Setelah perbincangan panjang itu, Merry akhirnya mengizinkan Amara pindah ke Puan Derana. Esoknya, perempuan itu mengantar putrinya menuju Parapat untuk mengambil semua keperluan Amara. Setelah itu, mereka bertolak ke Pematangsiantar. Namun, Merry mensyaratkan satu hal. Ika akan tinggal di kota yang sama walau mustahil berada di Puan Derana juga. Ika akan indekos di sekitar tempat penampungan itu.
“Ma, Mbak Ika nggak perlu ikut. Biar aja dia tetap tinggal di Parapat, ngurus vila Kakek,” tolak Amara awalnya.
“Nggak apa-apa, Mara. Kalau kamu butuh sesuatu, Ika bisa bantuin. Lagian, di Parapat kerjaannya juga nggak banyak. Biarlah untuk sementara ini dia tinggal di dekat kamu. Supaya Mama juga nggak terlalu cemas.”
Amara akhirnya mengalah. Paling tidak, restu dari Merry untuk tinggal di Puan Derana adalah dukungan luar biasa bagi gadis itu. Lagi pula, Pematangsiantar adalah kota yang sangat asing bagi Amara. Kehadiran Ika akan banyak membant
Delapan bulan silam, Amara tak memiliki firasat apa pun bahwa dia akan mengalami peristiwa mengerikan yang mustahil bisa dilupakan. Si Monster yang sudah menjadi sahabat Amara sejak SD, Marcello alias Cello, mengajak gadis itu menonton di bioskop. Karena memang tak memiliki aktivitas lain, Amara menerima ajakan Cello.“Ketimbang di rumah aja, ya mending ikut kamu ke bioskop,” kata Amara kala itu. “Sebentar ya, Cel, aku ganti baju dulu. Nggak mungkin nonton pake kaus butut gini. sementara kamu udah ganteng maksimal gitu.”Cello sabar menunggu di ruang keluarga, sembari mengobrol dengan kakek dan nenek Amara yang sedang bertamu. Cello memang mengenal keluarga besar gadis itu dengan baik. Begitu juga sebaliknya. Cello cukup sering mengunjungi rumah Amara. Terutama saat masih SMA karena mereka nyaris selalu berangkat ke sekolah bersama.Amara bukan tipikal orang yang supel dan memiliki banyak teman. Meski dia tak bisa dianggap sebagai si soli
Lima bulan setelah berada di Puan Derana, Amara akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Dia masih harus terus mengonsumsi obat. Dokter Sondang sudah memberi rekomendasi rekan sejawatnya yang bisa didatangi oleh Amara setelah berada di Ibu Kota. Gadis itu juga membawa setumpuk rekam medisnya.Saat hendak meninggalkan tempat penampungan itu, Amara tak kuasa menahan air mata. Dia menangis tersedu-sedu sembari memeluk satu per satu penghuni dan relawan Puan Derana. Nilla yang menjadi teman sekamarnya selama ini, mendapat pelukan paling lama. Juga Nefertiti, orang pertama yang ditemuinya yang terhubung dengan Puan Derana. Belakangan dia baru tahu bahwa mereka memiliki nama belakang yang nyaris identik. Izabella dan Izabel.“Kamu harus sering menelepon kami ya, Mara. Apalagi kalau ada sesuatu, jangan sungkan untuk ngontak aku. Nggak masalah waktunya kapan,” Nefertiti mengingatkan. “Kalau suatu hari pengin balik ke sini lagi, jangan pikir dua kali. Data
Keringat menetes deras dari tiap pori-pori di tubuh Amara. Menyiratkan betapa keras usahanya untuk aktivitas yang dilakukan di dalam kamarnya itu. Sesekali mata Amara bergerak ke arah layar monitor laptopnya untk mencontek gerakan yang tergambar di sana.Gadis itu terengah saat melakukan gerakan burpee yang menguras tenaga. Kakinya sudah terasa lemah karena terlalu diforsir. Setiap tulang di tubuhnya berteriak, menginginkan jeda untuk beristirahat. Namun Amara justru menantang semuanya dan bergerak lebih cepat.Setelahnya, dia mulai melakukan aneka variasi plank yang cukup menyakitkan sikunya yang belum sembuh. Dua hari lalu kedua sikunya terkelupas karena gerakan itu. Dan hari ini Amara memaksakan diri melakukan gerakan yang membuatnya menumpukan berat di sikunya.Diawali plank with knee tap, up-down plank, side-plank and pulse, hingga push-up tapi plank dilakoninya. Semuanya menimbulkan rasa nyeri luar biasa dan membuat Amara menggig
Setelah satu tahun yang terasa begitu panjang, akhirnya Amara kembali ke tempat yang dicintainya, Fakultas Ilmu Komunikasi. Tempat yang diharapkannya mampu menjadi sumber tanpa dasar untuk pengetahuan yang akan membuat benaknya kaya. Sayang, perjalanannya tidak mulus.Dia sungguh tak ingin mengambil cuti kuliah. Amara memaksakan diri tetap datang ke kampus dan belajar seserius mungkin setelah malam mengerikan itu. Dia menendang jauh pengalaman traumatis itu, berlagak seolah tak terjadi apa pun. Namun, siksaannya kian lama kian mengerikan. Amara tak bisa terus berpura-pura. Mimpi buruk yang tak pernah absen menghantui, membuat gadis itu kekurangan waktu istirahat. Berat badannya mulai menyusut.Amara memang mampu menuntaskan perkuliahan di semester dua yang memang tersisa dua bulan lagi. Setelah itu, dia harus fokus pada hal lain. Belum lagi permintaan keluarga agar dia menikah dengan Cello. Mantan sahabatnya itu pun sudah pernah datang bersama keluarganya, meminang Ama
Tak lama kemudian, Reuben mulai mengabsen sambil mengajukan beberapa pertanyaan standar kepada mahasiswanya. Menunjukkan bahwa dia memiliki ketertarikan untuk lebih mengenal orang-orang yang mengikuti kuliahnya. Bagi Amara, itu hal yang menarik.Reuben cukup jangkung. Tebakan Amara, lelaki itu lebih tinggi minimal lima sentimeter dibanding dirinya. Dengan tubuh langsing dan berkulit kecokelatan yang terlihat sehat, lelaki itu tampil rapi. Berhidung lurus, kening lebar, mata yang bersorot tajam, dagu agak runcing, dan bibir yang nyaris selalu tersenyum. Jadi, sangat wajar jika banyak yang suka memandang Reuben.Amara merasakan kemuraman kembali melingkupinya. Sepertinya dia salah duga saat menilai kekuatan mentalnya. Seharusnya dia tak pernah kembali ke bangku kuliah dan mulai serius berusaha mencari pekerjaan saja. Atau membantu ibunya mengelola restoran hamburger. Namun di sisi lain, Amara sungguh ingin menjadi sarjana. Dia juga tak terlalu berminat ikut terjun di res
Sesaat, Amara merasa ada berpasang-pasang mata sedang melihatnya dengan berbagai ekspresi. Mulai dari yang mencemooh, mengasihani, hingga membenci. Namun sekedip kemudian dia tersadar kalau itu cuma kecurigaannya saja.“Ini hari pertama, pasti semuanya terasa berat. Langkah pertama selalu yang paling sulit,” kata Amara dalam hati, menguatkan dirinya sendiri.Setelah mengerjap dua kali dengan cepat, Amara segera menyadari bahwa nyaris tidak ada yang memerhatikannya. Semua orang sibuk mengobrol, menikmati makanan, atau memainkan ponselnya. Sayang, kesadaran itu tak mampu mencegah keringat dingin yang telanjur mengucur di punggungnya.“Kamu akan baik-baik aja, Mara,” kata Ika, seakan paham apa yang berkecamuk di kepala gadis itu.Mereka akhirnya berhasil nyaris mencapai meja kosong yang diincar Amara tadi. Gadis itu bergerak dengan cepat setelah melihat segerombolan mahasiswi sedang melewati pintu masuk kantin. Amara tak ingin harus b
Reuben tiba-tiba tertawa pelan. “Janggal sekali mendengar gadis seusia kalian memanggil saya ‘Bapak’ saat di luar kelas. Bisakah kita mengubah itu?”Amara memandang sekilas ke arah dosennya dengan bimbang. Itu permintaan yang aneh, setidaknya itulah opininya. “Maaf Pak, itu rasanya ... kurang sopan,” cetusnya kemudian.Sophie tersenyum mendengar kata-kata Amara. “Iya Pak, itu nggak sopan,” imbuhnya dengan setia kawan.Reuben akhirnya mengangguk dengan senyum masih bertahan di bibirnya. “Oke, saya nggak akan memaksa.”Amara tidak memperhatikan tema obrolan yang membuat Sophie, Ika, dan Reuben betah bertukar kalimat. Pikirannya sedang melayang-layang tak menentu, seakan menjelajah galaksi yang tanpa batas. Ketika akhirnya gadis itu melirik jam tangannya, dia buru-buru berdiri. Ika sempat menatapnya keheranan.“Maaf Pak, saya harus duluan. Sebentar lagi saya harus masuk kela
Jika Amara pernah mengira bahwa menjadi mahasiswi lagi akan mengembalikan kenormalan dalam hidupnya, tampaknya itu pendapat yang berlebihan. Dia kini benar-benar menyadari bahwa tidak ada lagi hal normal dalam dunia Amara untuk selamanya. Seharusnya dia sudah menyadari itu sejak lama. Amara sudah sangat berubah, hingga nyaris tak menyisakan jejak pribadinya yang lama.Amara yang baru adalah orang yang selalu waspada hingga cenderung paranoid. Jiwanya disesaki oleh terlalu banyak ketakutan dan kecurigaan. Membuat gadis itu tidak lagi bisa benar-benar menikmati indahnya hidup ini. Dia hanya melewati hari demi hari seperti robot, seakan itu cuma menjadi kewajiban yang tak mungkin bisa terelakkan.Saat berada di Puan Derana, semuanya terlihat lebih mudah. Makanya Amara berani memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan kembali menjalani hidupnya seperti dulu. Kembali pada rutinitas yang dikenalnya seumur hidup. Namun, hari pertama kuliah sudah menyadarkan dan membuka mata