Jika Amara pernah mengira bahwa menjadi mahasiswi lagi akan mengembalikan kenormalan dalam hidupnya, tampaknya itu pendapat yang berlebihan. Dia kini benar-benar menyadari bahwa tidak ada lagi hal normal dalam dunia Amara untuk selamanya. Seharusnya dia sudah menyadari itu sejak lama. Amara sudah sangat berubah, hingga nyaris tak menyisakan jejak pribadinya yang lama.
Amara yang baru adalah orang yang selalu waspada hingga cenderung paranoid. Jiwanya disesaki oleh terlalu banyak ketakutan dan kecurigaan. Membuat gadis itu tidak lagi bisa benar-benar menikmati indahnya hidup ini. Dia hanya melewati hari demi hari seperti robot, seakan itu cuma menjadi kewajiban yang tak mungkin bisa terelakkan.
Saat berada di Puan Derana, semuanya terlihat lebih mudah. Makanya Amara berani memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan kembali menjalani hidupnya seperti dulu. Kembali pada rutinitas yang dikenalnya seumur hidup. Namun, hari pertama kuliah sudah menyadarkan dan membuka mata
Suara Sophie terdengar tulus. Hingga membuat mata Amara mulai terasa panas tanpa bisa dicegah. Menguatkan hati, Amara akhirnya menggeleng. Dia tak berani menatap Sophie.“Nggak ada apa-apa, kok. Aku baik-baik aja,” sahut Amara.“Baguslah kalau begitu. Aku senang kalau kamu memang baik-baik aja, Mara.”Ada satu perkembangan yang terjadi di luar perkiraan Amara. Berkaitan dengan salah satu dosennya, Reuben. Dosen menawan yang lebih tua nyaris delapan tahun dibanding Amara itu menunjukkan perhatian yang tak terduga. Awalnya Amara hanya mengira kebetulan belaka jika Reuben berada di meja yang sama dengan dirinya dan Sophie saat mereka di kantin lebih dari satu kali.Amara mulai curiga saat melihat ada meja kosong dan Reuben tetap memilih untuk bergabung dengan mereka. Reuben seakan tahu kapan saja Amara berada di kantin. Membuat gadis itu mulai bertanya apakah kebiasaannya terlalu kaku hingga mudah ditebak?“Pak Reuben tam
“Sama kalau begitu. Saya juga sendirian. Kamu mencari buku apa?”Reuben maju selangkah dan secara refleks Amara juga mundur. Tangan kanannya mencengkeram tas tanpa disadari.“Saya sudah ... selesai. Ini baru mau pulang....” kata Amara dengan suara tersendat. Dia mulai melihat ke sekeliling dan mencari celah untuk menjauh dari Reuben sesegera mungkin.“Lho, udah kelar?” Reuben melirik jam tangannya. “Kamu ke sini naik apa? Di luar hujan, lho!”Amara menggigit bibir, dengan putus asa mengingat bahwa hari ini dia hanya naik angkutan umum karena mobilnya sedang di bengkel. Suatu kebetulan yang sangat merugikan.“Saya ... naik angkutan umum.” Sedetik kemudian, Amara mengutuki dirinya yang tidak terpikir untuk berdusta. Gadis itu mundur lagi, tapi kemudian menyadari bahwa punggungnya sudah menyentuh rak buku.“Saya antar pulang, ya? Rumah kamu di mana? Atau, kamu mau makan dulu. Say
Pasti tiap anggota keluarga merasa sangat tersiksa, termasuk kakaknya yang tinggal nun jauh di London sana. Akan tetapi, tentu saja yang paling menderita adalah Amara. Pengobatan yang dijalani memang meringankan beban gadis itu. Namun, tampaknya perjalanannya masih sangat panjang. Amara belum mampu bersikap normal saat ada lelaki yang menawari untuk mentraktirnya makan malam dan mengantar pulang.“Mara, apa yang terjadi tadi sore? Kamu bisa cerita sama saya. Apa kamu mau ditemani lagi kayak kemarin-kemarin? Toh saya juga nggak banyak kesibukan di sini.” Ika mendatangi Amara begitu punya kesempatan. Amara yang sedang membaca novel di ranjang, terduduk karena kaget.“Mbak ngagetin aja. Kukira siapa,” sahut Amara sembari memegang dada kirinya yang berdebar kencang.Ika menggumamkan kata maaf sembari duduk di tepi ranjang dengan mata yang dipenuhi kecemasan. Hati Amara mencelus melihat pemandangan itu. Ika mungkin bukan siapa-siapanya. Mereka
“Mara, kalau liburan semester nanti, kamu mau ke mana?” tanya Sophie sore itu. Mereka baru saja keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Liburan semester memang sudah dekat, hanya berjarak beberapa minggu lagi.“Aku nggak punya rencana ke mana-mana. Kalau kamu?” Amara balik bertanya.“Aku juga. Mungkin kita bisa bikin acara sendiri, Mara. Entah liburan berdua atau cuma ikut kelas apalah untuk ngisi waktu luang. Kelas memasak, misalnyaa.”Amara tak bisa mencegah tawanya pecah. “Aku nggak bisa masak, Soph. Nggak berminat juga.”Ketika hasil kerja kerasnya di semester itu diwujudkan oleh sederet nilai, Amara tidak bisa mengharapkan yang lebih bagus lagi. Trauma dan tragedi boleh saja sudah merusak hidupnya, tapi kecerdasannya masih bertahan. Hanya tiga mata kuliah yang memberinya nilai B, Sisanya A. Termasuk mata kuliah yang dipegang Reuben.Seperti ucapannya pada Sophie, Amara memang tidak ke m
Amara berdiri dengan perut terasa mulas dan kepala yang berputar. Di antara pandangannya yang berkabut, gadis itu berusaha menegaskan pandangan. Ditatapnya wajah Reuben dengan sungguh-sungguh. Mencari apa pun yang bisa mengindikasikan jika lelaki itu cuma sedang iseng.Reuben ikut berdiri, menjulang di depan Amara. Wajahnya tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang diinginkan Amara. Gadis itu merasakan darahnya seolah membeku. Hawa dingin menyelimuti punggungnya.“Bapak barusan bilang apa?” Amara menolak untuk memercayai indera-inderanya. Juga melupakan janjinya agar mengubah panggilannya pada Reuben.“Saya menyukaimu, Amara,” balas Reuben dengan tenang. “Kenapa? Apa itu jadi masalah serius? Jangan bilang kalau kamu merasa canggung hanya karena saya pernah menjadi dosenmu. Atau....”Amara menggeleng cepat hingga lehernya terasa nyeri. “Bukan masalah itu. Saya nggak peduli siapa Bapak k
“Amara, ceritain apa yang terjadi tadi. kamu dan Pak Reuben,” Sophie menyenggolnya begitu kuliah berakhir. Amara yang sedang berpura-pura menyibukkan diri dengan membereskan isi tasnya, berusaha untuk tidak melirik ke kiri.“Aku ada kuliah dua puluh menit lagi. Kamu?” Amara mengabaikan kata-kata Sophie.“Ah, kamu pasti sengaja mengalihkan topik bahasan. Tapi, percayalah, cara itu sama sekali nggak akan berhasil. Selama satu semester ini seharusnya kamu lebih tahu kayak apa aku ini,” kata Sophie lugas. Gadis itu menggandeng lengan Amara saat mereka melangkah ke luar ruangan.“Ya, tentu aja aku lebih tau. Kamu itu mirip wabah bandel yang berusaha nempel di tubuh orang yang sehat. Kebal terhadap semua vaksin dan antibiotik,” cetus Amara gemas. “Nggak ada lanjutan gosipnya. Cukup sampai di situ aja.”“Kamu yakin? Kalian tadi nggak bikin semacam pertunjukan yang akan dibisikkan para mahasiswa di
“Tentu, aku akan datang,” balas Amara cepat tanpa pikir panjang. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Brisha, sehingga mengenal keluarga temannya itu. “Sampaikan salamku sama mamamu, Sha. Dan terima kasih karena ingat untuk mengundangku,” katanya tulus. Brisha menantang mata Amara untuk sesaat. Sedetik kemudian rasa penyesalan membanjiri Amara. Seharusnya dia tidak menjanjikan apa-apa.“Kami nggak mungkin ngeluapain kamu, Mara. Kamu yang ... menjauh.”Amara mencoba tetap mempertahankan senyumnya sebelum pamit untuk masuk ke dalam kelas. Dia selalu menyukai keluarga Brisha, terutama mamanya. Dia bahkan pernah menginap beberapa kali di rumah temannya itu. Brisha adalah teman terdekatnya, nyaris menjadi sahabat. Sebelum Amara mengambil langkah mundur dan menjauh dari semua orang yang dikenalnya.“Kamu beneran akan datang, kan?” Sophie ikut campur lagi. “Brisha kayaknya berharap kamu nepatin janji, lho!&r
Amara mati-matian menahan rasa nyeri yang memanaskan matanya agar tidak membuahkan tangis. “Saya baik-baik aja, Tante. Maaf ya, memang belakangan ini saya ... agak sibuk. Tante dan Om sehat, kan?”Yenny tertawa sambil mengelus punggung tangan kanan Amara yang berada di genggamannya. “Tentu aja Tante sehat. Kalau nggak, mana bisa bikin pesta kayak gini. Tadinya, Tante nggak mau bikin acara macem-macem. Tapi Om maksa. Demi cinta, Tante harus ngalah.”Amara tersenyum sopan sebagai respons. Lalu dia segera memperkenalkan Sophie yang datang bersamanya. Dia bisa melihat rasa cinta yang berayun di udara tiap kali orangtua Brisha bersama. Mirip dengan yang terjadi pada orangtuanya. Berjuta tahun lalu.Hal itu kadang menimbulkan sembilu yang mengiris jiwanya. Karena Amara yakin bahwa dia tak akan bisa merasakan hal yang sama. Seseorang yang sudah mati mustahil mampu merasakan cinta, bukan?Meski awalnya cemas jika dia tidak akan bi