“Cie, yang nggak mau ngaku kalau kangen tapi ngitung udah berapa lama nggak ngeliat muka cowoknya,” goda Levi. “Detiknya nggak hafal, Nef?”
“Terserah,” sahutku jengah. “Percuma ngomong sama kamu. Salah melulu.”
Tak sampai setengah jam kemudian, aku dan Levi sudah tiba di lapangan bulutangkis. Yuma dan Cliff tidak terlihat. Hanya ada beberapa orang di pinggir lapangan, termasuk pria yang kuketahui sebagai pelatih Marco dan dua orang pemain bulutangkis lain. Pacarku berada di lapangan, sedang berlatih.
Begitu melihat Marco, meski cowok itu sama sekali tak menyadari kehadiranku, tubuhku langsung bereaksi. Perutku mulas, jantungku seakan sedang melakukan pemberontakan di dalam sana dengan membuat gerakan tak terkendali, tungkaiku pun terasa lemah. Memang tidak mirip agar-agar atau jeli, seperti yang sering digambarkan pada novel-novel romantis. Namun cukup membuatku kesulitan melangkah dengan tegap seperti Nefertiti ya
Di mataku, kondisi Nilla terlalu mengenaskan. Meski penasaran ingin tahu alasan gadis ini ingin bertemu Marco, kutunda untuk mengajukan pertanyaan. Eh, aku juga harus memastikan bahwa yang dimaksud gadis ini adalah pacarku. Meski aku tak mengenal orang lain yang memiliki nama serupa dengan Marco-ku di Universitas Dwi Darma.“Kita beli air minum dulu ke minimarket itu, ya? Aku juga mau beli sandal. Marco yang kamu maksud itu orangnya seperti apa? Bisa jelasin orangnya kayak apa?” tanyaku hati-hati.Gadis itu bicara cepat untuk menjelaskan ciri-ciri cowok yang disebutnya bernama Marco. Kini, aku tak ragu jika orang yang dimaksudnya adalah pacarku.“Nanti kita ketemu sama Marco. Sekarang, kita beli air minum dulu,” kataku. Kugamit lengan kirinya tapi gadis itu malah mengaduh. Aku memejamkan mata, tak berani melihat kondisi lengannya. Entah separah apa luka yang diderita gadis ini.“Kakak kenal Marco?” ulangnya, dengan suar
Dua pengendara motor buru-buru berhenti, tapi mereka kalah cepat dengan Marco dan Levi yang tahu-tahu sudah mengapitku.“Lepasin, Nef. Biar kupegangin cewek ini,” pinta Levi.Aku menurut. Perlahan, aku bergeser untuk memberi keleluasaan pada Levi untuk membopong Nilla yang masih tak sadarkan diri. Salah satu pengendara motor yang tadi berhenti, menawarkan bantuan untuk membawa Nilla ke dokter. Namun Marco menolak sembari menunjuk klinik 24 jam yang ada di seberang jalan.Tanpa menunggu, Levi menyeberang sembari membopong Nilla. Si pengendara motor mendampingi dan berdiri di tengah jalan, melambaikan tangan dan meminta kendaraan yang hendak melintas untuk sedikit melamban.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Marco dengan suara lembut. Dia membantuku berdiri. “Bagian mana yang sakit, Nef?”Aku agak mendongak seraya menegakkan tubuh. “Aku nggak apa-apa. Kita ke dokter dulu, yuk. Kasian cewek tadi,” kataku. Kaki
Marco maju dua langkah, membuat genggamannya pada tanganku pun terlepas. Di saat yang sama, efek serudukan banteng di perutku pun mereda. Aku bisa memindai kerut di kening Marco, mungkin berusaha mengenali Nilla. Namun dokter meminta kami semua untuk tidak bicara dulu karena beliau ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla.Beberapa saat kemudian, kami cuma mendengarkan dokter mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla dan mencatatnya di kartu pasien. Dokter akhirnya memastikan bahwa Nilla menderita kurang gizi. Selain itu, tidak ada masalah serius. Seperti dugaanku, gadis itu memang baru dipukuli. Untungnya tidak ada tulang yang patah atau cedera yang harus mendapat perawatan serius. Untuk itu, dokter meresepkan vitamin dan obat luar untuk mengobati luka-luka yang diderita Nilla.Begitu kami keluar dari ruang praktik dan menunggu obat disiapkan oleh perawat, Marco menelepon ke Puan Derana. Dia meminta untuk dijemput. Cowok itu berencana membawa Nilla ke tempat it
Air mataku nyaris tumpah. Untungnya saat itu Levi datang, sehingga perhatianku teralihkan. Cowok itu menyerahkan kantong plastik berisi belanjaan kepadaku.“Kamu nggak bakalan dipaksa kerja kayak gitu lagi di Puan Derana,” kata Marco. “Aku juga nggak akan menipumu. Di Puan Derana, ada banyak perempuan yang tinggal di sana dan bisa jadi temanmu. Kamu beneran bisa belajar macam-macam di sana.”“Kalau gitu, aku mau,” putus Nilla tanpa ragu.Aku mengangsurkan roti kepada Nilla. Sementara Levi melepas pembungkus sandal jepit. “Makan dulu ya, Nilla. Setelah itu, baru minum vitaminnya.”“Maaf ya, Kak. Sandalnya hilang sebelah.” Nilla menatapku dengan sorot bersalah. Dia mulai menggigit rotinya dengan perlahan.“Nggak apa-apa. Jangan dipikirin, itu cuma sandal.” Aku membuka segel botol air mineral. Nilla sudah menghabiskan roti suapan pertamanya. “Nih, minum dulu.”&
Perjalanan menuju Puan Derana nyaris kulewatkan dalam diam, hanya menjadi pendengar. Cuma sesekali aku merespons. Itu pun jika memang dibutuhkan. Bukan karena masih terlalu terkesima oleh efek pegangan tangan Marco, lho! Melainkan alasan lain yang berkaitan dengan Nilla.Aku duduk di jok tengah, diapit oleh Marco dan Nilla. Sementara Levi memilih berada di sebelah kiri sopir yang disapanya dengan “Pak Awan”. Saat kami duduk semobil itulah banyak sekali pengalaman mengerikan yang dibagikan Nilla pada semua orang. Membuat bulu kudukku meremang dan berkali-kali harus menahan air mata.“Makasih ya, Kak. Kalau tadi Kakak nggak ada, aku pasti nggak akan ketemu Marco,” kata Nilla padaku, saat mobil baru saja bergerak.“Nggak perlu bilang makasih. Karena aku nggak ngapa-ngapain, La. Kebetulan aja kita bisa ketemu,” ucapku.“Kenapa manggil ‘Marco’ doang, La? Bang Marco, harusnya,” sergah Levi diikuti tawa
“Udah delapan bulan, Co. Awalnya, aku disuruh ke Medan. Karena katanya aku bakalan sekolah sambil kerja di sana. Baru sehari di Medan, tau-tau aku dibawa ke sini. Waktu itu, ada tiga orang cewek lain yang juga sama kayak aku. Sampai di sini, kami diajak ke salon untuk potong rambut. Dibeliin baju, parfum, sepatu, sampai tas. Aku kan cuma bawa pakaian seadanya, nggak terlalu bagus juga. Karena keluargaku hidupnya susah. Jangankan beli baju bagus, untuk makan aja kesulitan, Co.”Perasaanku makin tak keruan. Apalagi ketika Nilla bercerita tentang hari-hari yang harus dilaluinya selama berada di kota kesayanganku ini. Nilla dilarang menghubungi keluarga, belum lagi keharusan untuk melayani sejumlah pria hidung belang setiap harinya. Jika ketahuan membangkang, harus siap mendapat hukuman. Masih menurut Nilla, dipukuli sudah menjadi hal yang lumrah baginya dan teman-temannya.“Kami berdelapan, semua tinggal satu rumah kos-kosan. Bos dan istrinya yang jadi i
Gurauan Levi mencairkan ketegangan yang terentang di udara. Tawa geliku pun pecah. Begitu juga dengan Marco dan Nilla.“Kurasa, kami semua memang kekurangan gizi, Bang. Bukan cuma aku aja,” gumam Nilla setelah tawanya reda. Suara lirihnya membuatku makin sedih. “Karena tiap hari kami cuma dikasih makan maksimal dua kali. Itu pun lebih sering pakai tahu, tempe, atau tumisan sayur doang,” imbuh gadis itu lagi.Levi meringis sambil kembali menoleh ke belakang. “Umurmu berapa, sih?”“Baru masuk enam belas tahun, Bang.”“Enam belas?” ulang Levi, tak percaya. Tatapan tak berdayanya kemudian diarahkan kepadaku. Sementara aku cuma bisa menggeleng pasrah, tanda tak habis pikir.“He-eh. Aku anak sulung, punya adik tiga. Makanya pengin sekolah supaya bisa biayain adik-adikku. Aku nggak mau hidup susah terus.” Nilla menghela napas. Kepalanya menempel di bahuku. “Selama di sini, semua
“Aku mau cuci muka dulu, ya?” kata Levi, memecah kesunyian. “Butuh air dan udara segar supaya tetap waras. Aku salut sama kamu, Co. Udah sering ketemu cewek-cewek kayak Nilla, tapi kamu bisa tetap santai.”“Santai apaan? Kepaksa, tau! Karena aku nggak boleh pingsan atau muntah di depan mereka. Yang ada, mereka malah nggak mau terbuka kalau aku kagetan,” Marco beralasan.Levi mengacungkan jempol kanannya. “Marco memang nggak ada lawan. Beruntung kamu Nef, punya pacar langka kayak gini. Sebelas dua belas sama orang utan. Harus dilestarikan. Jadi, tolong jangan sakiti sahabatku, ya?”“Astaga,” aku mengerjap. Sementara Marco hanya geleng-geleng kepala, tak sanggup marah pada Levi yang sudah menjauh dengan langkah-langkah panjang. Marco sempat berbalik untuk kembali ke mobil. Dia mengambilkan tas selempangku yang masih tergeletak di jok mobil, sebelum menutup pintunya. Aku bahkan lupa sudah meninggalkan task