Savira duduk di sebuah sofa seraya menyilangkan kakinya.“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?” Dia bertanya antusias.Aron mendengus kasar. “Aku belum sempat melakukan apapun karena kamu menghubungiku, dan meminta untuk bertemu cepat-cepat.”Jika mengingat kembali tentang itu, rasanya Aron sangat kesal dengan Savira saat ini.“Tenanglah, sayang. Setelah ini kamu akan puas bermain-main dengannya.” Savira menanggapi dengan santai. Ia cukup tenang setelah mengetahui Aron berhasil membawa Jovanka dan menyekapnya. “Jangan lupa biarkan teman-temanmu ikut merasakannya,” ucap Savira menyeringai. Dia tidak sabar melihat Jovanka hancur setelah ini. Perempuan itu mungkin akan gila.“Aku akan memberikannya setelah aku puas, tentu saja.”Aron sudah berjanji pada anak buahnya jika ia akan membiarkan mereka menikmati Jovanka, hanya saja mereka tidak boleh menyentuhnya sebelum Aron.“Sekarang, bagaimana jika kita bersenang-senang?” Savira mendekat dan duduk di pangkuan Aron. “Ini hadiah karena kamu
Revan merasa sangat sakit saat mendengar pengakuan Savira. Perempuan yang ia kira baik, mencintainya sepenuh hati, ternyata bisa mengkhianatinya sejauh ini. Sepertinya Revan memang tidak mengenal sosok Savira sama sekali. Dia sudah tertipu oleh sifat lemah lembut yang dimiliiki perempuan itu, hingga ia buta akan sikap buruk Savira yang sebenarnya bisa ia sadari.“Jadi … kamu berselingkuh?”“Aku begini juga karena kamu, Revan!” pekik Savira, menolak untuk disalahkan. “Jika kamu masih mencintaiku seperti dulu, aku tidak mungkin berpaling seperti ini.”“Apakah itu bisa dijadikan alasan?” Revan mendengus sinis. Apapun yang Savira katakan sebagai pembelaan, tidak mengubah kenyataan jika ia memang sudah mengkhianati Revan. Satu tindakan kotor tidak akan mudah dibersihkan hanya dengan pembelaan diri. “Aku bahkan tetap menikahimu walau aku sudah memiliki seorang istri. Sekarang aku benar-benar menyesal.”Jika saja ia tahu lebih cepat, Revan tidak mungkin mengabaikan Jovanka dan memilih Savira
Razka memeriksa dari monitornya. Dia sudah mempekerjakan banyak jasa yang bisa membantunya menemukan sang adik. Razka tidak keberatan menghabiskan banyak uang supaya bisa menemukan adiknya. Jovanka lebih berharga dari semua harta yang ia miliki. Semua akan terasa tidak ada artinya jika ia harus kehilangan adik kesayangannya.“Bagaimana, Razka?”“Belum ada jawaban.”Danial menghela napas. Dia sudah melakukan banyak cara untuk bisa menemukan putrinya. Tapi hingga sekarang, ia masih belum bisa menemukan petunjuk apapun. Danial tidak tahu apalagi yang bisa ia lakukan. Padahal ia sudah melakukan apapun yang ia bisa.“Ayah, si pecundang itu menghubungiku,” ucap Razka.“Maksudmu orang yang menculik Jovanka?” tanya Danial dengan mata penuh harap.“Bukan.” Razka menggelengkan kepalanya. “Maksudku Revan.”Danial melengos. Dia pikir siapa. Razka membuat Danial berharap terlalu banyak.“Mau apa bocah itu?”Razka memeriksa isi pesan yang dikirimkan Revan. Seketika, kedua mata Razka terbelalak memb
Perasaan muak itu muncul kembali ketika ia mulai menerima perlakuan hina. Rasa muak itu merayap hingga rasanya menelan habis dirinya. Tidak ada akal yang tersisa, dan hasrat aneh mulai membumbung mengambil alih semuanya.Mereka yang sudah meninggalkan jejak hina membuatnya ingin segera menanggalkan kepala mereka. Genggaman pisau di tangan menguat, entah milik siapa. Tusukan yang ia berikan entah sudah berapa kali, namun jeritan mereka belum bisa memuaskan hati.Ia mulai berusaha lebih, untuk meredakan rasa haus ini. Darah yang mengucur pun tidak lantas menyegarkan dahaga. Tapi anehnya, ia tidak bisa menghentikan tangannya untuk mengoyak setiap apa yang ada di depan mata.Ini apa?Siapa dia?Kenapa jadi seperti ini?Ia merasa tidak mengenali dirinya sendiri.****Revan sampai di tempat yang dituju. Ia meninggalkan kendaraannya sedikit jauh dari lokasi, karena Revan tidak ingin keberadaannya lebih cepat diketahui sebelum ia sempat melakukan sesuatu.Revan bersembunyi di semak-semak, men
“Kamu tahu rasanya dikhianati?” Jovanka menolehkan kepalanya ke arah Revan. Dia meletakkan kepala di atas lutut. Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih sangat mengharapkan Revan di kehidupan pertamanya. “Aku juga pernah merasakan seperti itu. Sangat sakit, bukan?”Revan terdiam. Dia bahkan memalingkan wajah ke arah lain karena tahu yang dimaksud Jovanka adalah dirinya. Revan jadi semakin berpikir, apa ini karma baginya?Salahnya karena sudah mengabaikan Jovanka, dan bahkan menduakannya.“Saat itu, aku pikir seiring berjalannya waktu kamu akan luluh, karena aku memiliki perasaan yang tulus. Aku bahkan tidak peduli pada pandangan orang lain, dan setiap cemoohan mereka untukku. Karena ku pikir, ini adalah perjuangan ku untuk menggapai apa yang aku inginkan.” Jovanka terkekeh mentertawakan kebodohannya di masa lalu. “Tapi sekarang aku sadar, aku yang dulu sangat bodoh. Seharusnya aku tidak terlalu mencintainya. Aku harusnya lebih mencintai diriku sendiri. Sehingga akhirnya tidak a
Revan memastikan keadaan sekitar. Saat mengetahui jika keadaan aman, Revan menyuruh Jovanka untuk keluar dan segera menyusulnya.Mereka berjalan dengan hati-hati melewati dataran sempit yang bisa membawa mereka kembali ke tempat yang lebih aman. Revan berjalan lebih dulu karena ia harus memastikan jalan yang mereka lewati aman. Meski begitu, ia tetap memastikan Jovanka berada tak jauh darinya.“Hati-hati tergelincir,” ucap Revan mengingatkan.”Aku tahu,” sahut Jovanka. “Aku juga tidak ingin terjatuh dan bertemu mayat-mayat itu.”Revan melangkah ke dataran yang lebih tinggi. Dia berbalik untuk mengulurkan tangan pada Jovanka.“Pegang tanganku, Jo.”Jovanka menurut. Dia menjadi lebih mudah naik dengan bantuan Revan.Sekarang mereka aman karena telah berhasil melewati dataran sempit itu. Kini yang harus mereka lakukan hanya mencari jalan keluar dan menghindari orang-orang itu lagi.“Kemana kita harus pergi?” Jovanka melihat sekitar. Semua pohon di sekitarnya terlihat sama. Ia tidak tahu
Jem meringis kala kepalanya ditekan dengan kuat, sedangkan kedua tangannya dikunci di belakang tubuh. Jem ingin melawan dan memberontak, tapi orang-orang itu sepertinya memang bukan orang sembarangan. Kemampuan mereka luar biasa. Bahkan setiap mereka menembak, mereka selalu mampu mengenai targetnya dengan tepat.“Apa yang kamu pikirkan?” Suara seseorang terdengar bertanya padanya dengan nada yang sangat dingin. Jem merasa terintimidasi oleh aura yang orang itu keluarkan.“Menculik putriku, melecehkannya, dan berniat untuk membunuhnya. Sepertinya kalian memang ingin mengantarkan kematian kalian sendiri.”Rambut Jem ditarik kasar. Ia dipaksa untuk mendongak. Ada wajah Danial tepat di depannya. Seketika, Jem tercekat.Astaga, apa perempuan itu adalah putri pria itu? Jika ia tahu identitas perempuan itu, Jem tidak akan menerima tawaran ini sebelumnya.“Orang sepertimu berani mencari masalah dengan ku?” Danial mendengus sinis. Amarahnya berkumpul dan bergemuruh di dada. “Apa kamu tahu kons
Jovanka mengerjapkan matanya. Dia melirik tempat sekitarnya saat ini. Dia berada di rumah sakit. Aroma obat-obatan tercium dengan jelas.Seingat Jovanka terakhir kali, ia mengalami kecelakaan bersama Revan. Dan ia kehilangan kesadaran saat itu juga.Jovanka melirik seseorang yang tertidur di sisi ranjangnya. Walau orang itu menunduk, Jovanka bisa mengenalinya dengan baik. Dia Razka, kakaknya. Mungkin kah kakaknya itu yang datang menyelamatkannya?Jovanka bersyukur ia masih baik-baik saja sekarang. Ternyata Tuhan masih memberinya kesempatan hidup sekali lagi.Merasakan pergerakkan di sisinya, Jovanka melirik Razka yang sepertinya mulai terbangun. Apa Jovanka sudah mengganggu tidur kakaknya itu?“Engh,” gumam Razka, menggeliat. Dia bangun sembari mengucek sebelah matanya. Saat ia menyadari seseorang yang terduduk di depannya, Razka mengerjap tidak percaya. Kedua matanya seketika melebar.“Jovanka?!” pekik Razka. Dia menerjang memeluk adiknya. Dia sangat bahagia mengetahui adiknya telah