Share

Part 5, Di Luar Ekspektasi

Sumpah, pertama kali yang ada dalam pikiran Windi ketika menjejakkan kaki di bandara Incheon ini adalah dua kata. ‘Megah banget!’

Meskipun beberapa kali melihat bandara ini di serial-serial K-Drama, namun tetap saja dia terperangah mengitari bandara dengan pandangan tak berkedip dan mulut menganga lebar.

Windi betul-betul merasa sangat kerdil di bawah atap bangunan yang membumbung tinggi ini. Dia tidak peduli akan apa yang orang pikirkan melihat reaksinya, mau dibilang norak, kampungan, udiklah atau sejenisnya. Well itu terserah mereka sih, tapi sumpah, aku takjub, tandas Windi dalam hati.

Windi dan Fina celingukan mencari papan nama atau tanda apapun yang bisa memberitahu keberadaan tim penjemput mereka di bandara. Ada perasaan was-was juga, kalau-kalau tim yang dijanjikan itu tidak ada. Well, bisa-bisa mereka berpetualang tanpa arah di negeri asing ini.

Seorang pria berkacamata, sedikit culun dengan celana bahan dan kaos lengan panjang, nampak celingukan ke arah gerbang kedatangan luar negeri. Di tangannya selembar kertas bertuliskan “Welcome Ms. Prasetya & Partner” nampak kusut. Sepertinya dia telah menunggu cukup lama. Wajar sih, pesawat yang membawa mereka memang sempat delay waktu transit di Singapura.

Windi dan Fina pun mempercepat langkah untuk mendekatinya. Tiba-tiba seseorang menabrak Windi dari belakang. Dia jelas saja tidak siap, langsung terjerembab. Diiringi jerit kesakitan.

“Ohh ... sorry, I’m sorry,” katanya sambil bangkit berdiri. Rupanya dia ikut jatuh bersama Windi tadi.

Sambil menahan nyeri di lututnya, Windi mencoba bangkit.

“Are you okay ?” tanyanya lagi. Windi mengangguk. Menyambut uluran tangan cowok itu. Tanpa sadar mata mereka beradu.

Dheg.. gila nih cowok ganteng banget, jerit Windi dalam hati. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam legam. Hidungnya mancung, tatapan matanya yang teduh mampu memberikan rasa hangat. Membuat mata Windi nyaris lupa untuk berkedip. Tuhan, sungguh sempurna ciptaanMU, bisik Windi dalam hati.

“Sorry.. saya buru-buru, jika kamu yakin tidak apa-apa saya akan pergi sekarang.”

“O..ya.. silahkan, aku baik-baik saja kok,” jawab Windi tegas.

Merasa yakin dengan jawaban Windi, dia pun berlari pergi, menembus kerumunan orang-orang yang lalu lalang.

Windi menghembuskan nafas lega. Beberapa saat berhadapan dengan laki-laki itu membuatnya nyaris lupa untuk bernafas. Dalam hati ia sisipkan doa dan berharap semoga kelak dipertemukan lagi dengan laki-laki itu.

Setelah Windi berhasil menenangkan diri, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.

“Annyeonghaseyo, naega Fina, dangsin ibnikka .. Han seonsaengnim ?” Fina memperkenalkan dirinya berbekal panduan buku percakapan yang sempat dia beli beberapa hari yang lalu, ketika mereka sampai dihadapan pria yang memegang kertas tadi.

“Oh.. annyeonghaseyo, joesonghabnida.. bla..bla..bla,” Windi tak lagi bisa mengikuti percakapan itu dengan baik. Meski pernah belajar bahasa Korea, tapi mendengar kalimat panjang yang diucapkan dengan cepat begitu Windi masih sulit mencerna dengan baik.

Kalau tidak salah menyimpulkan, pria itu mengatakan dia bukanlah Mr. Han seperti yang disebutkan di surel, namanya Lee Kwang Soo. Dia diutus untuk menggantikan Mr. Han karena dia sedang ada kesibukan lain.

Untuk meyakinkan Windi dan Fina, dia memperlihatkan ID-Card perusahaannya, yang sama dengan perusahaan penyelenggara event ini.

Semula mereka mau protes, tapi percuma, toh mereka juga tidak tau bagaimana caranya. Yang jelas menit-menit berikutnya mereka mengekor di belakang laki-laki itu, seperti kerbau yang ditusuk hidungnya.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah gedung tinggi berdinding kaca. Cahaya matahari tampak memantul di sudut-sudut kunsen baja yang dilapisi cat metalik. Membuat silau semua mata yang memandang.

Windi dan Fina dibawa ke lantai 5. Kesebuah ruangan yang lapang, beberapa pasang meja panjang berbaris rapi. Empat orang beramput pirang, dua berambut coklat, dan dua lagi memiliki kulit berwarna gelap. Di depan mereka terdapat label negara asal yang dituliskan dengan spidol hitam. Sepertinya mereka adalah peserta acara ini juga seperti Windi dan Fina.

Windi dan Fina bergabung bersama mereka, tepat di belakang label bertuliskan Indonesia. Windi melirik meja lainnya yang masih kosong, ada label Malaysia, Singapura, Thailand dan Myanmar. Hmm sepertinya masih ada peserta lainnya yang belum datang.

“Hi.. I’m Richard, from Canada,” cowok berambut pirang disamping Windi mengulurkan tangannya. Melihat penampilannya ditaksir usianya dua tahun diatas Windi. Tapi entahlah, terkadang bule ni penampilannya kan suka nipu. Wajah mereka sering lebih tua dari umur yang sebenarnya.

“Oh.. hi, I’m Windi Faniro, call me Windi,” balas Windi sambil menjabat tangannya.

“Windy ?” ulang Richard kemudian. Sepertinya dia merasa nama Windi cukup unik di telinganya.

“Yes, Windi,” sahut Windi kemudian. Dia masih belum sadar dengan pertanyaan Richard yang mengandung makna ambigu. Richard masih memandangnya. Windi pun tersadar.

“Oo, I see, I mean, I’m Windi, with ‘i’ not ‘y’,” jelas Windi sambil tersenyum ramah. Richard pun paham. Dia balas tersenyum kepada Windi.

Hmm ... sepertinya perjalanan ini akan menarik. Ga salah deh keputusannya buat menerima ajakan Fina, batin Windi antusias.

Tidak lama kemudian peserta lainnya mulai berdatangan satu-persatu. Meja yang semulanya kosong, penuh terisi. Dan ruangan yang semula senyap dalam bisik-bisik kami, menjadi berdengung seperti suara tawon lewat.

Beberapa orang bermata sipit berpakaian resmi memasuki ruangan. Sepertinya mereka adalah para panitia penyelenggara. Tiga lelaki paruh baya duduk di barisan kursi khusus yang berada di samping mimbar. Satu wanita cantik, mirip artis Kim Tae Hee yang langsung menuju mimbar. Oh.. rupanya dia pembawa acaranya.

Wanita itu bernama Choi Ji Hyun, dia membuka acara dengan bahasa Inggris yang fasih. Ga salah kalo perusahaan ini menunjuk dia sebagai PR-nya.

Acara berlanjut ke kata sambutan demi sambutan. Ternyata kalau untuk urusan beginian, Korea ga beda deh dengan Indonesia. Pembukaannya lama, inti acara cuma sedikit. Samalah dengan yang mereka alami sekarang, setelah kata sambutan terakhir dari CEO event, mereka semua diminta memperkenalkan diri agar bisa akrab satu sama lain. Berlanjut ke pembagian badge.

Benar juga kata Fina tadi sebelum berangkat, badge itu bukan badge biasa, sedikit lebih tebal berbentuk seperti kartu ATM.

Windi membolak-balik kartu itu untuk menemukan letak GPS-nya, namun nihil. Sepertinya teknologi canggih mereka telah menyembunyikannya di dalam kartu itu.

Rasa penasaran akan kartu itu ia tepis dengan segera karena tidak lama kemudian mereka telah dipandu menuju kendaraan yang akan membawa mereka ke hotel. Tentu saja Windi tidak ingin melewatkan pemandangan kota Seoul yang akan ia saksikan selama di perjalanan nanti.

***

Yoo Ill sampai di rumah megah itu. Wajahnya tampak sangat cemas. Kabar yang ia baca di surel dua hari yang lalu membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Pulanglah, ibu sakit keras.

“Ajumma ... mana semua orang?” tanyanya kepada wanita paruh baya yang sedang memasak di dapur. Dia Bibi Yu, asisten rumah tangga mereka.

“Aigoooo ... Tuan Muda, Anda kemana saja? Kami semua mencemaskan Anda. Terutama sekali Nyonya. Sudah tiga hari ini dia tidak mau makan,” Bibi Yu mengguncang-guncang tangan Yoo Ill dengan cemas.

“Jadi dimana ibu sekarang? Dia dirawat di rumah sakit mana?” tanya Yoo Ill penasaran.

“Dia ada di kamar, Tuan. Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit.”

Tanpa buang waktu lagi Yoo Ill meluncur ke kamar ibunya. Tapi kamar itu kosong. Dia tidak menemukan ibunya disana.

Ada apa ini ? Apakah semua ini hanya lelucon ? Tanya Yoo Ill dalam hati. Dia berbalik dengan gusar, dan kembali menemui Bibi Yu.

“Ajumma.. jangan main-main.. dimana ibu ? Aku tidak menemukannya di kamarnya,” tanya Yoo Ill dengan nada putus asa.

“Ooo ... mianhae.. tadi saya lupa bilang, dia tidur di kamar Anda, Tuan Muda,” jawab Bibi Yu dengan ekspresi aneh. Mata Yoo Ill semakin menyipit. Hatinya berbisik ada sesuatu yang mereka tutupi saat ini.

Untuk memuaskan rasa penasarannya, Yoo Ill pun berlari menuju kamarnya di lantai dua. Suasana di lantai itu tidak berbeda dengan suasana sebelumnya ketika ia masih berada di sana. Sunyi, sepi seperti kuburan. Jika saja seseorang menjatuhkan jarum di atasnya Yoo Ill yakin ia pasti bisa mendengarnya dengan jelas.

“Surpriseeeee !” sorak dua wanita cantik itu ketika Yoo Ill membuka pintu kamarnya.

Di depannya berdiri ibu dan adik perempuannya dengan satu kue tart besar berikut hiasan warna-warni yang bergelantungan di langit kamar. Dan tentu saja Ko Joo Ri – ibunya - dalam keadaan bugar.

Yoo Ill terperangah.

“Eomma..” protes Yoo Ill dengan muka merah. Ibunya mendekat, mengalungkan tangan ke lengan Yoo Ill membawanya mendekati kue tart.

“Sudah.. ga usah protes. Kalau kami ga bohong gitu kamu mana mau pulang. Ya, kan ?” ujar Joo Ri.

“Geureomyeon..” jawab Yoo Ill dengan tatapan usil. Satu cubitan melayang di perutnya.

“Oppa, jangan buat kami cemas lagi ya, aratjii ?” ujar Yoo Na, Si Bungsu dengan nada manja.

“Ye, arasseo,” jawab Yoo Ill sambil mengacak rambut Yoo Na. Dia baru mau memulai menyantap kue yang dihadapannya ketika tiba-tiba mendengar gaduh-gaduh dari suara yang ia kenal.

“Jadi ... kau telah kembali dari petualanganmu?” suara berat itu terdengar. Han Tae Ho berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar diiringin tatapan tajam menikam.

***Bersambung ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status