“Kalian kenapa bisa pada ngumpul di sini?” tanyaku sembari menatap teman-temanku satu per satu. Saat berpandangan dengan Joyce, mau tak mau aku pun teringat perbincangan kami kemarin.
“Dikabarin pagi-pagi sama Marco. Alhasil, Yuma dan Cliff harus bolos ngantor. Joyce juga. Sementara aku lebih beruntung karena cuma ada kuliah siang,” sahut Levi. “Kalau Vicky, untungnya jadi bos. Nggak ada yang berani protes kalau datang telat ke toko.” Levi menatap pacarnya sambil tersenyum lembut. Meski Levi nyaris setipe dengan Marco, artinya tak suka mengumbar perasaannya pada Vicky di depan umum, tapi aku tahu bahwa dia begitu mencintai sang pacar.
Yuma menukas, “Udah, nggak usah pandang-pandangan genit gitu. Belum tiba giliran kalian berdua. Sekarang masih jatahnya Nef dan Marco untuk pamer.” Lalu, Yuma mendorong Marco sehingga berdiri tepat di sebelah kiriku. “Kalian berdua, tolong tampil lebih mesra, ya? Tadi pas Marco mau nge
Marco menatapku dengan intens. “Kamu tetap mau nikah sama aku kan, Nef? Walau mungkin umur kita masih lumayan muda dan aku belum punya banyak uang?”Mataku berkaca-kaca. Kali ini, aku yang berinisiatif untuk maju dan memeluk Marco. Efek serudukan banteng itu masih tetap kurasa. “Pertanyaan apa itu? Tentu aja aku mau nikah sama kamu. Memangnya siapa lagi yang lebih tepat untuk jadi suamiku selain kamu?”Dilamar dengan tiba-tiba, disaksikan Mama yang datang jauh-jauh dari Perth dan Papa yang secara khusus diminta Marco untuk datang, sudah membuatku kehilangan kata-kata. Butuh waktu untuk meyakinkan diriku bahwa ini memang nyata dan bukan cuma halusinasiku. Namun ternyata itu cuma semacam menu pembuka. Karena kejutan lain sudah menunggu saat aku dan Marco memasuki ruang kerja Tante Danty yang lumayan luas itu.“Apa? Mama pengin aku dan Marco nikah satu bulan lagi sebelum Mama balik ke Perth?” aku balik bertanya pada Mama dengan j
Selama lima minggu berada di Pematangsiantar, ternyata Mama bukan cuma membantu menyiapkan pesta pernikahanku dengan Marco. Mama yang bersikeras tetap mengingap di hotel karena tak mau menyusahkan siapa pun, juga memberiku dan Marco hadiah pernikahan yang tak kuduga. Bisa menebak? Sebuah rumah untuk kutinggali bersama suamiku nantinya.Selama dua minggu penuh, di sela-sela urusan kebaya yang akan kukenakan saat menikah, aku menemani Mama berkeliling Pematangsiantar untuk mencari rumah yang diinginkannya. Alhasil, aku terpaksa meminta izin pada Tante Danty. Sesekali Nilla menemani jika dia tak ada jadwal kuliah. Sementara kakakku sudah kembali ke Medan untuk bekerja.Awalnya, kukira Mama berniat membeli rumah sebagai investasi belaka. Makanya aku cukup heran karena Mama justru cerewet sekali saat meminta opiniku. Ada rumah yang begitu bagus dan Mama tampak menyukainya setengah mati, tapi batal dibeli karena aku kurang menyukai halamannya yang disemen seluruhnya. Tak ada
Nike menawari paket bulan madu ke Maladewa. Destinasi yang menggiurkan, tapi belum bisa kami manfaatkan secepat mungkin. Pasalnya, hanya berselang empat hari dari pesta pernikahanku dan Marco, aku sudah harus bertolak ke Medan.Kami semua disibukkan dengan acara yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Tepatnya acara bincang-bincang tentang kekerasan pada anak dan perempuan. Ibu mertuaku yang akan menjadi salah satu narasumber pada acara yang digagas oleh sebuah BUMN ini. Sepak terjang pemilik Puan Derana ini sedang mendapat sorotan dari media. Sayang, Marco tak bisa ikut karena memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggal.Efek dari kian dikenalnya nama Puan Derana, Mama Danty pun mendapat banyak undangan wawancara atau menjadi narasumber yang diterima dengan selektif. Hanya tawaran yang kira-kira akan memberi efek menguntungkan bagi Puan Derana saja yang disanggupi.Sebelum Mama dan Uncle Eddie meninggalkan Pematangsiantar untuk terbang ke Bali dan melanjutkan perja
Seharusnya, hari itu Amara Izabel bunuh diri.Dia sedang berada di Medan untuk bertemu dengan ibunya yang baru datang dari Jakarta. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu berangkat sejak pagi dari Parapat. Dia diantar oleh sopir pribadi dan asisten rumah tangga, Ika, yang selalu mendampinginya selama empat setengah bulan terakhir.Ibu kandung Amara, Merry, sudah memesan kamar di Hotel Medan Adiwangsa. Kemarin, Merry sudah memberi instruksi yang jelas. Bahwa Amara diminta menunggu di kamar mereka yang berada di lantai dua puluh empat. Sementara sopir disuruh menjemput Merry di bandara.Amara yakin, ibunya akan berteriak histeris saat melihat penampilannya nanti. Terakhir kali mereka bertemu bulan lalu, rambut tebal Amara yang lurus itu sudah melewati bahu. Namun sekitar tiga minggu silam, Amara nekat menggunduli rambutnya sendiri. Ika yang kemudian merapikan dengan terpaksa karena penampilan Amara yang acak-acakan.“Astaga, Mara! Kenapa kamu motong r
Sonya, Nefertiti, dan pendiri Puan Derana pasti tak mengira jika acara itu sudah membelokkan takdir Amara. Mendadak, semangat untuk terus hidup mulai mengaliri pembuluh darah Amara. Hal itu sempat membuatnya pusing. Dia tak mau terus-menerus menjadi korban. Ini saatnya untuk bangkit. Sonya saja bisa, padahal gadis itu mengalami cobaan yang lebih berat dibanding Amara. Jadi, mengapa dia harus menyerah? Seusai acara, Amara menemui Nefertiti. Mungkin karena perempuan itu menjadi orang pertama yang memberinya penjelasan tentang Puan Derana tanpa menunjukkan ekspresi heran karena rambut plontos Amara. Tanpa ragu, Amara mengutarakan keinginannya. Selama hampir lima bulan terakhir, ini kali pertama Amara tahu apa yang akan dilakukannya. “Mbak sampai kapan di hotel ini?” tanya Amara tanpa basa-basi. “Saya menginap di sini, besok pagi baru pulang ke Pematangsiantar. Kenapa, Amara?” tanya Nefertiti dengan penuh perhatian. “Mbak nginep di kamar berapa? Aku pengi
Kata-kata putrinya membuat Merry terbelalak. “Kamu serius pengin … bunuh diri? Tapi, kenapa, Mara? Mama kira kamu baik-baik aja. Sejak pindah ke Parapat, kamu pelan-pelan bisa lupa sama kejadian buruk itu, kan?”Amara pun meledak. Dia berdiri di sisi ranjang. Suaranya meninggi saat dia merespons ucapan ibunya. “Mana mungkin bisa lupa, Ma? Itu kejadian yang akan terus menghantuiku seumur hidup. Tiap malam aku mimpi buruk, sampai rasanya takut untuk tidur. Aku kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa karena merasa nggak bisa ngapa-ngapain, nggak ada gunanya hidup. Makanya aku nekat botakin rambut. Bukan karena lagi kurang kerjaan. Tapi aku benci sama rambutku. Aku benci sama semua yang ada di tubuhku. Aku nggak baik-baik aja, aku menderita! Aku benci karena dulu nggak bisa bela diri. Makanya aku pengin mati aja. Itu jalan keluar yang terbaik.”“Mara....” Merry terpana. Perempuan itu mematung selama beberapa detik, menata
Setelah perbincangan panjang itu, Merry akhirnya mengizinkan Amara pindah ke Puan Derana. Esoknya, perempuan itu mengantar putrinya menuju Parapat untuk mengambil semua keperluan Amara. Setelah itu, mereka bertolak ke Pematangsiantar. Namun, Merry mensyaratkan satu hal. Ika akan tinggal di kota yang sama walau mustahil berada di Puan Derana juga. Ika akan indekos di sekitar tempat penampungan itu.“Ma, Mbak Ika nggak perlu ikut. Biar aja dia tetap tinggal di Parapat, ngurus vila Kakek,” tolak Amara awalnya.“Nggak apa-apa, Mara. Kalau kamu butuh sesuatu, Ika bisa bantuin. Lagian, di Parapat kerjaannya juga nggak banyak. Biarlah untuk sementara ini dia tinggal di dekat kamu. Supaya Mama juga nggak terlalu cemas.”Amara akhirnya mengalah. Paling tidak, restu dari Merry untuk tinggal di Puan Derana adalah dukungan luar biasa bagi gadis itu. Lagi pula, Pematangsiantar adalah kota yang sangat asing bagi Amara. Kehadiran Ika akan banyak membant
Delapan bulan silam, Amara tak memiliki firasat apa pun bahwa dia akan mengalami peristiwa mengerikan yang mustahil bisa dilupakan. Si Monster yang sudah menjadi sahabat Amara sejak SD, Marcello alias Cello, mengajak gadis itu menonton di bioskop. Karena memang tak memiliki aktivitas lain, Amara menerima ajakan Cello.“Ketimbang di rumah aja, ya mending ikut kamu ke bioskop,” kata Amara kala itu. “Sebentar ya, Cel, aku ganti baju dulu. Nggak mungkin nonton pake kaus butut gini. sementara kamu udah ganteng maksimal gitu.”Cello sabar menunggu di ruang keluarga, sembari mengobrol dengan kakek dan nenek Amara yang sedang bertamu. Cello memang mengenal keluarga besar gadis itu dengan baik. Begitu juga sebaliknya. Cello cukup sering mengunjungi rumah Amara. Terutama saat masih SMA karena mereka nyaris selalu berangkat ke sekolah bersama.Amara bukan tipikal orang yang supel dan memiliki banyak teman. Meski dia tak bisa dianggap sebagai si soli