Tiba saatnya makan siang, Bude Siti bingung, aku akan makan lauk apa, Bude kedalam memintakan sayur ayam kampung. "Halah, makan sama ayam potong ngapa, manja!" Suara Yu Yati terdengar. "Ti, aku yang masak disini, Rini itu anakku. Kalau kamu pelit, semuanya tak suruh pulang sekarang juga. Dia itu saudaramu juga, berubah lah baik sama dia," Bude menasihati Yu Yati. Aku merasa tak enak ati, mendengar keributan di dalam sana. "Mbak, nggak makan ayam potong, ya? Ini, makan kue lambang sari aja," tawar seorang ibu kepadaku, wajahnya nampak sedih menatapku. "Makasih, Mbak, saya belum lapar, masih kenyang," tolakku halus. Ibu itu lalu pergi keluar.Rasa laparku mendadak kenyang mendengar kalimat Yu Yati. "Rin, makan ya, Yayu bening in bayam sama tak gorengin tempe. Tenang aja ini Yayu bawain dari rumah, spesial buat adiku tersayang, Yayu suapin, deh," ucap Yu Santi lembut kepadaku. Di tangannya sepiring nasi beserta sayur bening bayam dan tempe goreng. Yu Santi begitu perhatian kepadak
"Mata Yayu itu rabun apa gimana sih? Jelas-jelas aku yang adik kandungmu. Kita lahir dari rahim yang sama, tapi kenapa Yayu malah lebih perhatian sama si cacat itu!" hardik Yu Yati matanya nyalang penuh kebencian. Sekuat hati ku berusaha menahan gemuruhnya gunung emosi yang bisa saja erupsi seketika. "Kita memang lahir dari rahim yang sama. Tapi kelakuanmu itu, membuat semua orang pergi darimu!" Bentak Yu Santi. "Alasan! Jelas Yayu dari dulu selalu membela si cacat, benalu, pembawa sial, orang miskin, kaya dia. Orang tak berguna seperti dia telah membuat mata Yayu buta! Bahkan sekarang Yayu persis kerbau yang dicucuk hidungnya, menjadi perawat si cacat ini," umpat Yu Yati lagi lagi dan lagi. "Yati! Mulutmu itu, benar-benar tak bisa kau jaga! Andai saja kelakuanmu tak seperti ini, aku bisa lebih sayang kepadamu. Tapi, semakin kesini, kau buatku malu punya adik sepertimu!" Yu Santi berucap geram. "Terus saja bela orang cacat tak berguna itu. Udah cacat, mandul, perebut kasih sayang
Hari-hari berlalu, tak terasa sudah hampir sepuluh hari kami disini. Tanganku sudah lebih baik, perban dan jahitan sudah dilepas, akupun sudah tak memakai penyangga lagi. Namun, tetap saja jika dibawa aktivitas berlebih, masih terasa nyeri. "Yang, kenapa bajunya diberesin ke koper?" Mas Bayu mendekati ku yang sibuk memberesi baju-baju kami. "Lho, katanya kita mau pulang. Mas lupa? Semalam Mas bilang, kita mau pulang malam ini. Katanya perjalanan malam lebih nyaman," ucapku masih membereskan baju. Ah, aku lupa. Ini uang dari Yu Santi masih ada. Hem mau ku apakan uang ini? Aku belum sempat diskusi sama Mas Bayu. "Yang, hallo! Kok diem aja," tegur Mas Bayu melambaikan tangan di depan wajahku. Ku tatap Mas Bayu dalam-dalam, ingin rasanya bilang, jangan pulang dulu, aku masih ingin bersama Bude dan Pakde lebih lama. Tapi, nggak mungkin juga. Kami udah lumayan lama disini, urusan kerjaan jelas bertumpuk kalau ditinggal terus. "Hei, bengong lagi, bengong lagi! Kenapa?" Mas Bayu kini du
"Cie masih ngambek," Mas Bayu menggodaku, ia malah tertawa melihatku.Aku mencebik bibir. Malas meladeni Mas Bayu. "Dimas, anterin aku, yuk! Aku ada acara nih," ucap Eis. Eis juga mau pergi kemana? Kok tumben banget bisa pergi bareng-bareng gini. "Mau kemana, Is?" tanyaku penasaran. "Ada acara aku, Rin. Pinjem Dimas bentar, ya!" Eis beranjak keluar. "Lama juga nggak papa, kok!" sahut Mas Bayu. Semua orang pergi, tinggal aku sama Mas Bayu. Mas Bayu mendekat, aku pura-pura aja cemberut. "Masih ngambek nih?" Jangan ngambek gitu dong, cantiknya ilang tau." Mas Bayu menggodaku. "Sini, duduk di kursi." Mas Bayu mengajakku duduk. Aku masih diam. "Udah dong, jangan ngambek lagi. Gimana kalo malam ini Mas ajak kamu ke tempat yang spesial, Mas jamin, kamu pasti suka." Mas Bayu berusaha mengajakku bicara. "Kemana? Kalau kaya tadi sore, aku moh!" "Sapi dong, moooooohhhh!" sahut Mas Bayu. Hih, bikin tambah sebel deh! Ponsel Mas Bayu yang tergeletak dimeja berdering. Mas Bayu segera mera
"Mau apa kau kesini?" Mas Bayu bangkit lalu maju mendekati laki-laki yang berdiri diambang pintu itu. Laki-laki itu malah berjalan sambil berkacak pinggang memutari Mas Bayu. Aku takut setengah mati, melihat laki-laki ini datang kemari, apa tujuannya kesini. "Hebat kamu, Rini, kau bisa kaya juga, padahal semua harta ayahmu tak secuilpun kau dapatkan," cibir laki-laki itu. "Johan, mau apa kau kemari. Jangan berulah lagi disini. Pergi kau sekarang juga!" bentak Pakde Umar. "Diam kau tua bangka! Atau ku pecahkan kepalamu sekarang juga!" hardik Johan mengacungkan sebuah senjata api ke arah Pakde Umar. Aku bangkit, tubuhku gemetar. Mas Bayu mendekatiku. Mata Johan tajam dan bengis. "Turunkan senjatamu, tak pantas kau berlaku begitu. Katakan baik-baik apa maumu datang kesini," ucap Mas Bayu tegas dan terkesan tenang. Kulihat raut kecemasan dan ketakutan diwajah semua orang disini. "Beri aku uang sekarang, setelah itu aku akan pergi dari sini," ucap Johan dengan senyum licik diwajahn
"Ada apa ini Pak Umar?" Para warga berdatangan ke rumah ini. "Kok ada suara tembakan tadi, siapa yang ditembak?" "Ada rampok! Ya ada rampok. Rampoknya lari tolong bantu kejar," Eis menyahut pertanyaan warga. Aku masih tak bersuara. Rasanya Alhamdulillah sekali bisa lolos dari Johan. Suara warga mendadak riuh diluar rumah. Berteriak rampok. "Rini, kamu nggak papa, Nduk?" Bude kembali bertanya kepadaku. Ku kumpulkan sisa tenaga yang masih ada menjawab pertanyaan Bude Siti. "Rini, nggak papa, Bude," lirihku uang ini masih kugenggam.Ya Allah, tolong permudah polisi meringkus Johan, agar tak ada lagi korban keganasan manusia itu. Aku berdo'a dalam hati. Aku bangkit dengan badan lemas, aku ingin keluar rumah. "Mau kemana, Rin?" Eis bertanya kepadaku. "Aku mau keluar, Is. Aku mau diluar saja. Aku mau tau, apakah Johan berhasil ditangkap atau tidak." Aku melangkah keluar rumah. Tubuhku gemetar melihat senjata api Johan yang tadi sempat menempel dikepalaku. "Pakde, itu senjata Johan
Yu Santi menangis maratapi kematian adiknya. Mas Hadi, Nilam dan Dion, mendekap Yu Santi yang terduduk ditepi jalan meratapi kepergian mobil bak polisi yang membawa jasad Johan. "Pakde dan semuanya, mari kita bereskan semua sisa makanan yang ada, kita bawa pulang saja, rumah ini biar kosong dulu sampai penyidikan selesai." Mas Bayu memberi instruksi kepada kami semua. Aku masih duduk lemas di kursi yang ada diteras ini. Tak kusangka malam ini adalah akhir kisah hidup Johan kakak tiriku yang jahat itu. Mas Bayu masih ngobrol dengan polisi. Beberapa motor masuk halaman rumah ini, ternyata Bejo dan kawan-kawannya yang datang. "Bejo, bantuin berbenah didalam, bawa semua makanan didalam kerumah Bude Siti," ucap Mas Bayu. "Sudah selesai kok, Pak. Didalam tak ada makanan lagi," ucap Dimas. "Baguslah, bawa Ibu dan keluarga Pakde Umar pulang. Bejo bawa motor Pakde dan motor Eis kerumah. Mas Hadi pamit membawa pulang Yu Santi dan keluarga. Mas Bayu menghampiriku yang mematung melihat ke
Raungan sirine ambulan memecah suasana sepertiga malam yang dingin. Aku terbangun, loncat dari tempat tidur langsung melesat keluar. Diluar masih ramai. "Lho, ada apa Bu Rini?" tanya salah seorang anak buah Bejo saat melihatku di ruang tamu. "Itu, ambulan bunyi!" jawabku singkat. "Tadi Pak Bayu telpon, memang jenazah Johan di bawa pulang sekarang, Bu," terang anak buah Bejo lagi. Raungan ambulan terhenti, taklama kemudian mobil Mas Bayu memasuki halaman rumah. Kutunggu didalam sampai suamiku masuk. "Tutup pintu dan tidur dulu disini," ucap Mas Bayu pada anak buah Bejo. Mas Bayu, Dimas, masuk. "Mas!" Aku yang menunggu diruang tengah bangkit segera saat melihat suamiku. Dimas rebahan di hamparan karpet permadani. "Pak saya istirahat dulu, deh," ucapnya. "Sayang, kok belum tidur?" Mas Bayu memelukku. "Suara sirine tadi membuatku bangun. Mas, jasad Johan dimana?" Ku tatap lekat wajah lelah suamiku. "Disemayamkan di rumah Yu Santi. Mas mau ke kamar mandi sebentar, tunggulah dikam