Langkah kaki keduanya seiring sejalan meskipun hening masih mendominasi keadaan, hanya suara gemercik air dari kolam ikan sejauh telinga mereka mampu mendengar. Mereka berjalan santai menuju taman belakang, melewati paving jalan setapak pula lampu-lampu taman yang sedikit redup di sisi kiri dan kanan."Bagaimana kabar kamu, Chia?" tanya Nardo, membuka percakapan."B-baik." Chiara menjawab dengan sedikit terbata, lalu dia balik bertanya. "Kakak sendiri?""Seperti yang kamu lihat." Nardo menoleh sejenak, membuat mereka bertemu pandang beberapa saat. Dan Chiara kembali tersenyum canggung di tempatnya."Kakak terlihat baik.""Yah, hanya sedikit pusing kepala.""K-kenapa?" Chiara mengangkat dagu. Di detik itu juga Nardo menghentikan langkah kaki, menatap mata indah gadis itu dalam-dalam."Kamu."Kedua mata Chiara membola mendengarnya. Jantungnya sudah sangat ricuh di dalam rongga dadanya. "Eh? A-aku?""Kamu menghindari Kakak, jangan kira Kakak tidak merasa.""Ah! I-itu-"Sebelum Chiara sem
Semua terlihat begitu indah kala sedang dimabuk cinta. Senyuman bahagia tidak pernah pudar menghiasi raut jelita Chiara, mengiringi setiap langkahnya menapaki koridor kampus menuju kelasnya di lantai dua. Hati gadis itu serasa diisi berbagai bunga-bunga setiap kali mengingat wajah tampan itu. Iya, wajah Nardo.Jujur saja Chiara masih merasa seperti mimpi saat menyadari jika dirinya sudah tidak jomblo lagi. Dia masih tidak menyangka jika pria berdarah Jerman itu adalah benar kekasihnya sekarang. Ah, dia jadi membayangkan bagaimana rupa anak mereka nanti seandainya mereka menikah. Pastinya mereka akan memiliki putra dan putri yang lucu dan menggemaskan. Iya, kan?Dan setelah pemikiran tersebut terbersit di kepala, langkah gadis itu berhenti mendadak lalu menggeleng kencang dengan wajah merah padam.'Astaga! Pikiranmu kejauhan, Chia!' gadis itu merutuk dalam hati.Namun, hal itu cuma sesaat. Setelahnya senyuman Chiara kembali terkembang. Dia melanjutkan langkahnya memasuki ruang kelas. D
Chiara sudah berdiri di sisi gerbang kampusnya sejak lima menit lalu. Dengan tas selempang yang dia sandang pada salah satu bahu, gadis itu berulang-ulang memeriksa jam tangannya. Dia sedang menunggu Nardo menjemputnya, sesuai janji pria itu tadi pagi.Saat Chiara sekali lagi menoleh ke kiri, akhirnya kedua mata indah gadis itu menemukan mobil milik Sang kekasih sedang melaju, semakin pelan lalu berhenti tidak jauh di depannya. Chiara tersenyum saat melihat kekasihnya itu turun dari mobil kemudian berjalan tergesa menghampirinya. "Maaf, sudah lama menunggu?" tanya Nardo setelah berdiri menjulang tepat di depan Chiara."Tidak kok, Chia baru saja keluar beberapa menit yang lalu." Gadis manis itu membagi senyumnya. Jantungnya ricuh, tapi dia menikmatinya. Dia bahagia."Untuk kamu." Nardo mengukir senyuman lega, lalu menyerahkan sebuah es krim cone yang baru dia beli di minimarket terdekat pada Chiara. "Sebagai permintaan maaf karena sedikit telat.""Permintaan maaf diterima." Chiara mera
Semenjak Nardo menjadi kekasihnya, dunia Chiara semakin terasa berwarna. Pria itu datang memberinya warna pelangi, menghapus kelabu yang menyelubungi hidupnya semenjak kepergian Naomi, kakaknya. Kini, senyum Chiara bukan lagi sebuah topeng untuk menyembunyikan kesedihan, senyuman itu benar-benar tulus dari dalam lubuk hati. Gadis itu benar-benar merasa bahagia.Memang benar, tampan itu relatif. Tapi bagi Chiara, Nardo adalah pria tertampan di seluruh dunia. Tampan paras dan juga hatinya. Sebuah paket komplit yang membuat gadis itu selalu bersyukur karena pria itu adalah miliknya. Dia tidak akan pernah merasa bosan untuk terus menatapinya seperti ini, Nardo semakin terlihat menarik saat sedang serius mengemudi."Nah, sudah sampai ...."Chiara menengok ke kaca pintu di sampingnya, sedikit cemberut saat sadar mobil yang mereka naiki sudah sampai di sisi pagar gedung sekolahnya. "Kenapa cepat sekali?""Nanti kita bisa bertemu lagi, Schnucki." Ah, panggilan baru. Senyuman gadis itu melebar
Suasana di kantin cukup ramai siang itu. Selena memesankan segelas coklat panas untuk Evan. Kebetulan tengah hari ini sedang turun hujan, gadis itu pikir jika minuman hangat adalah yang paling tepat untuk menemani mereka menghabiskan waktu bersama. "Minumlah. Katanya di dalam coklat ada zat phenylethylamine yang bisa membuat seseorang yang mengonsumsinya merasa bahagia. Kamu akan merasa lebih baik, Van." Selena meletakkan gelas panjang berisi minuman yang tadi dia pesanan dari ibu kantin di hadapan Evan dengan sebuah senyum manis, lalu duduk pada kursi lain di depan pemuda itu. Meja panjang berisi menu makan siang pesanan mereka menjadi penghalang keduanya."Kelihatan sekali ya, kalau aku sedang patah hati?" Evan menatap Selena, terkekeh miris, kemudian menyentuh sisi gelas dengan telapak tangannya. Hangat minuman di dalamnya tak sehangat perasaan yang dia miliki. "Terima kasih minumannya, Sel. Kamu baik sekali.""Sama-sama.""Maaf karena tiba-tiba aku membawa kamu ke kantin begini,
"Yap, sudah oke. Syuting untuk hari ini cukup sampai di sini." Nardo tersenyum puas menatap layar periksa kamera di depannya. Para pemain sudah mulai membubarkan diri, namun dia memilih untuk tetap bertahan di kursi sutradara miliknya."K-kak ...."Secara otomatis Nardo menoleh saat seseorang memanggilnya. Dan pria itu mengernyit saat tahu jika orang itu adalah salah satu aktrisnya; Almera. Gadis itu kembali memerankan peran utama wanita di film garapannya."Ya, Am. Kenapa?"Gadis berparas ayu itu tampak gelisah, bola matanya bergerak-gerak. Almera sedang menyusun kalimat di dalam angan. "Anu ... bisa tidak scene yang tadi diulang? Saya merasa kalau acting saya kurang maksimal tadi."Tidak sepenuhnya berbohong, Almera memang pandai melakonkan peran. Sebagian besar dari film yang dia bintangi, rata-rata menjadi film laris yang meledak di pasaran. Namun, alasan paling utama dirinya berbicara dengan Nardo adalah ... yah, karena dia menaruh rasa spesial pada si pria, sehingga sebisa mungk
Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa mentari sudah beranjak menuju ufuk barat. Senja telah menyapa, jarum pendek pada jam tangan Chiara sudah melewati angka empat, yang artinya jam sekolah telah usai dari beberapa menit lalu.Dengan memainkan ponselnya, Chiara mencoba membunuh waktu dengan men-scroll beranda sosial media miliknya. Dia sedang menunggu Nardo di sisi gerbang kampusnya sekarang. Dan nyatanya dia tak perlu menunggu waktu lama, sebuah mobil hitam perlahan melambat, lalu berhenti tidak jauh dari posisi gadis itu."Hai ..." ketika kaca pintu samping terbuka, sang pengemudi mobil menyapanya. Senyuman pria itu tetap saja memesona meskipun lelah tampak jelas terbaca pada gurat wajah tampannya. Chiara tersenyum senang. Dia bergegas menaiki jok penumpang bagian depan tanpa perlu dipersilakan. Memberikan ciuman sekilas pada permukaan bibir kekasihnya, dia balas menyapa. "Hai juga, Sayang."Ah, Chiara mulai agresif sekarang. Gadis polos itu sudah hilang. Sedangkan Nardo tentu
Meskipun selama ini hanya diam, bukan berarti Chiara tidak menyadari perubahan sikap Evan padanya. Terhitung sejak dia memberitahukan tentang hubungannya dengan mantan calon suami kakaknya, sejak saat itu pula pemuda itu seakan membangun tembok tebal di antara mereka. Jujur saja, Chiara merasa kehilangan. Mereka bersahabat sejak masih sama-sama memakai popok, dia ... sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Evan.Sedikit menghela napas panjang, gadis itu mencoba melengkungkan sebuah senyuman saat sudah semakin dekat dengan sosok sang sahabat. Chiara masih berharap jika apa yang dia rasakan hanya perasaannya saja, dia berusaha berpikir positif."Loh, Van, Sel ... kalian ke sini juga?" tanya Chiara. Dia sudah berdiri di sisi meja Evan beserta Selena sekarang."Iya. Memangnya kenapa?" Yang terjadi nyatanya tidak sesuai ekspektasi Chiara. Evan menjawab dengan enggan, tidak terlihat terkejut sama sekali. Pemuda itu hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menyedot segelas jus di atas meja me