Hari-hari berlalu, tak terasa sudah hampir sepuluh hari kami disini. Tanganku sudah lebih baik, perban dan jahitan sudah dilepas, akupun sudah tak memakai penyangga lagi. Namun, tetap saja jika dibawa aktivitas berlebih, masih terasa nyeri. "Yang, kenapa bajunya diberesin ke koper?" Mas Bayu mendekati ku yang sibuk memberesi baju-baju kami. "Lho, katanya kita mau pulang. Mas lupa? Semalam Mas bilang, kita mau pulang malam ini. Katanya perjalanan malam lebih nyaman," ucapku masih membereskan baju. Ah, aku lupa. Ini uang dari Yu Santi masih ada. Hem mau ku apakan uang ini? Aku belum sempat diskusi sama Mas Bayu. "Yang, hallo! Kok diem aja," tegur Mas Bayu melambaikan tangan di depan wajahku. Ku tatap Mas Bayu dalam-dalam, ingin rasanya bilang, jangan pulang dulu, aku masih ingin bersama Bude dan Pakde lebih lama. Tapi, nggak mungkin juga. Kami udah lumayan lama disini, urusan kerjaan jelas bertumpuk kalau ditinggal terus. "Hei, bengong lagi, bengong lagi! Kenapa?" Mas Bayu kini du
"Cie masih ngambek," Mas Bayu menggodaku, ia malah tertawa melihatku.Aku mencebik bibir. Malas meladeni Mas Bayu. "Dimas, anterin aku, yuk! Aku ada acara nih," ucap Eis. Eis juga mau pergi kemana? Kok tumben banget bisa pergi bareng-bareng gini. "Mau kemana, Is?" tanyaku penasaran. "Ada acara aku, Rin. Pinjem Dimas bentar, ya!" Eis beranjak keluar. "Lama juga nggak papa, kok!" sahut Mas Bayu. Semua orang pergi, tinggal aku sama Mas Bayu. Mas Bayu mendekat, aku pura-pura aja cemberut. "Masih ngambek nih?" Jangan ngambek gitu dong, cantiknya ilang tau." Mas Bayu menggodaku. "Sini, duduk di kursi." Mas Bayu mengajakku duduk. Aku masih diam. "Udah dong, jangan ngambek lagi. Gimana kalo malam ini Mas ajak kamu ke tempat yang spesial, Mas jamin, kamu pasti suka." Mas Bayu berusaha mengajakku bicara. "Kemana? Kalau kaya tadi sore, aku moh!" "Sapi dong, moooooohhhh!" sahut Mas Bayu. Hih, bikin tambah sebel deh! Ponsel Mas Bayu yang tergeletak dimeja berdering. Mas Bayu segera mera
"Mau apa kau kesini?" Mas Bayu bangkit lalu maju mendekati laki-laki yang berdiri diambang pintu itu. Laki-laki itu malah berjalan sambil berkacak pinggang memutari Mas Bayu. Aku takut setengah mati, melihat laki-laki ini datang kemari, apa tujuannya kesini. "Hebat kamu, Rini, kau bisa kaya juga, padahal semua harta ayahmu tak secuilpun kau dapatkan," cibir laki-laki itu. "Johan, mau apa kau kemari. Jangan berulah lagi disini. Pergi kau sekarang juga!" bentak Pakde Umar. "Diam kau tua bangka! Atau ku pecahkan kepalamu sekarang juga!" hardik Johan mengacungkan sebuah senjata api ke arah Pakde Umar. Aku bangkit, tubuhku gemetar. Mas Bayu mendekatiku. Mata Johan tajam dan bengis. "Turunkan senjatamu, tak pantas kau berlaku begitu. Katakan baik-baik apa maumu datang kesini," ucap Mas Bayu tegas dan terkesan tenang. Kulihat raut kecemasan dan ketakutan diwajah semua orang disini. "Beri aku uang sekarang, setelah itu aku akan pergi dari sini," ucap Johan dengan senyum licik diwajahn
"Ada apa ini Pak Umar?" Para warga berdatangan ke rumah ini. "Kok ada suara tembakan tadi, siapa yang ditembak?" "Ada rampok! Ya ada rampok. Rampoknya lari tolong bantu kejar," Eis menyahut pertanyaan warga. Aku masih tak bersuara. Rasanya Alhamdulillah sekali bisa lolos dari Johan. Suara warga mendadak riuh diluar rumah. Berteriak rampok. "Rini, kamu nggak papa, Nduk?" Bude kembali bertanya kepadaku. Ku kumpulkan sisa tenaga yang masih ada menjawab pertanyaan Bude Siti. "Rini, nggak papa, Bude," lirihku uang ini masih kugenggam.Ya Allah, tolong permudah polisi meringkus Johan, agar tak ada lagi korban keganasan manusia itu. Aku berdo'a dalam hati. Aku bangkit dengan badan lemas, aku ingin keluar rumah. "Mau kemana, Rin?" Eis bertanya kepadaku. "Aku mau keluar, Is. Aku mau diluar saja. Aku mau tau, apakah Johan berhasil ditangkap atau tidak." Aku melangkah keluar rumah. Tubuhku gemetar melihat senjata api Johan yang tadi sempat menempel dikepalaku. "Pakde, itu senjata Johan
Yu Santi menangis maratapi kematian adiknya. Mas Hadi, Nilam dan Dion, mendekap Yu Santi yang terduduk ditepi jalan meratapi kepergian mobil bak polisi yang membawa jasad Johan. "Pakde dan semuanya, mari kita bereskan semua sisa makanan yang ada, kita bawa pulang saja, rumah ini biar kosong dulu sampai penyidikan selesai." Mas Bayu memberi instruksi kepada kami semua. Aku masih duduk lemas di kursi yang ada diteras ini. Tak kusangka malam ini adalah akhir kisah hidup Johan kakak tiriku yang jahat itu. Mas Bayu masih ngobrol dengan polisi. Beberapa motor masuk halaman rumah ini, ternyata Bejo dan kawan-kawannya yang datang. "Bejo, bantuin berbenah didalam, bawa semua makanan didalam kerumah Bude Siti," ucap Mas Bayu. "Sudah selesai kok, Pak. Didalam tak ada makanan lagi," ucap Dimas. "Baguslah, bawa Ibu dan keluarga Pakde Umar pulang. Bejo bawa motor Pakde dan motor Eis kerumah. Mas Hadi pamit membawa pulang Yu Santi dan keluarga. Mas Bayu menghampiriku yang mematung melihat ke
Raungan sirine ambulan memecah suasana sepertiga malam yang dingin. Aku terbangun, loncat dari tempat tidur langsung melesat keluar. Diluar masih ramai. "Lho, ada apa Bu Rini?" tanya salah seorang anak buah Bejo saat melihatku di ruang tamu. "Itu, ambulan bunyi!" jawabku singkat. "Tadi Pak Bayu telpon, memang jenazah Johan di bawa pulang sekarang, Bu," terang anak buah Bejo lagi. Raungan ambulan terhenti, taklama kemudian mobil Mas Bayu memasuki halaman rumah. Kutunggu didalam sampai suamiku masuk. "Tutup pintu dan tidur dulu disini," ucap Mas Bayu pada anak buah Bejo. Mas Bayu, Dimas, masuk. "Mas!" Aku yang menunggu diruang tengah bangkit segera saat melihat suamiku. Dimas rebahan di hamparan karpet permadani. "Pak saya istirahat dulu, deh," ucapnya. "Sayang, kok belum tidur?" Mas Bayu memelukku. "Suara sirine tadi membuatku bangun. Mas, jasad Johan dimana?" Ku tatap lekat wajah lelah suamiku. "Disemayamkan di rumah Yu Santi. Mas mau ke kamar mandi sebentar, tunggulah dikam
"Mbak Rini, jangan dengarkan ocehan Yati. Tenang, ya, jangan dimasukan hati omongan yang tadi. Kita percaya Mbak Rini nggak melakukan apa yang diucapkan Yati." Seorang Ibu paruh baya menasihati ku. Kuurai pelukan Mas Bayu. "Mbak Rini, yang sabar, ya! Yati memang begitu orangnya. Mulutnya suka ngawur kalo ngomong," sahut ibu-ibu yang lain. "Biarin Johan kena azab, mati ditembak polisi. Kelakuannya itu meresahkan sekali," imbuh ibu-ibu lainnya. Ternyata kejahatan Johan melegenda di kampung ini, sampai ibu-ibu ini berceloteh begitu. Aku tersenyum menanggapi para ibu-ibu yang turut takziah kemari. Selesai dimandikan, jenazah Johan dibawa masuk hendak dikafani. Suara jerit tangis Yati terdengar menyayat kalbu. "Mas Johan, jangan pergi, Mas. Jangan tinggalin aku, Mas. Lihatlah anak pembawa sial itu kesini, Mas. Dia mau merebut apa yang kita punya, Mas. Bangun Mas, beri pelajaran anak pembawa sial itu!" Jantungku hampir berhenti mendengar tangis ratapan Yu Yati yang menyebutku anak pemb
3 HARI KEMUDIAN "Mas, besok kita pulang aja kekota, sudah lama kita disini." Ku lipat mukena usai sholat Isya'. Mas Bayu masih duduk bersila di atas sajadahnya. "Kenapa pulang? Kangennya udah sembuh?" "Kerjaan numpuk, Mas. Banyak kostumer di cake shop yang nanyain aku, Mas." Kuletakkan mukenaku diatas meja rias. Aku duduk merenung di ranjang. Mas Bayu bangkit lalu mendekatiku. "Kenapa, kok mendadak pengen pulang, bukanya cake shop udah ada yang handle?" Ku tarik nafas berat, hati ini masih ingin disini. Apalagi setelah Mas Bayu memberiku kejutan rumah untukku. Tapi, apakah aku mampu jika hidup disini? "Yang, sebenarnya Mas udah putuskan untuk tinggal disini selama beberapa bulan kedepan. Mas ingin menikmati waktu bersamamu," ungkap Mas Bayu. Aku spontan menoleh suamiku, kutatap lekat mata teduhnya. Ku cari kebohongan di mata itu. Sia-sia tak ada. "Maksudnya, Mas?" lirihku. "Yang, Bang Riza cerai. Istrinya selingkuh." Mas Bayu tertunduk lesu. Aku kaget bukan main. Bang Riza d