Brisha menginjak rem hingga menimbulkan suara decit ban. Sabuk pengaman menyelamatkan ketiga gadis itu sehingga tidak terlempar dari jok masing-masing. Selama lima detak jantung, keheningan yang mengerikan memerangkap mereka. Hingga suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Brisha menepikan mobil. Selanjutnya, sumpah serapah pengemudi mobil lainnya terdengar samar.
Brisha melawan. Gadis itu menurunkan kaca jendela untuk balas memaki. Dia juga mengacungkan jari tengah ke udara dengan berani.
“Apa ada gunanya kalau kamu ikut-ikutan jadi preman?” Sophie mengingatkan. “Memang kamu yang salah karena mengerem seenaknya.”
Brisha akhirnya kembali menaikkan kaca jendela mobil. “Iya, sih. Aku yang salah. Tapi tetap saja kesal karena orang gampang sekali memaki.”
Amara memejamkan mata, tidak mengira jika kata-kata itu mampu membuatnya merasa lega. Seakan beban abadi yang menetap di bahunya, hilang hingga setengahnya. Dia tak per
“Terima kasih ya, Ji Hwan Oppa,” canda Brisha. “Dan maaf karena kami sudah merepotkanmu. Barusan ada ... masalah darurat.”“Nggak masalah, Brisha,” balas Ji Hwan tenang.Cowok itu duduk tegak dengan wajah serius. Amara yakin, bahwa kata-katanya tadi sudah menjadi sembilu yang membuat Ji Hwan kehilangan senyum. Gadis itu merasa bersalah karena sudah bicara jahat kepada orang yang baru dikenalnya. Setelah apa yang dilakukannya, Ji Hwan bahkan masih berkenan menggantikan Ronan. Namun lidah Amara terlalu kebas untuk mampu melantunkan kalimat bernada permohonan maaf.“Ke mana aku harus mengantar kalian?” tanya Ji Hwan kaku.“Ke rumahku,” Brisha lagi-lagi yang menjawab. “Masih ingat alamatnya, kan?”“Masihlah,” balas Ji Hwan.Amara benar-benar iri pada Brisha yang bisa menguasai diri dengan baik dan bersikap santai. Dulu dia pun seperti itu. Karena tahu tak bisa me
Setelah beberapa saat hanya duduk membatu, akhirnya Amara berhasil juga membulatkan tekad dan keluar dari dalam mobil. Sophie dan Brisha entah berada di mana, tapi Amara menebak mereka berdua ada di kamar temannya. Setahu Amara, Sophie baru sekali ke rumah ini dan nyaris tidak mengenal Brisha. Namun tampaknya apa yang terjadi hari ini sudah menciptakan perbedaan mencolok.Amara sedang berjalan gontai melintasi halaman ketika Brisha muncul di teras. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya. Dengan celana pendek nyaris selutut dan kaus longgar, Brisha tetap cantik. Namun semburat warna pucat di wajahnya masih terlihat. Tebakan Amara, itu efek dari pengakuannya tadi. Karena saat mendatangi Brisha, gadis itu sama sekali tak tampak pucat.Amara bertanya, “Sophie mana?”“Ada di kamarku. Ji Hwan sudah pulang?”Amara mengangguk. “Aku minta maaf karena sudah....”Kata-katanya tidak pernah tergenapi karena Brisha sudah memeluk
“Marcello temanmu sejak SD itu? Yang kuliah di Fakultas Pertanian, kan?” Brisha mencari penegasan. “Aku masih ingat, tapi memang sudah lama aku tidak bertemu dia. Sepertinya sejak kamu cuti dia juga....” Brisha terdiam seketika. “Maaf, aku sudah melantur.”“Ada apa dengan cowok yang namanya Marcello ini?” tukas Sophie tak sabar. “Dia yang melakukan ... hmmm ... hal buruk padamu?” tanyanya blak-blakan. Brisha menoleh ke kiri, memberikan pandangan menegur ke arah gadis itu.Jawaban Amara membuat Brisha melongo. “Ya. Memang dia yang memaksaku....” tangis Amara pecah tiba-tiba. Air mata yang dikiranya sudah kering itu ternyata masih bersisa. Dia merasakan seseorang memeluknya, Brisha. Aroma parfum samarnya membuat Amara bisa mengenalinya. Sophie menyusul sekedip kemudian. Membuat tangis Amara kian kencang.Lalu, gadis itu pun mulai buka suara. Bercerita tentang suatu hari yang dikiranya cuma akh
Amara tidak tahu kalau mengeluarkan sedikit rahasia gelapnya bisa membuat dadanya lumayan lega. Andai tahu efeknya seperti itu, mungkin dia sudah melakukan ini sejak lama. Gadis itu memercayai Brisha, pertemanan mereka selama ini sudah memberinya petunjuk. Sementara untuk Sophie sendiri, prosesnya memang cukup panjang. Namun ketika akhirnya bicara, Amara tidak ragu kalau Sophie takkan mengkhianati kepercayaannya.Memang, Amara sudah pernah membahas tentang semua yang dialaminya di depan keluarga atau psikiater. Namun, efek kelegaannya itu agak berbeda setelah gadis itu bicara dengan Brisha dan Sophie. Apalagi tak ada penghakiman atau pandangan menyalahkan yang didapat Amara dari kedua temannya itu.“Sekarang aku baru nyadar kalau itu yang bikin kamu ... tampak agak berbeda,” Sophie akhirnya mengakhiri keheningan yang membekukan itu. Wajahnya masih pucat. Menurut suara hati Amara, Sophie jauh lebih terpukul dibanding yang ditunjukkannya. Namun gadis itu cuku
Brisha geleng-geleng kepala. “Kukira Marcello orang yang baik dan menyenangkan. Apalagi kalian udah temenan lama dan dia terkesan perhatian sama kamu, Mara. Perhatian bukan dalam arti antara cowok yang naksir cewek. Ya Tuhan, aku nggak bisa membayangkan kalau ternyata dia sebejat itu. Tega mencelakai sahabatnya sendiri.”Amara membasahi bibirnya yang terasa kering. Dia sendiri pun menyesap rasa yang sama seperti Brisha. Mengira mengenal Marcello cukup baik, nyatanya dia terperanjat karena apa yang bisa dilakukan oleh cowok itu.Keheningan menyapu kamar Brisha itu selama beberapa saat. Amara senang karena tak ada yang pingsan setelah dia membuka luka lama itu. Walau Brisha dan Sophie jelas-jelas tampak kaget setengah mati.“Jadi, sekarang apa yang terjadi sama si Monster ini, Mara?” Sophie buka suara. “Apa kamu masih sering ketemu dia? Waktu kamu di Parapat, dia pernah datang ke sana?”“Aku udah nggak pernah ketemu
Merasa lelah dengan emosinya yang terkuras, Amara membaringkan tubuhnya di atas karpet tebal itu. Gadis itu menelentang. Brisha beranjak ke arah ranjang dan membawa beberapa bantal berbentuk persegi panjang untuk mereka. Amara mengambil salah satunya.“Apa aku bisa ngelakuin sesuatu untuk membantumu, Amara?” tanya Sophie.Ketulusan serta kesungguhan dalam suara gadis itu membuat Amara ingin menangis lagi. Namun dia menahan keinginan itu karena tidak mau lagi menunjukkan kecengengannya. Lagi pula dia sudah belajar bahwa tangis tidak akan menjadi jalan keluar untuk masalah apa pun, entah berat atau ringan.“Kalian harus bisa jaga diri sebaik mungkin. Jangan sampai ngalamin kayak aku. Pokoknya, nggak boleh lengah. Kalian harus hati-hati, jangan mudah percaya sama seseorang. Meski orang itu mengaku sebagai teman baikmu. Karena nyatanya banyak pelaku kejahatan adalah orang-orang yang memang dikenal korban. Mereka menyalahgunakan kepercayaan si
Brisha mendadak bersuara. “Apa cuma aku doang yang lapar? Kalian nggak, ya?”“Aku juga lapar,” aku Sophie.“Sama,” balas Amara. “Setelah curhat panjang, perutku minta diisi. Apa kita mau pesan makanan atau gimana?”“Aku akan ngecek ke dapur sebentar apa kira-kira ada cukup makanan untuk kita,” Brisha duduk sambil menepuk-nepuk celana pendeknya. “Kalau nggak ada, aku akan memesan makanan. Dan kita berpesta hari ini.”Beberapa saat kemudian Brisha kembali dari dapur, mengaku bahwa tak banyak makanan yang bisa mereka santap. Akhirnya mereka sepakat untuk memesan makanan saja. Namun Amara dan Sophie menyerahkan pilihan menu pada sang nona rumah.Seakan kisah mengerikan yang dituturkan Amara membuat mereka kelaparan, Brisha akhirnya memesan berbagai makanan dari restoran yang letaknya tak jauh dari rumah gadis itu. Ketiga gadis itu pun pindah ke dapur dengan makanan memenuhi meja. B
Karena di kampus nyaris selalu bersama, Sophie menjadi orang yang paling mengerti kondisi Amara. Jika gadis itu sudah melihat ekspresi kaku atau wajah mulai dipenuhi bintik keringat milik Amara, Sophie akan bereaksi. Kalau kondisi Amara sudah seperti itu, biasanya Sophie akan mengajak temannya itu menjauh dari keramaian. Karena biasanya reaksi itu terjadi jika Amara mulai gugup dan merasa ada lawan jenis yang memerhatikannya.“Nih!” Sophie mengeluarkan tiga buah lolipop dari dalam tasnya.Mereka baru saja berpapasan dengan Reuben yang menyapa keduanya dengan ramah. Lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda sakit hati atau perubahan sikap karena sudah ditolak Amara mentah-mentah. Bagusnya lagi, Reuben juga tak berusaha mengejar-ngejar Amara hingga membuat gadis itu makin ketakutan.“Apa ini?” Amara keheranan. Namun dia menerima benda yang disodorkan Sophie.“Lolipop,” sahut Sophie dengan nada geli.Amara mencebik. &l