Hidupku mungkin tidak mulus. Aku adalah produk keluarga berantakan. Namun, yang kujalani jauh lebih baik dibanding pengalaman Sonya atau Nilla, misalnya. Sonya memang terkesan sudah bisa menerima kehadiran Noni, tapi dia tetap menolak mati-matian tiap kali disarankan untuk menghubungi keluarganya. Menurut Sonya, tak ada yang menyayanginya. Sementara Nilla yang masih begitu belia, harus melewati banyak pengalaman traumatis yang menghancurkan kepolosannya.
Aku merindukan Papa dan Mama. Namun, mustahil berharap keduanya bersatu lagi. Karena mereka sudah menemukan pasangan masing-masing. Aku harus menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Tak ada yang bisa kulakukan jika berkaitan dengan Papa dan Mama.
“Kamu pikir aku nggak pengin keluarga kita lengkap kayak dulu, Nef? Tapi, kita sama-sama tahu kalau itu mustahil. Selain itu, aku juga nggak mau kalau Mama dan Papa hidup seatap tapi nggak bahagia. Sering bertengkar atau semacamnya. Yang ada, kita malah jadi lebih ter
Setelah tiba di Puan Derana, Marco sibuk membantu para tukang yang sedang mengecat dan memperbaiki beberapa kerusakan. Mulai dari keran, retakan di dinding, hingga saluran air di wastafel yang mampet. Aku tak mungkin mengekorinya, kan?Ketika melihat kehadiranku, Nilla langsung memelukku. Dia juga mengikutiku menghabiskan banyak waktu menemani Sonya yang tak henti berceloteh tentang putrinya. Dalam beberapa kesempatan, Nilla menggendong Noni tanpa canggung sama sekali.“Karena aku biasa jagain adikku kalau mamaku lagi sibuk, Kak,” katanya saat kupuji keluwesannya menggendong Noni. “Aku juga bisa masak dan beresin kerjaan rumah tangga, Kak. Maklum, anak sulung. Jadi, sejak kecil udah biasa ngerjain ini-itu.”Gadis semuda itu seharusnya tidak menanggung beban sebesar dunia, kan? Aku tiba-tiba terpikir untuk bicara dengan Mama dan kakakku tentang Nilla. Mungkin aku bisa meminta bantuan mereka untuk secara khusus membiayai sekolah gadis ini h
“Aku nggak akan salah naik angkutan,” bantahku. “Kamu kira aku buta?”Marco tertawa sembari menyerahkan helm padaku. “Kamu nggak buta, Nef. Tapi kamu lagi banyak pikiran. Takutnya malah jadi nggak waspada.”Marco ada benarnya kali inii. Oleh karena itu, aku tidak lagi membantah lagi. Setelah memasang helm yang -lagi-lagi- dibantu oleh Marco, aku pun naik ke boncengan pacarku. Aku tiba di Rumah Borju sekitar pukul lima sore. Suasana tempat indekos cukup sepi. Tampaknya, teman-temanku masih belum pulang atau sedang beristirahat di kamar masing-masing.Hanya ada satu pintu yang terbuka, kamar Thea. Rasa penasaran mendorongku untuk menghampiri pintu yang terpentang itu. Kukira, akan melihat Mbak Titiek atau malah Thea di dalam kamar. Nyatanya, bukan keduanya. Melainkan Vicky yang sedang memasukkan pakaian Thea ke dalam koper berukuran besar.“Hei, Nef,” sapanya begitu menyadari kehadiranku. Dia melambai, mengund
“Kamu yakin Sonya udah punya anak, Nef?” tanya Vicky lagi. Pupil matanya melebar. Dia tak menjawab pertanyaanku tadi. Lalu, Vicky kembali mengulangi pertanyaannya dengan nada mendesak yang membuatku mau tak mau harus memberikan respons.“Yakin. Karena aku salah satu orang yang nungguin pas dia melahirkan. Kejadiannya masih belum lama. Selama ini, Sonya berbulan-bulan tinggal di Puan Derana, sempat lama nggak mau ngasih tau namanya. Dia cuma dipanggil Vanila doang. Gara-gara Sonya suka es krim rasa vanila. Kamu kenal sama Sonya ya, Vick?”Jantungku melompat-lompat liar, antara cemas dan dipenuhi harapan. Jika Vicky mengenal Sonya, tentu lebih baik. Mungkin Tante Danty bisa menemukan cara efektif untuk memberi tahu keluarganya tentang kondisi gadis itu tanpa menciptakan kehebohan. Apalagi, selama ini Sonya menolak mentah-mentah saat ditawari untuk mengabari keluarganya. Siapa tahu, Vicky bisa membuat hal itu menjadi lebih mudah.“Vick
“Sebelum Sonya kabur, tingkahnya makin aneh. Selalu pengin tidur di kamarku, beralasan ada hantu di kamarnya. Dia juga makin sering ngelamun, gampang kaget, susah fokus, mulai sering bolos sekolah. Dulu, kukira cuma karena rindu sama almarhum Papa karena memang mereka dekat. Tapi, belakangan aku jarang ketemu dia karena pindah ke rumah tanteku, adik bungsu Papa. Namanya Tante Wina. Aku pindah karena nggak tahan ngeliat tanteku sedih. Suaminya baru meninggal, padahal mereka belum lama nikah, sekitar setahunan. Tanteku juga baru keguguran. Aku cuma pengin ngehibur dan nemenin beliau karena takut kenapa-napa. Sejak itu, aku nggak tau banyak apa aja yang terjadi di rumah.”“Kamu nggak ngajak Sonya pindah juga?” tanyaku lagi. Aku memasukkan telepon genggam ke dalam tas selempangku,“Sonya sempat maksa pengin ikut tapi nggak dikasih Mama. Aku pun ngelarang. Mending dia tinggal bareng Mama biar ada yang ngawasin. Di rumah juga ada asisten rumah t
“Bisa cerita seperti apa kondisi Sonya sebelum kabur, Vick?” Pada akhirnya, aku tetap saja gagal menahan diri. Aku menyerah pada rasa penasaran.Vicky mendesah pelan. “Aku nggak tau pasti, Nef. Karena udah nggak tinggal serumah sekitar enam mingguan sebelum kejadian itu. Trus aku juga sibuk kuliah dan main sana-sini. Setelah adikku hilang, nyeselnya nggak keruan. Apalagi mamaku kayak nggak terlalu peduli. Malah nyalahin Sonya yang katanya sekarang berubah jadi cewek liar. Mama juga bilang, Sonya kayaknya dipengaruhi pacarnya. Apalagi, dia bawa semua koleksi perhiasannya. Mungkin mau dijual untuk biaya hidup.”Pupil mata melebar. “Sonya punya pacar? Kamu kenal?”“Itu sih versi mamaku. Aku sempat ketemu cowok yang dimaksud Mama itu di sekolah. Dia sekelas sama Sonya, sekarang kelas tiga SMA. Tapi dia ngotot kalau mereka cuma berteman dan sama sekali nggak tau di mana Sonya. Cowok itu juga bilang, Sonya belakangan kayak ora
“Sampai sekarang, aku masih rutin keliling Pematangsiantar untuk nyari Sonya. Tapi, nggak bisa tiap hari. Palingan cuma seminggu sekali. Karena aku merasa ikut bertanggung jawab bikin adikku minggat. Keluarga papaku pun masih terus nyari Sonya.” Vicky mendesah. “Kalau tau bakalan kayak gini kejadiannya, aku akan ngajak Sonya pindah juga. Tinggal bareng aku dan tanteku.”Hatiku ikut tertusuk mendengar kata-kata Vicky. Suaranya terdengar sendu dan dijejali penyesalan, membuat dadaku kian nyeri. Aku tak mampu membayangkan seperti apa rasanya jika berada di posisi gadis ini. Penyesalan adalah hal yang begitu menyiksa.“Kamu kan nggak tau kalau kejadiannya bakalan seperti ini, Vick. Jangan nyalahin diri sendiri,” kataku, mencoba memberi opini yang objektif. “Lagian, yang udah lewat kan nggak bisa diubah lagi. Yang penting, sekarang Sonya udah ketemu.”“Iya, sih. Tapi, tetap aja aku merasa bodoh dan berdosa sama ad
Aku benar-benar tak tahu cara terbaik menghibur Vicky yang tampak shock dengan respons adiknya. Apalagi saat dia melihat Sonya menjerit-jerit sembari mendorong sang kakak dengan sekuat tenaga. Untungnya Marco memegangi Sonya dan berhasil menarik gadis itu mundur beberapa langkah. Revi pun datang membantu untuk menenangkan Sonya.“Sonya, jangan teriak-teriak gitu. Ssshhh,” bujuk Marco dengan suara lembut.“Yuk, kita balik ke kamar dulu,” imbuh Revi yang memegangi tangan kiri Sonya.Meski masih sempat berteriak untuk mengusir kakaknya, Sonya akhirnya menurut saat dihela menjauh dari ruang tamu Puan Derana. Aku menghela napas yang mendadak terasa berat. Aku pun tak mengira jika Sonya akan bereaksi sefrontal itu. Tadinya kukira hanya ada dua opsi. Sonya melupakan Vicky atau malah senang setelah bertemu dengan kakaknya.“Sonya histeris gara-gara aku. Betul-betul nggak nyangka kondisinya kayak gitu. Ini parah betul,
Setelah mengantar Vicky ke dalam gedung Puan Derana, Marco kembali menemaniku. Kali ini, dia duduk di sebelah kananku. Di belakangnya, Nilla mengekori dengan wajah semringah. Dia langsung melambai begitu melihatku.“Kak Nef, kenapa balik lagi?” Gadis itu duduk di sebelah kiriku. Dia memeluk lenganku. “Eh, tapi aku senang Kakak di sini. Sekali-kali, nginep di sini, ya?”Aku menepuk punggung tangan Nilla yang melingkari lenganku. “Aku balik ke sini karena ada perlu, La. Nantilah kapan-kapan aku minta izin untuk nginep di sini. Mudah-mudahan aja dikasih.”“Pasti dikasih, Kak. Masa calon mantu Bu Danty nggak dibolehin bobo di sini, sih?” gurau Nilla sambil terkekeh geli.Aku menyeringai dengan wajah memanas. Sementara di sebelahku, Marco tertawa kecil. Sebelum aku sempat membuka mulut untuk merespons, Nilla sudah berceloteh bahwa hari ini dia akan menelepon keluarganya.“Tapi nunggu urusan Bu Danty