Share

Part 8, Petaka yang Tidak Terelakkan

Agenda mereka memasuki acara puncak, yaitu bersepeda keliling kota. Mengapa ini acara puncak? Karena dengan kegiatan ini para peserta diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan kebudayaan Korea dalam setiap perhentian nantinya. Sembari menikmati pemandangan Korea, mereka bisa bercengkrama dengan keramahan warga lokal. Hhm ... sepertinya cukup menarik, batin Windi.

“Fin, guide-nya bilang apa tadi ?” tanya Windi sambil merapikan kaus kaki yang menggulung. Sementara Fina sedang melakukan gerakan-gerakan peregangan otot ringan.

“Dia bilang, kita akan bersepeda di distrik Songpa. Ntar di sana kita dibagi sepeda satu-satu sekalian sama rutenya juga. Eh, jangan lupa bawa badge, lho, Win,” ujar Fina mengingatkan.

Kata-kata itu sontak membuat Windi langsung meraba saku, dan bersyukur mendapati badge itu ada di sana. Dia segera mengalungkannya di leher untuk antisipasi resiko ketinggalan atau kelupaan. Windi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dirinya tersesat, sementara badge ketinggalan. Tersesat di negara asing? Waaah ... membayangkannya saja sudah membuat Windi bergidik ngeri.

Tidak lama kemudian terdengar panggilan agar mereka segera berkumpul. Setelah memastikan bawaannya tidak ada yang tertinggal, Fina dan Windi pun segera bergabung dengan peserta lainnya. Mengingat rute yang akan mereka tempuh cukup panjang, pihak panitia tidak memperpanjang acara pembukaannya, hanya sekedar basa-basi dan pengenalan tim yang bertanggung jawab, setelah itu mereka pun berangkat menuju titik pemberhentian pertama.

Setelah berkendara selama kurang lebih 20 menit, mereka sampai di Jamsil Bike Rental Facility. Ini adalah tempat penyewaan sepeda bagi pengunjung yang ingin melakukan wisata sepeda di distrik Songpa.

Ada tiga macam rute yang ditawarkan di sini, yaitu Jamsil Tour Course yang akan melewati Seockchon Lake – Bangi Eatery Alley – Olympic Park.

Windi cukup familiar dengan nama-nama daerah yang disebut, seperti danau Seockchon yang cantik karena beberapa kali pernah melihatnya di tayangan drama Korea.

Rute lainnya adalah rute yang menyusuri aliran anak sungai di kota Seoul, mereka menyebutnya Songpa Waterway Course.

Di rute ini yang menarik adalah Wall Hope yang akan ditemukan di Seonghaecheon Stream, dan yang paling populer adalah Hangang River alias Sungai Han.

Mendengar nama sungai ini mengingatkan Windi pada adengan drama Korea yang memang banyak menggunakan Sungai Han sebagai latarnya.

Dalam hati Windi membisikkan doa, semoga rute itu terpilih untuk perjalanan mereka. Satu lagi rute yang tersisa adalah Urban Bike Lane Course yang melintasi jalan-jalan perkotaan.

“Win, kamu suka rute yang mana ?” bisik Fina.

“Aku pengennya yang Waterway aja, Fin. Karena aku pernah liat di internet, bersepeda di sepanjang Sungai Han itu asyik banget, lho! Apalagi di saat salju gini, pasti seru. Ahh ... Kalo saja kita punya pacar pasti romantis banget, tuh.” Jawab Windi dengan penuh antusias.

“Ah, loe, ngayalnya ga pake bandrol. Tapi aku setuju sama pendapat kamu. Aku juga penasaran pengen liat Sungai Han dari dekat. Mudah-mudahan suara terbanyak ntar ambil rute itu ya, Win.” Windi mengangguk mantap.

Syukurlah yang punya pikiran seperti mereka banyak, lebih dari separuh peserta memilih rute Waterway. Satu persatu mereka pun mulai melaju menyusuri jalanan.

Udara yang sejuk ditambah dengan semilir angin yang bertiup membuat peserta antusias mengikuti tur sepeda ini.

“Uwaaa ... Fin! Lihat !” sorak Windi sambil mengembangkan tangan lebar-lebar. Melihat Windi tertawa begitu lepas Fina tampak sangat bahagia. Rasanya itu adalah tawa terlebar dari seorang Windi dalam 3 tahun terakhir.

“Hati-hati Win, licin!” serunya, khawatir melihat sepeda Windi yang meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi di atas jalanan bersalju. Windi tidak menghiraukan seruan Fina, justru semakin memperbanyak aksinya.

“Tenang Fin, kalau beginian mah aku ahlinya,” balas Windi jumawa.

Sepeda yang dikendarainya mulai memasuki tanjakan yang cukup terjal. Ketahuan banget jarang olahraga. Windi mulai ngos-ngosan, kesulitan mendaki tanjakan.

Windi menghentikan laju sepedanya untuk sesaat menarik nafas. Sementara rekan-rekan lainnya telah duluan mencapai bukit.

Beberapa belas meter di depan Windi, Fina melambaikan tangannya meminta Windi untuk bergegas, dia balas melambaikan tangan, memberi tanda agar Fina duluan.

Setelah beristirahat beberapa menit, Windi kembali mengayuh sepedanya. Jalanan semakin sempit dan terjal. Di sebelah kiri adalah jurang, yang dibatasi pagar besi. Kurang lebih kedalamannya adalah sekitar 15 meter. Tidak cukup dalam sih kalau dibandingkan dengan jurang-jurang yang ada di Indonesia. Tapi terjatuh kesana tetaplah sesuatu hal yang menyakitkan. Dan Windi tau pasti dia tidak mau itu terjadi.

Sebelah kanan ada bebatuan. Windi mempercepat kayuhannya agar segera bisa menyusul Fina yang sepertinya sudah sampai ditempat peristirahatan pertama.

Windi kembali berhenti. Kali ini bukan karena kelelahan tapi lebih karena pemandangan indah yang tidak mau ia lewatkan.

Di bibir tebing, dia melihat serumpun bunga yang sedang mekar dengan sangat indah. Dia tidak tahu persis itu bunga jenis apa, tapi keindahannya sungguh membuatnya terpukau dan dia penasaran ingin mencium aromanya.

Windi memarkirkan sepedanya di pinggir jalan, lalu melangkah mendekati bibir tebing. Aroma wangi semakin menyengat. Hmm.. mirip melati, tapi warnanya kuning. Bunga apa nih, ya? tanyanya dalam hati.

Dia pun berjongkok, berusaha menggapai bunga yang ternyata tumbuh di bagian dalam dinding tebing. Tapi posisinya masih terlalu jauh untuk digapai. Tidak ada cara lain, dia harus menelungkup, lalu menjulurkan tangan kearah tangkainya. Separuh badannya menggantung di bibir tebing.

“Yes, berhasil !” serunya girang.

Ketika jemarinya berhasil meraih batang bunga itu. Windi menyentaknya sekuat tenaga, tetapi gagal. Bunga itu tidak bergeming dari tempatnya. Ternyata bunga itu memiliki akar yang sangat kokoh.

Sepertinya aku masih kurang dekat, nih, pikir Windi lagi. Dia beringsut lebih dekat, kemudian menyentak tangkai bunga itu kembali sekuat tenaga.

“Yes!” soraknya senang. Bunga wangi itu berhasil dia dapatkan.

Agar lebih mudah untuk bangkit, Windi menyelipkan bunga itu di sela-sela bibirnya. Susah payah ia beringsut mundur dengan bertumpu pada bibir jurang. Tapi tidak mudah, karena badannya sudah terlanjur terlalu terjulur ke badan tebing. Ia justru merasakan tanah di bawahnya bergerak.

Oh ...tidaaaak! Teriak Windi panik.

Bibir jurang tidak cukup kuat menahan beban tubuh Windi. Dia tergelincir, dan jatuh lalu terguling-guling di badan tebing.

Windi berteriak minta tolong, tapi percuma karena dalam hitungan detik tubuhnya telah jatuh tanpa terkendali.

Windi menjerit kesakitan setiap kali tubuhnya menghantam bebatuan yang keras. Tubuhnya terus menggelinding, melewati sesuatu yang sempit, basah dan gelap. Dia tidak tahu itu apa, karena matanya terpejam. Windi juga tidak tahu pasti berapa lama ia terguling-guling tanpa arah begitu, yang ia tahu beberapa waktu kemudian pinggulnya menyentuh tanah dengan keras.

Kepalanya terasa sangat pusing. Windi berusaha mengenali tempat ia berada, namun sia-sia karena beberapa saat kemudian semua mendadak gelap. Windi pingsan.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status