentang itu, rasanya Aron sangat kesal dengan Savira saat ini.“Tenanglah, sayang. Setelah ini kamu akan puas bermain-main dengannya.” Savira menanggapi dengan santai. Ia cukup tenang setelah mengetahui Aron berhasil membawa Jovanka dan menyekapnya. “Jangan lupa biarkan teman-temanmu ikut merasakannya,” ucap Savira menyeringai. Dia tidak sabar melihat Jovanka hancur setelah ini. Perempuan itu mungkin akan gila.“Aku akan memberikannya setelah aku puas, tentu saja.”Aron sudah berjanji pada anak buahnya jika ia akan membiarkan mereka menikmati Jovanka, hanya saja mereka tidak boleh menyentuhnya sebelum Aron.“Sekarang, bagaimana jika kita bersenang-senang?” Savira mendekat dan duduk di pangkuan Aron. “Ini hadiah karena kamu
Revan merasa sangat sakit saat mendengar pengakuan Savira. Perempuan yang ia kira baik, mencintainya sepenuh hati, ternyata bisa mengkhianatinya sejauh ini. Sepertinya Revan memang tidak mengenal sosok Savira sama sekali. Dia sudah tertipu oleh sifat lemah lembut yang dimiliiki perempuan itu, hingga ia buta akan sikap buruk Savira yang sebenarnya bisa ia sadari.“Jadi … kamu berselingkuh?”“Aku begini juga karena kamu, Revan!” pekik Savira, menolak untuk disalahkan. “Jika kamu masih mencintaiku seperti dulu, aku tidak mungkin berpaling seperti ini.”“Apakah itu bisa dijadikan alasan?” Revan mendengus sinis. Apapun yang Savira katakan sebagai pembelaan, tidak mengubah kenyataan jika ia memang sudah mengkhianati Revan. Satu tindakan kotor tidak akan mudah dibersihkan hanya dengan pembelaan diri. “Aku bahkan tetap menikahimu walau aku sudah memiliki seorang istri. Sekarang aku benar-benar menyesal.”Jika saja ia tahu lebih cepat, Revan tidak mungkin mengabaikan Jovanka dan memilih Savira
Razka memeriksa dari monitornya. Dia sudah mempekerjakan banyak jasa yang bisa membantunya menemukan sang adik. Razka tidak keberatan menghabiskan banyak uang supaya bisa menemukan adiknya. Jovanka lebih berharga dari semua harta yang ia miliki. Semua akan terasa tidak ada artinya jika ia harus kehilangan adik kesayangannya.“Bagaimana, Razka?”“Belum ada jawaban.”Danial menghela napas. Dia sudah melakukan banyak cara untuk bisa menemukan putrinya. Tapi hingga sekarang, ia masih belum bisa menemukan petunjuk apapun. Danial tidak tahu apalagi yang bisa ia lakukan. Padahal ia sudah melakukan apapun yang ia bisa.“Ayah, si pecundang itu menghubungiku,” ucap Razka.“Maksudmu orang yang menculik Jovanka?” tanya Danial dengan mata penuh harap.“Bukan.” Razka menggelengkan kepalanya. “Maksudku Revan.”Danial melengos. Dia pikir siapa. Razka membuat Danial berharap terlalu banyak.“Mau apa bocah itu?”Razka memeriksa isi pesan yang dikirimkan Revan. Seketika, kedua mata Razka terbelalak memb
Perasaan muak itu muncul kembali ketika ia mulai menerima perlakuan hina. Rasa muak itu merayap hingga rasanya menelan habis dirinya. Tidak ada akal yang tersisa, dan hasrat aneh mulai membumbung mengambil alih semuanya.Mereka yang sudah meninggalkan jejak hina membuatnya ingin segera menanggalkan kepala mereka. Genggaman pisau di tangan menguat, entah milik siapa. Tusukan yang ia berikan entah sudah berapa kali, namun jeritan mereka belum bisa memuaskan hati.Ia mulai berusaha lebih, untuk meredakan rasa haus ini. Darah yang mengucur pun tidak lantas menyegarkan dahaga. Tapi anehnya, ia tidak bisa menghentikan tangannya untuk mengoyak setiap apa yang ada di depan mata.Ini apa?Siapa dia?Kenapa jadi seperti ini?Ia merasa tidak mengenali dirinya sendiri.****Revan sampai di tempat yang dituju. Ia meninggalkan kendaraannya sedikit jauh dari lokasi, karena Revan tidak ingin keberadaannya lebih cepat diketahui sebelum ia sempat melakukan sesuatu.Revan bersembunyi di semak-semak, men
“Kamu tahu rasanya dikhianati?” Jovanka menolehkan kepalanya ke arah Revan. Dia meletakkan kepala di atas lutut. Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih sangat mengharapkan Revan di kehidupan pertamanya. “Aku juga pernah merasakan seperti itu. Sangat sakit, bukan?”Revan terdiam. Dia bahkan memalingkan wajah ke arah lain karena tahu yang dimaksud Jovanka adalah dirinya. Revan jadi semakin berpikir, apa ini karma baginya?Salahnya karena sudah mengabaikan Jovanka, dan bahkan menduakannya.“Saat itu, aku pikir seiring berjalannya waktu kamu akan luluh, karena aku memiliki perasaan yang tulus. Aku bahkan tidak peduli pada pandangan orang lain, dan setiap cemoohan mereka untukku. Karena ku pikir, ini adalah perjuangan ku untuk menggapai apa yang aku inginkan.” Jovanka terkekeh mentertawakan kebodohannya di masa lalu. “Tapi sekarang aku sadar, aku yang dulu sangat bodoh. Seharusnya aku tidak terlalu mencintainya. Aku harusnya lebih mencintai diriku sendiri. Sehingga akhirnya tidak a