“Li! Aku dicuekin sih?!” pekik Cheryl kesal.Bukannya menjawab pertanyaan Cheryl, aku justru berjalan keluar untuk memberikan baju pada Keenan.“Aku mungkin perlu menaruh pakaian di sini agar sewaktu-waktu kalau perlu menginap tidak perlu menyusahkanmu,” ujar Keenan.“Sekalian pindah di sini saja, Kee.” Itu suara Cheryl yang ternyata sudah menyusulku.“Itu usul yang bagus. Di sebelah ada unit yang baru saja direnovasi dan sepertinya belum ada yang menyewa,” jawabku.“Aku tidak bisa pindah karena pekerjaanku juga ada di Alexander Apartment,” ujar Keenan.“Ah, benar juga,” gumamku.“Kalau tidak salah, di sebelah akan ditempati oleh pemiliknya sendiri, Li,” celetuk Cheryl.“Oh,” sahutku.“Aku ganti pakaian dulu ya,” pamit Keenan.Aku buru-buru mengangguk.“Aku juga mau ganti pakaian,” ujarku pada Cheryl.“Terus saja menghindar! Aku doain kalian segera menikah,” gerutu Cheryl.Namun, bukannya marah, aku hanya tertawa kecil sebagai respons.Di dalam kamar, aku berjalan perlahan menuju ke j
“Li, sudah nangisnya,” ujar Cheryl yang duduk di bangku penumpang bagian belakang.“Belum bisa berhenti. Kalian diam saja!” sahutku masih sesenggukan.“Astaga, Li! Kamu ini ada-ada saja,” jawab Cheryl sambil tertawa geli.“Kamu kenapa tiba-tiba menangis begitu?” tanya Keenan bingung.Masih belum bisa berhenti menangis, akhirnya aku hanya menggeleng pelan.Tidak bisa mengajakku bicara, akhirnya Keenan dan Cheryl hanya diam, membiarkanku sampai puas menangis.“Keenan, kita makan hidangan laut yang ada di Alexander Apartment, yuk!” Cheryl mengajak.“Boleh!” sahut Keenan.Hening seketika.Selama aku masih menangis, mungkin Keenan dan Cheryl tidak akan memiliki bahan pembicaraan.Akhirnya aku pun berusaha untuk kembali tenang dan menahan diri agar berhenti menangis. Namun, baru saja aku hendak bicara, tiba-tiba ponsel milik Cheryl berbunyi.Walaupun tanpa menoleh, aku bisa mendengar dari pergerakan Cheryl yang buru-buru meraih ponsel dan menerima panggilan tersebut.“Halo,” sapa Cheryl.“K
Apa aku harus mengajak Keenan sesuai permintaan Om Danendra? Ah, entahlah … hati ini masih merasa tidak yakin.“Baik, Om. Nanti Cheryl dan Keenan akan ikut juga,” putusku membuat Cheryl praktis menoleh ke arahku dengan raut wajah bertanya-tanya.Setelah Om Danendra menjawab dan kami sama-sama pamit, aku memutuskan sambungan telepon.“Om Danendra, Li?” tanya Cheryl.“Iya. Kita minggu depan makan burger yang baru buka di dekat apartment Om Danendra itu ya,” jawabku.“Siap,” sahut Cheryl.“Keenan dan Dokter Raffa juga harus ikut,” ujarku.“Baik,” sahut Keenan.“Mau ke mana?” tanya Dokter Raffa bingung.“Om Danendra dan Tante Iva itu orang tua mantan—“Tidak melanjutkan perkataannya, Cheryl justru melirik ke arahku dan Keenan.Aku hanya mengangguk memberi tanda kalau tidak ada masalah seandainya Cheryl mau cerita.“Om Danendra dan Tante Iva itu orang tua mantan kekasih Lilian. Mereka mau mengajak kita makan burger.” Cheryl berkata.“Benarkah? Aku senang dengan orang tua yang berpikiran te
“Kerja sama apa, Pa?” tanya Tante Iva.“Keenan memiliki bisnis membuat mainan anak dari kayu dan bekerja di bidang keuangan. Ini peluang bisnis yang bagus. Papa ingin menanamkan modal untuk kedua bisnis Keenan itu,” jawab Om Danendra.Ah, sepertinya sedari tadi Om Danendra dan Keenan membicarakan masalah bisnis.“Boleh, Pa,” sahut Tante Iva sambil membagikan burger pesanan kami.“Mama setuju, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Setuju banget,” jawab Tante Iva dengan senyum ramah khasnya.“Baiklah. Minggu depan kita proses ya,” ujar Om Danendra, “berapa nomor teleponmu, Kee?” tanya Om Danendra. Beliau sudah mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan siap memasukkan data Keenan di dalam ponselnya.Keenan lalu menyebutkan nomor teleponnya.“Nanti Om sendiri yang akan menghubungimu,” lanjut Om Danendra.“Wah, terima kasih banyak, Om,” jawab Keenan sambil tersenyum lebar.“Rasanya senang ya, Ma … melihat Cheryl dan Lilian memiliki pendamping seperti ini? Papa sudah punya teman ngobrol,” ujar Om Da
“Dina, apa kamu bisa bersikap lebih baik?” tanya Om Danendra pelan. Namun, suaranya masih bisa terdengar oleh kita semua.“Sebaiknya kamu melanjutkan acaramu sendiri, Di,” lanjut Tante Iva. Dari raut wajahnya, aku bisa merasakan kalau Tante Iva tidak suka dengan ucapan Dina.“Aku hanya mengungkapkan isi hatiku mewakili Finn. Aku rasa … aku tidak melakukan kesalahan apa pun,” ujar Dina. Gayanya begitu angkuh dan sangat mengintimidasi aku.Ingin rasanya aku menangis. Pun aku tidak berani melihat ke arah Keenan karena di sini dia juga tersudut. Apa ada yang salah dengan cinta?“Dina ….” Tante Iva berusaha menarik tangan Dina, tetapi tampaknya dia tetap bertahan pada posisinya.“Aku tidak setuju kalau Lilian jatuh cinta dengan pria lain!” seru Dina marah.“Dina, apa kamu mau Om memarahimu di sini … di depan banyak orang?” tanya Om Danendra. Ini pertama kalinya aku melihat Om Danendra terlihat begitu geram.Dina menatap tajam ke arahku. Sedangkan aku sendiri hanya bisa diam, menahan air ma
“Om dan Tante pulang dulu, Di,” pamit Tante Iva ketika melewati Dina.“Iya,” sahut Dina. Netranya sempat menatap tajam ke arahku. Namun, aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk pamit.“Belum tahu rasanya diterbangin pakai baling-baling bambu tuh orang ya,” gumam Cheryl sangat pelan. Aku yakin tidak ada yang mendengar perkataan Cheryl ini. Akan tetapi, aku yang berada di sebelah Cheryl persis tentu bisa mendengarnya.“Sshhh …!” Aku memberi tanda agar Cheryl menjaga ucapannya. Bisa gawat kalau Cheryl bicara kasar pada Dina.“Biarin!” kesal Cheryl.Kalau sudah jengkel dengan seseorang dan merasa tidak melakukan kesalahan, Cheryl memang sangat nekad.Sikap Cheryl ini benar-benar membuatku khawatir. Pasalnya, aku tidak ingin membuat masalah dengan anggota keluarga Finn.Urung naik Singapura River Cruise, Om Danendra dan Tante Iva mengajak kami mampir ke unit apartment milik mereka. Di sana memang tempat paling aman untuk membicarakan sebuah strategi tanpa merasa khawatir pembicaraan akan
Berkali-kali Keenan melihat ke arah kaca spion tengah dan dia melajukan kendaraan menuju ke arah pusat kota.Beruntung malam ini jalanan masih terlihat ramai sehingga aku merasa lebih tenang.Beruntungnya lagi, tadi Om Danendra sudah langsung menyuruh kami menggunakan mobilnya. Besok, orang kepercayaan Om Danendra sendiri yang akan mengantarkan mobil milik Keenan ke Alexander Apartment.“Bagaimana kamu tahu kalau kita sedang diikuti?” tanyaku hati-hati.Sejujurnya, aku tidak berani melihat ke belakang atau ke sekitar. Aku hanya duduk diam dan melihat lurus ke depan.“Sejak kita keluar dari gedung apartment tempat Om Danendra tinggal, ada satu mobil SUV berwarna hitam terus mengikuti kita,” jawab Keenan.“Sampai sekarang?” tanyaku.“Iya. Nanti di depan itu ada belokan. Kamu bersiap dengan segala pergerakanku, ya!” Keenan memberi tahu.“Hm, apa aku perlu menghubungi Om Danendra?” tanyaku. Aku tidak terlalu menanggapi perkataan Keenan karena aku sudah pasti akan bersiap.“Boleh. Telepon
“Li!” panggil Cheryl. Dia sudah masuk ke dalam mobil, tetapi keluar lagi untuk memanggilku.Tanpa memberikan jawaban, aku hanya mengangguk dan bergegas masuk ke dalam mobil.Sembari mengenakan sabuk pengaman, aku masih terus mengedarkan pandangan ke sekitar, bahkan ketika Cheryl sudah melajukan kendaraan, aku masih terus melihat ke sekitar. Akan tetapi, aku tidak menemukan apa pun.“Kamu mencari apa sih?” tanya Cheryl.“Tadi ketika keluar dari lobby apartment, sudut mataku seperti melihat seseorang yang sedang mengamati kita,” jawabku.“Apa kamu juga melihatnya?” Cheryl kembali bertanya.Aku menoleh ke arah Cheryl sambil mengernyit.“K-kamu juga melihatnya? Berarti aku tidak salah,” jawabku.“Aku kira itu hanya perasaanku. Namun, aku sempat melihat seorang pria dengan topi berwarna cokelat muda, terus memperhatikan kita dari balik mobil yang parkir di dekat pos keamanan,” ujar Cheryl.“Apa itu mobil SUV berwarna hitam?” tanyaku pelan.“Iya,” jawab Cheryl membuatku terbelalak.“Astaga!