Seharusnya, hari itu Amara Izabel bunuh diri.
Dia sedang berada di Medan untuk bertemu dengan ibunya yang baru datang dari Jakarta. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu berangkat sejak pagi dari Parapat. Dia diantar oleh sopir pribadi dan asisten rumah tangga, Ika, yang selalu mendampinginya selama empat setengah bulan terakhir.
Ibu kandung Amara, Merry, sudah memesan kamar di Hotel Medan Adiwangsa. Kemarin, Merry sudah memberi instruksi yang jelas. Bahwa Amara diminta menunggu di kamar mereka yang berada di lantai dua puluh empat. Sementara sopir disuruh menjemput Merry di bandara.
Amara yakin, ibunya akan berteriak histeris saat melihat penampilannya nanti. Terakhir kali mereka bertemu bulan lalu, rambut tebal Amara yang lurus itu sudah melewati bahu. Namun sekitar tiga minggu silam, Amara nekat menggunduli rambutnya sendiri. Ika yang kemudian merapikan dengan terpaksa karena penampilan Amara yang acak-acakan.
“Astaga, Mara! Kenapa kamu motong r
Sonya, Nefertiti, dan pendiri Puan Derana pasti tak mengira jika acara itu sudah membelokkan takdir Amara. Mendadak, semangat untuk terus hidup mulai mengaliri pembuluh darah Amara. Hal itu sempat membuatnya pusing. Dia tak mau terus-menerus menjadi korban. Ini saatnya untuk bangkit. Sonya saja bisa, padahal gadis itu mengalami cobaan yang lebih berat dibanding Amara. Jadi, mengapa dia harus menyerah? Seusai acara, Amara menemui Nefertiti. Mungkin karena perempuan itu menjadi orang pertama yang memberinya penjelasan tentang Puan Derana tanpa menunjukkan ekspresi heran karena rambut plontos Amara. Tanpa ragu, Amara mengutarakan keinginannya. Selama hampir lima bulan terakhir, ini kali pertama Amara tahu apa yang akan dilakukannya. “Mbak sampai kapan di hotel ini?” tanya Amara tanpa basa-basi. “Saya menginap di sini, besok pagi baru pulang ke Pematangsiantar. Kenapa, Amara?” tanya Nefertiti dengan penuh perhatian. “Mbak nginep di kamar berapa? Aku pengi
Kata-kata putrinya membuat Merry terbelalak. “Kamu serius pengin … bunuh diri? Tapi, kenapa, Mara? Mama kira kamu baik-baik aja. Sejak pindah ke Parapat, kamu pelan-pelan bisa lupa sama kejadian buruk itu, kan?”Amara pun meledak. Dia berdiri di sisi ranjang. Suaranya meninggi saat dia merespons ucapan ibunya. “Mana mungkin bisa lupa, Ma? Itu kejadian yang akan terus menghantuiku seumur hidup. Tiap malam aku mimpi buruk, sampai rasanya takut untuk tidur. Aku kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa karena merasa nggak bisa ngapa-ngapain, nggak ada gunanya hidup. Makanya aku nekat botakin rambut. Bukan karena lagi kurang kerjaan. Tapi aku benci sama rambutku. Aku benci sama semua yang ada di tubuhku. Aku nggak baik-baik aja, aku menderita! Aku benci karena dulu nggak bisa bela diri. Makanya aku pengin mati aja. Itu jalan keluar yang terbaik.”“Mara....” Merry terpana. Perempuan itu mematung selama beberapa detik, menata
Setelah perbincangan panjang itu, Merry akhirnya mengizinkan Amara pindah ke Puan Derana. Esoknya, perempuan itu mengantar putrinya menuju Parapat untuk mengambil semua keperluan Amara. Setelah itu, mereka bertolak ke Pematangsiantar. Namun, Merry mensyaratkan satu hal. Ika akan tinggal di kota yang sama walau mustahil berada di Puan Derana juga. Ika akan indekos di sekitar tempat penampungan itu.“Ma, Mbak Ika nggak perlu ikut. Biar aja dia tetap tinggal di Parapat, ngurus vila Kakek,” tolak Amara awalnya.“Nggak apa-apa, Mara. Kalau kamu butuh sesuatu, Ika bisa bantuin. Lagian, di Parapat kerjaannya juga nggak banyak. Biarlah untuk sementara ini dia tinggal di dekat kamu. Supaya Mama juga nggak terlalu cemas.”Amara akhirnya mengalah. Paling tidak, restu dari Merry untuk tinggal di Puan Derana adalah dukungan luar biasa bagi gadis itu. Lagi pula, Pematangsiantar adalah kota yang sangat asing bagi Amara. Kehadiran Ika akan banyak membant
Delapan bulan silam, Amara tak memiliki firasat apa pun bahwa dia akan mengalami peristiwa mengerikan yang mustahil bisa dilupakan. Si Monster yang sudah menjadi sahabat Amara sejak SD, Marcello alias Cello, mengajak gadis itu menonton di bioskop. Karena memang tak memiliki aktivitas lain, Amara menerima ajakan Cello.“Ketimbang di rumah aja, ya mending ikut kamu ke bioskop,” kata Amara kala itu. “Sebentar ya, Cel, aku ganti baju dulu. Nggak mungkin nonton pake kaus butut gini. sementara kamu udah ganteng maksimal gitu.”Cello sabar menunggu di ruang keluarga, sembari mengobrol dengan kakek dan nenek Amara yang sedang bertamu. Cello memang mengenal keluarga besar gadis itu dengan baik. Begitu juga sebaliknya. Cello cukup sering mengunjungi rumah Amara. Terutama saat masih SMA karena mereka nyaris selalu berangkat ke sekolah bersama.Amara bukan tipikal orang yang supel dan memiliki banyak teman. Meski dia tak bisa dianggap sebagai si soli
Lima bulan setelah berada di Puan Derana, Amara akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Dia masih harus terus mengonsumsi obat. Dokter Sondang sudah memberi rekomendasi rekan sejawatnya yang bisa didatangi oleh Amara setelah berada di Ibu Kota. Gadis itu juga membawa setumpuk rekam medisnya.Saat hendak meninggalkan tempat penampungan itu, Amara tak kuasa menahan air mata. Dia menangis tersedu-sedu sembari memeluk satu per satu penghuni dan relawan Puan Derana. Nilla yang menjadi teman sekamarnya selama ini, mendapat pelukan paling lama. Juga Nefertiti, orang pertama yang ditemuinya yang terhubung dengan Puan Derana. Belakangan dia baru tahu bahwa mereka memiliki nama belakang yang nyaris identik. Izabella dan Izabel.“Kamu harus sering menelepon kami ya, Mara. Apalagi kalau ada sesuatu, jangan sungkan untuk ngontak aku. Nggak masalah waktunya kapan,” Nefertiti mengingatkan. “Kalau suatu hari pengin balik ke sini lagi, jangan pikir dua kali. Data
Keringat menetes deras dari tiap pori-pori di tubuh Amara. Menyiratkan betapa keras usahanya untuk aktivitas yang dilakukan di dalam kamarnya itu. Sesekali mata Amara bergerak ke arah layar monitor laptopnya untk mencontek gerakan yang tergambar di sana.Gadis itu terengah saat melakukan gerakan burpee yang menguras tenaga. Kakinya sudah terasa lemah karena terlalu diforsir. Setiap tulang di tubuhnya berteriak, menginginkan jeda untuk beristirahat. Namun Amara justru menantang semuanya dan bergerak lebih cepat.Setelahnya, dia mulai melakukan aneka variasi plank yang cukup menyakitkan sikunya yang belum sembuh. Dua hari lalu kedua sikunya terkelupas karena gerakan itu. Dan hari ini Amara memaksakan diri melakukan gerakan yang membuatnya menumpukan berat di sikunya.Diawali plank with knee tap, up-down plank, side-plank and pulse, hingga push-up tapi plank dilakoninya. Semuanya menimbulkan rasa nyeri luar biasa dan membuat Amara menggig
Setelah satu tahun yang terasa begitu panjang, akhirnya Amara kembali ke tempat yang dicintainya, Fakultas Ilmu Komunikasi. Tempat yang diharapkannya mampu menjadi sumber tanpa dasar untuk pengetahuan yang akan membuat benaknya kaya. Sayang, perjalanannya tidak mulus.Dia sungguh tak ingin mengambil cuti kuliah. Amara memaksakan diri tetap datang ke kampus dan belajar seserius mungkin setelah malam mengerikan itu. Dia menendang jauh pengalaman traumatis itu, berlagak seolah tak terjadi apa pun. Namun, siksaannya kian lama kian mengerikan. Amara tak bisa terus berpura-pura. Mimpi buruk yang tak pernah absen menghantui, membuat gadis itu kekurangan waktu istirahat. Berat badannya mulai menyusut.Amara memang mampu menuntaskan perkuliahan di semester dua yang memang tersisa dua bulan lagi. Setelah itu, dia harus fokus pada hal lain. Belum lagi permintaan keluarga agar dia menikah dengan Cello. Mantan sahabatnya itu pun sudah pernah datang bersama keluarganya, meminang Ama
Tak lama kemudian, Reuben mulai mengabsen sambil mengajukan beberapa pertanyaan standar kepada mahasiswanya. Menunjukkan bahwa dia memiliki ketertarikan untuk lebih mengenal orang-orang yang mengikuti kuliahnya. Bagi Amara, itu hal yang menarik.Reuben cukup jangkung. Tebakan Amara, lelaki itu lebih tinggi minimal lima sentimeter dibanding dirinya. Dengan tubuh langsing dan berkulit kecokelatan yang terlihat sehat, lelaki itu tampil rapi. Berhidung lurus, kening lebar, mata yang bersorot tajam, dagu agak runcing, dan bibir yang nyaris selalu tersenyum. Jadi, sangat wajar jika banyak yang suka memandang Reuben.Amara merasakan kemuraman kembali melingkupinya. Sepertinya dia salah duga saat menilai kekuatan mentalnya. Seharusnya dia tak pernah kembali ke bangku kuliah dan mulai serius berusaha mencari pekerjaan saja. Atau membantu ibunya mengelola restoran hamburger. Namun di sisi lain, Amara sungguh ingin menjadi sarjana. Dia juga tak terlalu berminat ikut terjun di res