Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku.
"Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa."
"Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu.
"Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat."
Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya.
"Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat.
Lelaki itu mengambil alih ponsel dari tanganku dan memperhatikan dengan seksama aplikasi yang kumaksud lalu ia manggut-manggut yang entah paham atau tidak.
"Tunggu! Sepertinya bagus juga ponselmu, Lang?" Citra merebut ponselku dari tangan bapaknya.
Sudah kuduga, wanita itu pasti akan memberi komentar pada ponsel yang kupunya.
"Ah, biasa saja," jawabku singkat.
"Ini. Aku kembalikan ponselmu. Harus nabung berapa lama agar bisa beli ponsel sebagus itu? Atau harus puasa setiap hari agar bisa beli ponsel? Kalau aku mah ogah menyiksa diri," ucap Citra dengan tangan bersedekap dan nada sinis.
"Nggak perlu nabung beberapa tahun apalagi harus berpuasa." Aku tersenyum lalu menyimpan kembali ponselku ke tempat semula.
Raut wajah Citra mulai berubah setelah ponsel yang kutunjukkan meski tetap terlihat angkuh.
"Baiklah, karena aku nggak punya aplikasi M-banking, bayar utangnya sebulan lagi atau saat kalian nikah saja. Nggak usah khawatir, aku pasti bayar, kok," kata Pak Arman.
Aku dan ayah saling berpandangan, lalu mengangguk pertanda setuju.
Rasanya sudah engap berada lama-lama di sini. Berhubung Vira sudah setuju, kami berpamitan pulang dan akan datang lagi saat pesta pernikahan nanti.
"Selamat datang di neraka, Vir. Setelah menikah nanti, hidupmu pasti akan sengsara karena dapat suami miskin. Hahaha," ucap Citra saat kami sudah berbalik.
Itu tidak akan terjadi, justru dengan menikah denganku, hidup Vira akan menjadi lebih baik dari pada di rumah yang sudah seperti neraka ini. Iya, aku sudah berjanji akan membahagiakan Vira.
***
Setelah menyiapkan berkas untuk persyaratan nikah. Kami sekeluarga datang lagi ke rumah Vira. Kemarin ia juga sudah memberi tahu kalau berkas sudah lengkap termasuk imunisasi sebagai syarat untuk mendapatkan surat nikah nanti. Iya, aku memang ingin menikahi Vira secara resmi alias legal dalam artian sah secara agama maupun negara bukan secara siri saja.
Tidak sabar rasanya menunggu hari itu tiba.
"Duh, anak ayah tampan sekali," kata ayah saat kami hendak berangkat menuju rumah Vira untuk melangsungkan akad nikah.
"Iya, meski pakaiannya sederhana, ketampananmu tidak memudar. Citra pasti menyesal sudah menolak lelaki tampan sepetimu, Lang," ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca.
Aku tersenyum. "Kenapa ibu menangis?"
Wanita yang terlihat cantik dengan kebaya warna ungu muda itu menyeka air matanya. "Ibu sedih karena pesta pernikahanmu harus sederhana seperti ini."
"Ini atas permintaan Arman, Bu, dan hanya ini hanya sementara. Setelah resmi nanti, kita bisa mengadakan pesta mewah di sini. Ibu lupa?" kata ayah.
"Oh, iya. Ya udah sekarang kita berangkat agar mereka tidak menunggu terlalu lama." Ibu tersenyum sambil menggandeng tanganku.
Kami berangkat dengan menaiki mini bus dan hanya diisi sepuluh orang saja termasuk aku, ayah ibu dan adik perempuanku. Ini atas permintaan Pak Arman agar tidak usah datang ke pesta pernikahan kami dengan membawa banyak orang agar hemat biaya katanya. Yo wes lah, kami manut saja.
Sepanjang perjalanan, aku sudah membayangkan, seperti apa, ya, wajah Vira ketika sudah dirias nanti? Pasti terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Iya, yang aku tahu, jika seseorang tidak pernah make up, pasti akan terlihat cantik saat menikah nanti.
Awalnya Ayyara--adik perempuanku satu-satunya sempat protes saat tahu konsep pernikahanku hanya sederhana seperti ini karena ia ingin menjadi bridesmaid saat aku nikah nanti, tetapi gara-gara ini, ia tidak bisa dandan cetar membahana seperti impiannya.
"Sabar, setelah resmi nanti, Kak Elamg akan mengadakan pesta besar-besaran dan kamu bisa jadi bridesmaidnya." Ibu mengusap pundak Ayyara yang dari tadi terus cemberut.
"Nyebelin, masa iya, kakakku nikah, penampilanku hanya kayak gini. Pakaian juga nggak banget?" Gadis itu mengerucutkan bibir.
"Kalau kita pakai baju yang bagus, takutnya si Citra yang sombong itu berubah pikiran dan Ibu malas kalau harus punya menantu model kayak dia," jawab ibu.
"Hm, aku jadi penasaran, seperti apa, sih, wajahnya si Citra itu sehingga yang hanya dengar cari cerita kalian saja ikut geregetan ingin ngasih cabe setan ke mulutnya itu," ucap Ayyara dengan tangan mengepal.
"Sabar, Sayang. Untung saja dia tidak menjadi kakak iparmu. Ibu nggak bisa membayangkan kalau gadis sombong seperti dia menjadi bagian dari keluarga kita." Ibu menepuk tangan Ayyara dengan lembut.
"Aku akan memberinya pelajaran setelah Kak Elang resmi nikah dengan Kak Vira. Dia pasti gigit jari setelah tahu siapa kita sebenarnya," ucap Ayyara dengan mengulas senyum.
"Betul itu, gadis sombong seperti dia harus dikasih pelajaran agar tidak memandang orang dari penampilan luarnya atau dari kendaraan yang ia miliki. Masa iya, hanya gara-gara kita naik ojek alias nggak bawa mobil, langsung membatalkan begitu saja," ucapku kesal. Apalagi saat ingat dengan gaya Citra yang menyebalkan.
"Sudahlah, yang penting kamu jadi nikah meski bukan dengan orang yang selama ini kamu lihat fotonya. Ayah lihat, Vira juga cantik, dia hanya tidak terawat saja. Setelah jadi istrimu nanti, ajak dia ke salon untuk make over, pasti semua orang pangling." Bapak mengacungkan jempol.
"Siap, Yah."
Syukurlah kami bisa hadir tepat waktu karena longsor yang menghalangi jalan pada waktu itu sudah selesai dirapikan.
Kami turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju tempat akan dilaksanakannya ijab qabul. Tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada musik yang menyambut kedatangan kami atau pun orang-orang yang berjejer di sepanjang jalan untuk menyalami.
Ini adalah pernikahan dengan konsep paling sederhana yang pernah kutemui dan aku sendiri yang menjadi pengantinnya.
Benar-benar nyesek, tetapi aku harus bersabar karena semua akan indah pada waktunya.
Lebih nyesek lagi saat melihat pengantinku.
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak heboh karena Citra pingsan, entah pingsan sungguhan atau hanya pura-pura. Katanya tidak heran dengan Vira, tetapi baru melihat kunci mobil yang menjadi hadiah pernikahan saja sudah pingsan, bagaimana kalau ia melihat mobilnya secara langsung nanti? Bisa-bisa ia pingsan dan tidak mau bangun lagi karena tidak sanggup melihat orang yang ia hina selama ini bahagia. Sifat sombong memang satu paket dengan sifat iri dan dengki yang paling tidak bisa melihat orang lain bahagia. Bu Tantri-- ibunya teriak histeris melihat anak kesayangannya tergeletak di lantai.Ia dan suaminya menggotong tubuh Citra ke kamar yang ada di sebelah ruangan ini. "Bangun, Cit. Ayo bangun." Bu Tantri menepuk pipi Citra yang masih memejamkan mata. Citra tak bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata, hanya dadanya yang terlihat naik turun sebagai pertanda ia masih bernapas. "Aduh, kenapa, sih kamu pakai pingsan segala? dibangunin susah pula." wanita itu menggerutu
"Tunggu Cit, sepertinya aku kenal dengan lelaki yang ada di foto itu." Aku menahan tangan Citra yang sudah bersiap untuk memencet tombol hijau sebagai pertanda kalau ia menerima panggilan itu. Wanita yang make up--nya sudah berantakan itu tertawa lebar. " Mana mungkin lelaki miskin seperti kamu kenal dengan lelaki kaya dan tampan seperti dia. Enggak usah mengada-ngada, deh."Benda pipih nan canggih itu masih saja menjerit karena Citra belum juga menerima panggilan. "Bentar, ya, aku mau bicara dulu sama yayang." Ia tersenyum lalu menggeser gambar telepon lalu menempelkannya di pipi. Ia pasti tidak mau melakukan video call karena sadar wajahnya sangat berantakan saat ini. Wanita seperti dia pasti tidak ingin membuat lelaki yang ia puja menjadi ill feel. "Halo, Sayang apa kabar?" Citra menyapa renyah seseorang di seberang sana. Ia berusaha tersenyum manis meski ia tahu lawan bicaranya tidak melihat senyuman itu. Wanita itu lalu terdiam beberapa saat menunggu jawaban orang itu. "Apa?
"Bagaimana, Vir? kamu suka? Itu mobil kamu sehingga kamu boleh menaikinya kapan pun kamu mau." Aku mengulurkan kunci mobil pada Vira yang masih berdiri mematung seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Vira menerima kunci mobil dengan tangan gemetar. " Tetapi, Aku enggak bisa nyetir," ucapnya lirih. "Nah betul itu, sudah tahu Vira nggak bisa nyetir malah dikasih mobil. Itu sama artinya dengan kambing dikasih burger, tentu saja enggak mau lah alias percuma. Kalau kambing, ya. harusnya dikasih rumput. Sudahlah mobil itu hanya formalitas saja. Buat apa Vira dikasih mobil? Emangnya dia mau ke mana?" ucap Citra sinis. Aku kembali mengelus dada. Mulut wanita ini memang lemas sekali. Aku tersenyum dan mengusap tangan wanitaku ini. Kuabaikan ocehan Citra dan menganggap angin lalu saja. " Kami berencana mendaftarkan kamu kuliah setelah tinggal di rumahku nanti. Jadi kamu bisa pakai mobil itu untuk kuliah. Masalah nyetir? Gampang, nanti aku yang akan ajarin kamu sampai bisa."Citra ke
Vira menghampiri ayah dan ibu yang juga sudah siap.Ia meraih tangan dan ibu lalu menciumnya dengan takzim, hal yang sama juga lakukan pada ayah. "Hati-hati, ya, Vir," seru ibu. "Kamu enggak ikut pergi dengan Vira, Lang?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Dia bilang ingin pergi sendiri, Bu," "Emangnya dia mau ke mana?""Loh, bukannya tadi pamit sama ibu dan ayah. Nggak tanya dia mau ke mana?"Ibu tersenyum. "Ia hanya bilang ada urusan sebentar dan ibu pikir perginya sama kamu. Ya, udah nggak perlu tanya-tanya lagi kalau sudah pergi sama suaminya, ntar Ibu dibilang sok kepo lagi,"Citra tertawa mendengar obrolan kami. " Kalian mau tahu Vira pergi ke mana? Paling-paling dia mau nemuin si Abdul, tuh," ucapnya dengan nada sinis. "Abdul? Siapa dia?""Abdul itu pacarnya si Vira yang merupakan karyawan bapak juga. Cuma bedanya kalau Vira tugasnya ngambilin telur dan tukang bersih-bersih sedangkan si Abdul ini yang membawa telur ke para pelanggan seperti warung-warung, warung makan, dan
Sekarang aku yakin kalau yang dimaksud Malik oleh Citra itu memang Reiga. Oh, betapa sempitnya dunia ini, dulu ia sudah membuat kekasihku berpaling karena silau dengan penampilan dan apa yang dia miliki. Di saat aku mulai tidak menuruti permintaannya yang selalu ingin minta uang dan menganggap Reiga lebih baik dariku. Sekarang, Citra-- juga menolakku dan lebih memilih dia. Mungkin kah Citra adalah korban Reiga selanjutnya. Kuakui, Reiga ini memang tampan, wajahnya bersinar cerah yang entah apa rahasianya, dan berkulit putih seperti artis luar negeri. Tubuhnya juga bagus-- atletis sehingga tidak heran ia jika para wanita klepek-klepek saat melihatnya dan ingin memiliki seutuhnya. Apalagi penampilannya yang selalu wow. Pakaiannya rapi menggambarkan sosok pria berkelas, tunggangannya juga mobil mewah yang harganya bisa mencapai miliaran. Wanita mana coba yang tidak tergoda, apalagi Ia juga pandai mengobrol kata-kata manis. Paket komplit yang menjadi idaman para wanita. Sayang, semua i
"Kamu kenapa, Vir, kok tanganmu tiba-tiba dingin banget?" Aku panik apalagi saat melihat wajahnya yang mendadak pucat dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Aku nggak papa, Mas." Vira meringis. "Berhenti dulu, Pak," ucapku pada sang sopir. Sang sopir menghentikan mobilnya di pinggir jalan sesuai perintahku. "Nggak tahu nih, Mas, tiba-tiba perutku mual dan kepalaku pusing apalagi setelah melewati belokan tajam tadi." Vira mengusap pelipisnya dan memejamkan mata. "Wah jangan-jangan Kak Vira mabuk kendaraan, ya." Ayya melepas sabuk pengamannya lalu beringsut dari duduknya dan kini dia berada di samping Vira. "Maaf. Aku memang nggak pernah naik mobil karena memang nggak pernah pergi ke mana-mana. Benar kata Citra, jangankan mobil, motor aja nggak pernah. Saat SMA aku cukup jalan kaki saja karena tidak diizinkan ikut Citra naik motor. Maaf kalau aku jadi merepotkan." Vira menunduk. Raut wajah penyesalan nampak jelas terlihat di sana. Aku membelai pipinya dan tersenyum." En