Share

Enam

Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. 

Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? 

"Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.

Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur  itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga nggak akan paham karena yang kamu tahu hanya minta uang saja," jawab bapak kesal. 

 Otakku merespon ucapan Bapak. Iya usaha peternakan bebek milik Bapak memang tidak tanggung-tanggung. Di awal Bapak langsung membeli bebek yang sangat banyak karena sekalian, rugi katanya jika hanya sedikit dan itu memang ada benarnya kalau mau usaha sebaiknya jangan setengah-setengah.

Setelah usaha mebel milik keluarga kami bangkrut, Bapak ingin menjadi peternak ayam petelur, tetapi kata orang lebih baik beternak bebek saja karena peternak bebek tidak terlalu banyak risikonya. 

Aku nggak pernah ambil pusing dengan usaha bapak. Mau ternak bebek atau ayam terserah, toh aku juga tidak ikut mengelolanya. Yang penting aku bisa makan dan setiap kali  minta uang untuk shopping shopping maupun ke salon uangnya ada.

"Tetapi, uang bapak saat ini lebih dari itu, kan?" tanyaku lagi dan berharap ia mengangguk. 

"hem hem hem, kenapa kalian malah berbisik-bisik seperti itu? Bagaimana? uangnya sudah ada, kan?" tanya Pak Purnama menghentikan percakapan kami yang berbisik. 

Kuusap wajah kasar lalu tersenyum. Gengsi dong, kalau sampai terlihat gugup.

"Tentu, bapak pasti bisa bayar utangnya, iya, kan, Pak? utang Bapak berapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku ingin mendengar dari Pak Purnama bukan hanya dari bapak saja. 

"Lima puluh juta," jawab Pak Purnama santai. 

"Apa? 50 juta?" Aku pura-pura kaget meski nominal uang yang disebutkan Pak Purnama sama dengan yang dibilang bapak. 

Aku tertawa hingga membuat dahi bapak mengernyit. "Tidak mungkin Bapak  punya utang 50 juta karena selama ini terlihat tenang tenang saja dan seolah tidak punya beban. Yang aku tahu, ya, Pak, orang yang punya utang itu badannya nggak mungkin terlihat segar seperti ini. Ia pasti kurus kering karena pikiran tidak tenang, makan juga nggak enak, tidur pun tidak nyenyak, bahkan ada juga loh  yang rambutnya sampai rontok karena terlalu banyak utang, sedangkan Bapak terlihat segar bugar, bahkan terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya," jawabku panjang lebar. 

Aku tersenyum setelah berhasil memberikan argumen yang masuk akal.

Pak Purnama menggeleng, mungkin ia salut dengan kepandaianku, "jelaskan pada anakmu ini kalau utang kamu memang 50 juta dan akan dibayarkan secepatnya karena mau kugunakan untuk modal nikah Elang."

"Iya, aku pasti bayar, kok. Cuma 50 juta, kan? Bagiku itu sangat kecil. iya, kan, Bu?" Kali ini bapak melirik ibu dan ibu tersenyum. 

"Iyalah,  Pak. 50 juta itu kecil bagi kita karena omzet peternakan bebek kita aja lebih dari itu dalam sebulan," jawab ibu dengan senyum lebar. 

Wow, benarkah omzet peternakan bebek itu bisa mencapai 50 juta sebulan? Kok aku nggak pernah tahu, ya? 

"Kalau gitu, aku mau minta uangnya sekarang juga agar sekalian bisa kujadikan mahar untuk Vira," kata Pak Purnama. 

"Apa? Uang sebanyak lima puluh juta mau kamu jadikan mahar untuk Vira?" tanya Bapak dengan nada tinggi. 

"Tadi kamu bilang kalau segitu sedikit alias kecil, kenapa sekarang mendadak jadi banyak?" 

Bapak kembali menggaruk kepadanya. "Iya, maksudku, uang segitu kalau bagi kami memang kecil, tetapi kalau untuk mahar si Vira, ya, kebanyakan." 

"Arman, aku mau uangku kembali sekarang juga dan saat uang itu sudah berada di tanganku nanti, terserah mau kubuat apa. Yang penting uang itu sudah ada sekarang." Pak Purnama mengulurkan tangannya. 

"Purnama, aku pasti bayar, kok, tetapi tidak sekarang karena uangku saat ini masih kusimpan di bank. Kamu tahu sendiri, kan, kalau menyimpan uang di rumah itu tidak aman." Bapak tersenyum. 

Diam-diam aku mengakui kepintaran bapakku ini dalam mencari alasan agar tidak ditagih utang. 

"Betul itu, Pak. Menyimpan uang di rumah itu tidak aman apalagi di rumah ini ada orang lain yang ikut tinggal," sahutku sambil melirik Vira yang sedari tadi diam saja. 

"Kamu nggak usah khawatir. Aku akan menunggumu ke bank dan ambil uangnya sekarang juga. Nggak sampai setengah jam, kan?" kata Pak Purnama. 

"Ya elah, Purnama, Purnama. Aku pasti bayar utang, kok, tetapi tidak sekarang. Apakah kamu tidak percaya dengan orang yang pernah menjadi sahabatmu ini?" kata bapak. 

Pak Purnama menghela napas. "Tadi bilang sudah tidak ingin menjadi sahabatku lagi saat tahu kami tidak punya apa-apa, tetapi saat ditagih utang mendadak ingat kalau kita pernah dekat agar bisa mangkir dari bayar utang. Bagaimana, sih, kamu ini, Man. Jadi orang, kok, tidak punya pendirian." 

"Bukannya aku mau mangkir bayar utang, cuma aku nggak mau kamu menunggu terlalu lama di sini saat aku mengambil uang di bank karena jarak dari sini ke bank lumayan jauh," kata bapak. 

Tiba-tiba Elang tertawa. "Kalau Bapak memang berniat mau bayar utang, kan, bisa kirim melalui aplikasi M-banking. Transfer uang dengan mudah di mana pun kita berada tanpa perlu repot ke bank," 

"M--M--banking? Apa itu?" tanya Bapak. 

Tepuk jidat

    

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Putri Sari
mau bayar utang banyak belit2
goodnovel comment avatar
TRD Simulator Game
terlalu bnyk POV nya thor. bikin cerita nya yg biasa jgn pov mulu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status