“Nanti kukasih tau detailnya. Sekarang, kita masuk dulu ke dalam, aku mau ngecek beberapa hal. Kamu bisa ngeliat Noni dan Sonya lagi.”
“Oke,” putusku cepat. “Tapi janji, ya. Kamu beneran ngasih tau aku kenapa hari ini ... agak beda. Jangan malah bohong dan ingkar janji.”
“Iya, aku nggak bakalan bohong,” Marco meyakinkanku.
Aku pun menghabiskan waktu sekitar setengah jam lagi di Puan Derana. Aku batal melihat Sonya karena terlalu asyik berada di ruang bayi. Meski tetap belum bernyali untuk menggendong Noni, ada kemajuan besar yang terjadi hari ini. Aku berhasil mengganti popok meski memakan waktu agak lama. Untungnya, Sissy dengan sabar menungguku menuntaskan pekerjaan mahaberat itu.
“Kamu nggak punya adik ya, Nef?" tanya Sissy setelah meletakkan Noni ke dalam boksnya. “Anak tunggal? Atau malah anak paling kecil?”
Pertanyaan itu membuat otakku bekerja keras. Bagaimana aku harus menjaw
“Kamu pengin makan apa, Nef?” tanya Marco setelah selesai membantu memasang tali pengaman helmku. Cowok itu sudah menegakkan tubuh, sehingga wajah kami tak lagi sedekat tadi. Diam-diam, aku menghela napas. Namun, kenapa tidak terasa lega sama sekali?“Apa aja,” jawabku tanpa pikir panjang. Tadi, saat menunggu Marco mengambil jaket, perutku memang terasa mulai keroncongan. Akan tetapi, saat ini aku mendadak kenyang. Aneh, kan? Ini situasi yang belum pernah kuhadapi sebelumnya.“Sate padang, soto, mi aceh, nasi goreng, mi rebus? Kamu pilih yang mana?” Marco memberi pilihan sambil memandangku. Bibirnya tersenyum.Aku akhirnya menjawab asal-asalan. “Mi rebus aja.”Marco mengangguk sembari tersenyum. “Oke. Aku juga pengin mi rebus dari kemarin tapi belum sempat beli. Di dekat sini ada yang enak. Yuk, kita jalan sekarang.”Marco naik ke motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Aku baru saja henda
Barusan Marco ngomong apa? Mungkinkah telingaku sudah salah menangkap kata-katanya? Selama beberapa denyut nadi, aku cuma mematung sembari memandang cowok itu. Tubuhku mendadak panas dingin. Apakah aku menderita demam karena ucapan Marco?“Co, aku nggak salah dengar, kan? Barusan kamu bilang....”Marco menukas, “Aku jatuh cinta sama kamu, Nef. Aku penginnya kamu jadi pacarku. Aku nggak puas kalau kita cuma temenan doang.” Hening. Satu, dua, tiga detik. “Tapi, kalau kamu nggak punya perasaan apa pun sama aku, kuharap kita nggak lantas jadi musuhan. Aku tetap pengin kamu main ke sini kayak biasa.”Aku membatu dengan perasaan yang tak bisa kuurai dengan kata-kata. Aku mustahil menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Bahagia? Itu morfem yang terlalu sederhana untuk menjelaskan efek dari ucapan Marco bagi diriku.“Co,” kataku dengan suara setenang mungkin yang kuupayakan mati-matian. Kedua telapak tanganku
Selama perjalanan yang hanya berlangsung tak sampai sepuluh menit itu, kami sama sekali tak bicara. Ya, memang tidak ideal mengobrol dengan helm menutupi seluruh wajah di tengah angin yang menderu kencang. Meski sebenarnya aku sungguh ingin tahu alasan Marco menyebut-nyebut nama Levi tadi.Marco membawaku ke sebuah warung tenda yang khusus menyediakan mi rebus. Aku pernah makan di sini walau frekuensinya tak terlalu sering. Aku setuju dengan penilaian Marco bahwa mi rebus di sini bercita rasa enak.“Aku sering datang ke sini, Nef. Kalau mau makan mi rebus, aku pasti ke sini. Nggak pernah mau nyoba makan di tempat lain,” aku Marco.Kami duduk bersisian di bangku kayu. Warung tenda itu cukup ramai. Aroma khas mi rebus menguar di udara, membuat perutku yang tadi kenyang secara misterius pun berubah keroncongan lagi.“Kamu kenapa? Mendadak jadi pendiam gini.” Marco tiba-tiba menyenggol lengan kananku. Hebatnya (atau anehnya?), gerakan
“Setuju,” kata Marco. “Aku sempat ragu-ragu, Nef. Pengin ngomong sama kamu tapi takutnya nggak dapat respons seperti keinginan. Tapi kalau diam aja, rasanya kok terlalu menderita. Kadang, ternyata kita butuh dorongan dari orang-orang sekitar supaya lebih optimis dan berani ambil risiko. Paling nggak, itu yang kurasain.”Aku mengulum senyum sambil memandang berkeliling. “Kita ini pasangan yang mengenaskan. Ngomongin soal perasaan di warung tenda yang lumayan rame.”“Ya nggak apa-apa, Nef. Memang kita kayak begini, mau diapain?” sahut Marco.Mi rebus pesanan kami baru saja diletakkan di atas meja. Mi dengan tauge, tahu goreng, dan telur rebus itu disiram dengan kaldu udang yang harum bukan main. Mi rebus itu juga dilengkapi dengan bakwan udang yang sangat enak.Di luar, suara guntur kembali terdengar. Namun, hujan belum turun sama sekali. “Kayaknya kita nggak bisa lama-lama di sini, takut hujan,” u
Aku melalui malam pertama sebagai pacar Marco dengan cara yang begitu norak. Betapa tidak? Setelah Marco pulang dan aku berbaring di ranjang bersiap untuk tidur, mataku malah enggan terpejam. Aku menghabiskan waktu dengan mengenang kembali semua momen dengan Marco yang terjadi hari ini.Sesekali, aku tertawa sendiri mirip orang idiot. Atau, wajahku berubah menghangat hanya karena mengingat kata-kata Marco. Ditambah dengan jantung yang berdebar-debar begitu kencang dan membuatku ketakutan. Astaga! Siapa sangka cowok itu mampu memberi efek separah itu bagiku? Diam-diam aku berdoa semoga Marco pun sama tololnya denganku malam ini.Aku juga sempat berpikir keras. Apakah sebaiknya besok aku kembali ke Puan Derana seperti biasa? Ataukah lebih baik jika aku absen dulu untuk sementara? Perlukah aku menelepon atau mengiriminya pesan? Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap jika bertemu Marco. Semua itu membuat kepalaku berdenyut.“Apa aku harus nanya sama Lita atau
Aku meletakkan hair dryer di atas meja, lalu berbalik ke arah Lita yang sudah duduk di tepi ranjang yang masih berantakan. Seharusnya, aku tidak kaget dengan berita itu, kan? Tadi malam, Marco bertahan sekitar dua jam di Rumah Borju. Redho bahkan lebih dulu pulang. Jadi, tentu saja wajar jika Thea menduga bahwa aku dan Marco berpacaran atau minumal sedang melakukan pendekatan.“Nef, jangan bohong atau pura-pura budek,” Lita mengingatkan.“Begitulah kira-kira,” jawabku jujur, tak punya pilihan lain. Ekspresi kaget Lita membuatku tertawa geli. “Kenapa? Nggak nyangka ya, Ta?”“Iya, soalnya kisah kalian kan penuh drama,” respons Lita. “Hidup itu memang nggak bisa diprediksi, ya? Yang tadinya saling benci, bisa jatuh cinta. Gitu juga sebaliknya.”Aku memikirkan kata-kata temanku itu sebelum mengangguk. “Ya, betul.”Lita berkomentar lagi. “Tapi baguslah, aku mendukungm
Aku masih belum memutuskan apakah akan mendatangi Puan Derana hari ini. Setelah sarapan sendirian karena dapur sudah begitu sepi, aku berniat untuk mampir ke supermarket. Ada beberapa benda yang harus kubeli. Aku baru saja kembali ke kamar dan berniat mengambil tas dan dompet saat salah satu asisten rumah tangga pemilik Rumah Borju mengetuk pintu. Dia memberi tahu bahwa aku kedatangan tamu.Berita itu membuat perutku seolah dipelintir dengan kencangnya. Hanya satu nama yang kuyakin memiliki alasan untuk mendatangiku pagi ini. Siapa lagi jika bukan pacarku? Akan tetapi, lagi-lagi aku harus kecewa. Karena tamuku ternyata bukan Marco, melainkan Levi. Namun, tentu saja aku tak boleh menunjukkan perasaanku di depan Levi, kan?“Kayak apa rasanya setelah resmi jadi pacarnya Marco, Nef?” sapa Levi tanpa basa-basi. “Dia romantis nggak pas ngomong cinta? Atau asal-asalan dan bikin kamu jengkel?” Aku melongo mendengar ucapan terus terang si mulut emb
“Cie, yang nggak mau ngaku kalau kangen tapi ngitung udah berapa lama nggak ngeliat muka cowoknya,” goda Levi. “Detiknya nggak hafal, Nef?”“Terserah,” sahutku jengah. “Percuma ngomong sama kamu. Salah melulu.”Tak sampai setengah jam kemudian, aku dan Levi sudah tiba di lapangan bulutangkis. Yuma dan Cliff tidak terlihat. Hanya ada beberapa orang di pinggir lapangan, termasuk pria yang kuketahui sebagai pelatih Marco dan dua orang pemain bulutangkis lain. Pacarku berada di lapangan, sedang berlatih.Begitu melihat Marco, meski cowok itu sama sekali tak menyadari kehadiranku, tubuhku langsung bereaksi. Perutku mulas, jantungku seakan sedang melakukan pemberontakan di dalam sana dengan membuat gerakan tak terkendali, tungkaiku pun terasa lemah. Memang tidak mirip agar-agar atau jeli, seperti yang sering digambarkan pada novel-novel romantis. Namun cukup membuatku kesulitan melangkah dengan tegap seperti Nefertiti ya